Ditulis oleh: Masri, SP (Penggiat Sosial) Berdomisili di Aceh Timur Lentera24.com - Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu daerah yang ...
Berdomisili di Aceh Timur
Lentera24.com - Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu daerah yang kaya sumber daya alam terutama cadangan minyak di Blok Ranto Peureulak dan Peureulak Kota yang dulunya di ekploitasi oleh pihak PT Pertamina Energi, begitu juga halnya dengan sumber cadangan gas alam di Blok A yang meliputi Kecamatan Indra Makmu, Julok dan Kecamatan Nurussalam.
Meskipun kaya dengan sumber daya alam, akan tetapi kondisi masyarakat berbanding terbalik sebagai daerah penghasil Migas untuk kebutuhan energi nasional. Dimana kehadiran perusahaan ekploitasi kekayaan alam tidak memberikan multiplayer effect terhadap pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan sosial masyarakat.
Pasca Aceh damai tahun 2005, sebagai pertanda berakhir konflik antara GAM -RI melalui MoU Helsinki, masyarakat Aceh menaruh harapan besar akan meraih kemakmuran dan kesejahteraan terutama bagi daerah yang memiliki sumber daya alam, hal itu tak terlepas adanya kewenangan dalam mengelola sumber daya alam dan mineral yang di atur dalam point MoU Helsinki bahwa, seluruh kekayaan alam Aceh termasuk hidrokarbon akan dikelola secara bersama, dengan memberikan 30 persen untuk Pemerintah Pusat dan 70 persen untuk Aceh
Selanjutnya kewenangan tersebut di atur dalam pasal 160 Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagai legal standing untuk dapat di implementasikan, termasuk lahirnya turunannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya Alam di Aceh.
Realitasnya, apa yang menjadi harapan rakyat Aceh Timur belum bisa menikmati atas hasil kekayaan alam di daerahnya itu masih “Jauh Panggang Dari Api”, potret kemiskinan mewarnai keluarga miskin yang hidup dan tinggal berdempetan dengan perusahaan ekploitasi gas. Hal itu bisa di ukur dari indeks kemiskinan, income perkapita masyarakat, indeks pendidikan dan lainya.
Sementara pihak manajemen PT Medco E&P terus menebar pencitraan manis secara simbolis yang dibungkus dan disuguhkan dengan berita berita advetorial, atas capaian keberhasilan serta rasa peduli kepada masyarakat dengan berbagi bantuan sembako, daging kurban, dan susu beruang.
Begitu juga dengan beberapa program pemberdayaan ekonomi “ecek -ecek”, pelatihan melalui dana CSR yang dikelola oleh Yayasan Aliksa yang berasal dari Bandung, nyatanya bisa di katakan gagal seperti program tanaman padi organik SRI yang di gembar gemborkan selama 10 tahun dengan anggaran puluhan milyar, padahal hasil produksi lebih bagus dan meningkat tanaman padi petani yang diterapkan pola konvensional.
Tentu masyarakat ingin mengetahui besaran dana CSR yang diterima oleh masyarakat yang merasakan dampak ekploitasi dan produksi gas setiap tahun di WK Blok A, sebab besaran dan mekanisme penyaluran dana CSR diatur dalam UU PT dan PP nomor 47 tahun 2012, dengan besaran CSR 2 persen hingga 4 persen dari jumlah keuntungan perusahaan dalam setahun.
Hingga saat ini, PT Medco E&P Malaka telah beroperasi selama kurun waktu 12 tahun, penulis yakin jangankan masyarakat biasa Pejabat Pemerintah Aceh Timur dan pimpinan dan anggota DPRK tidak mengetahui angka pasti besaran CSR yang menjadi hak daerah penghasil. Apalagi dana CSR PT Medco E&P Malaka adanya sharing dengan Pemerintah Aceh yang di atur oleh Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA).
Bukan hanya soal dana CSR yang tidak transparan, akan tetapi dalam proses rekruitmen tenaga kerja yang sangat inklusif atau tertutup, bahkan banyak masyarakat mencibir jika tidak ada “Ordal” (Orang Dalam) maka jangan mimpi dan berharap bisa bekerja di perusahaan tersebut. Walaupun memilik skill dan segudang pengalaman. Begitu pula dengan peluang pengusaha lokal untuk menjadi vendor bukan hal mudah, kabarnya tanpa deal-dealan dengan oknum management maupun “mafia” yang diduga memainkan peran penting di perusahaan tersebut jangan coba -coba.
Dalam hal mengungkap kebenaran, di perlukan peran Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan untuk review dan evaluasi terhadap berbagai persoalan, apakah sesuai dengan aturan dan komitmen PT Medco E&P Malaka terhadap masyarakat Aceh Timur. Misalnya mendapatkan data terhadap jumlah besaran dana CSR dan proses perekrutan tenaga kerja dan peluang putra lokal yang proporsional, termasuk dalam pengelolaan lingkungan.
Bahkan kita mendengar kabar bagi sebagian karyawan yang bekerja di PT Medco E&P Malaka, diduga tanpa kontrak, jika itu benar tentu BPJS ketenagakerjaan tidak dibayar, dan ini sangat merugikan bagi tenaga kerja.
Peran DPRK tentu sangat diharapkan oleh masyarakat Aceh Timur untuk menjadi perhatian serius, tapi pertanyaannya Dewan terhormat apa punya keinginan dan keberanian untuk mengungkap apakah PT Medco E&P Malaka sudah menjalankan sesuai aturan dan kewajiban, atau sebaliknya selama ini menebar kebohongan terhadap masyarakat yang dibalut dengan pencitraan.
Sikap tegas DPRK sangat penting, apalagi ini momen yang tepat sejalan dengan semangat komitmen Bupati Aceh Timur Iskandar Usman Al-Farlaky yang meminta keterbukaan PT Medco E&P Malaka dalam pengelolaan CSR dan Perekrutan Tenaga Kerja. Jadi saatnya dewan menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada rakyat untuk menyelamatkan kekayaan alam Aceh Timur untuk kesejahteraan masyarakat.***