HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pengaruh Kehilangan Waktu Orang Tua Yang Bekerja Diluar Negeri Terhadap Pendidikan Anak

Nadhilla Jumadil Eka Putri Semester: 4 Prodi: Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji ...

Nadhilla Jumadil Eka Putri Semester: 4 Prodi: Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji 
Dosen Pengampu; Aang Yudho Prastowo, M.Pd.

Lentera24.com - Pendidikan sejatinya tidak hanya tentang bangku sekolah, melainkan proses pembentukan karakter yang berkelanjutan. Namun, realitas keluarga perantau kerap memperlihatkan tantangan kompleks yang merobek konsep pendidikan itu sendiri. Ketika orangtua memutuskan bekerja di luar negeri, meninggalkan dua anak tanpa pengawasan, masalah pendidikan tidak lagi sekadar soal prestasi akademis, melainkan persoalan fundamental pembentukan kepribadian.

Fenomena orangtua bekerja di luar negeri sambil meninggalkan anak-anak di tanah air bukanlah sekadar pilihan ekonomi, melainkan sebuah realitas sosial yang memiliki konsekuensi mendalam terhadap pembentukan karakter dan masa depan generasi muda. Apakah pengorbanan ekonomi yang dilakukan orangtua sebanding dengan risiko kehancuran moral anak-anak mereka?

Ketika orangtua memutuskan bekerja di luar negeri, pada dasarnya mereka telah menciptakan kekosongan emosional yang tidak dapat digantikan oleh materi apa pun. Anak-anak yang ditinggalkan seringkali mengalami krisis kepercayaan, kehilangan figur pengawasan, dan terjerumus ke dalam lingkungan pergaulan yang negatif. Tidak adanya bimbingan langsung dari orangtua menyebabkan remaja rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan prestasi akademis dan perilaku menyimpang.

Dampak psikologis yang dialami anak-anak dalam situasi ini sangatlah kompleks. Rasa kehilangan, diabaikan, dan tidak diperhatikan secara langsung memicu tindakan mencari perhatian melalui cara-cara destruktif. Anak laki-laki yang sering membolos sekolah dan tidak naik kelas adalah ekspresi dari ketidakberdayaan dan upaya mendapatkan perhatian. Sementara anak perempuan yang mudah terjerumus dalam hubungan pacaran yang tidak sehat merupakan manifestasi dari kebutuhan akan kasih sayang dan pengakuan yang tidak terpenuhi.

Sistem pengasuhan jarak jauh melalui transfer uang dan komunikasi digital tidaklah cukup untuk menggantikan sentuhan, bimbingan, dan control langsung orangtua. Pengawasan melalui telepon atau video call tidak mampu menggantikan peran mendidik secara langsung. Orangtua yang bekerja di luar negeri seolah-olah telah memilih materi di atas substansi pendidikan moral anak-anak mereka.

Lingkungan sosial sekitar pun turut berperan dalam memperburuk situasi. Tanpa kontrol orangtua, anak-anak menjadi sangat rentan terhadap pengaruh negatif teman sebaya. Pergaulan bebas, penyalahgunaan zat, perilaku menyimpang, dan menurunnya minat pendidikan adalah konsekuensi langsung dari pengabaian orangtua. Sistem pengasuhan yang terfragmentasi ini menciptakan generasi yang kehilangan arah dan identitas.

Orangtua tidak dibenarkan sepenuhnya menyalahkan anak, namun juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Keputusan untuk bekerja di luar negeri adalah pilihan yang memiliki konsekuensi psikologis dan edukatif yang kompleks. Mereka telah menciptakan vakum pengasuhan yang sulit diisi oleh siapa pun. Solusi bukanlah sekadar menyalahkan orangtua yang berupaya mencari nafkah, melainkan merancang sistem dukungan sosial yang komprehensif. 

Keluarga besar, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi dan membimbing anak-anak yang ditinggalkan. Komunikasi intens, pendampingan psikologis, dan pemberian wadah pengembangan potensi menjadi kunci utama mencegah degradasi moral.

Para orangtua perlu melakukan evaluasi mendalam. Apakah pengorbanan ekonomi yang dilakukan sebanding dengan risiko kehancuran masa depan anak? Pertimbangan untuk membuat keputusan bersama keluarga, mencari alternatif pekerjaan di dalam negeri, atau membawa anak ikut serta dalam proses migrasi menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan secara matang. 

Pada akhirnya, tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Bukan sekadar milik orangtua atau anak, melainkan ekosistem sosial yang saling terhubung. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan generasi muda dari ancaman kegagalan pendidikan yang sistemik.***