HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Poros Keamanan Asia sebagai upaya dari stabilitas di tengah ketegangan selat Taiwan

Farhan Abidin, Semester 5 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas: Universitas Islam Indonesia Lentera24.com - Aliansi seperti...

Farhan Abidin, Semester 5
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas: Universitas Islam Indonesia


Lentera24.com - Aliansi seperti Quad dan AUKUS semakin diperkuat untuk menghadapi ancaman China di Selat Taiwan, tetapi efektivitas strategi ini masih menjadi perdebatan. Ketegangan di Selat Taiwan kembali menjadi sorotan dunia, seiring dengan meningkatnya aktivitas militer China di kawasan tersebut. China terus menegaskan klaimnya terhadap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, bahkan dengan ancaman penggunaan kekuatan militer jika perlu. Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia memperkuat aliansi keamanan untuk menahan potensi agresi China. Aliansi seperti AUKUS dan Quad hadir sebagai respons strategis, namun pendekatan ini memunculkan perdebatan: Apakah penguatan militer kawasan akan menjadi langkah efektif untuk mencegah konflik atau justru mempercepat eskalasi?


Context:

Ketegangan antara China dan Taiwan telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade. Sejak Perang Saudara China berakhir pada 1949, Taiwan membentuk pemerintahan sendiri dan mengklaim sebagai negara merdeka. Namun, Beijing menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari China. Dalam beberapa tahun terakhir, China meningkatkan tekanan terhadap Taiwan melalui langkah-langkah ekonomi, diplomatik, dan militer, termasuk latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan. 


Situasi ini memicu respons internasional, terutama dari negara-negara demokrasi di kawasan indo-pasifik. Amerika Serikat, melalui kebijakan “Strategic Ambiguity”, mendukung kemampuan pertahanan Taiwan tanpa mengakui kedaulatannya secara resmi. Sementara itu, aliansi keamanan seperti Quad (Amerika Serikat, Jepang, India, Australia) dan AUKUS (Australia, Inggris, Amerika Serikat) terbentuk untuk membendung pengaruh militer China di kawasan. 


Namun, pendekatan berbasis aliansi ini juga menghadapi tantangan. Beijing memandangnya sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan nasionalnya. Ancaman konflik bersenjata di kawasan pun meningkat, yang berpotensi melibatkan kekuatan besar lainnya dan mengguncang stabilitas global.


Argument:

Strategi aliansi keamanan memberikan banyak keuntungan dalam menahan agresi China. Dengan memperkuat kemampuan pertahanan Taiwan, negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia menunjukkan komitmen terhadap stabilitas kawasan. Langkah ini juga memperkuat norma internasional terkait kebebasan navigasi dan penghormatan terhadap status quo di Selat Taiwan.


Selain itu, keberadaan aliansi seperti AUKUS dan Quad memberi sinyal kepada China bahwa langkah agresif akan menghadapi konsekuensi serius. Misalnya, latihan militer gabungan dan peningkatan kehadiran kapal perang di Laut China Selatan menunjukkan kesolidan negara-negara ini dalam mempertahankan tatanan berbasis aturan internasional. Dalam konteks ini, kekuatan militer bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga pencegah strategis.


Namun, penguatan aliansi ini harus didukung oleh langkah-langkah diplomasi. Aliansi yang kuat hanya akan efektif jika didukung oleh komunikasi yang jelas dan pesan yang konsisten kepada Beijing bahwa tindakan agresif akan memiliki dampak besar secara politik dan ekonomi.


Counterargument:

Di sisi lain, pendekatan ini juga memiliki risiko yang tidak bisa diabaikan. China memandang aliansi keamanan seperti AUKUS sebagai upaya pengepungan strategis terhadap kepentingannya. Langkah ini bisa mendorong Beijing untuk mengambil tindakan pre-emptive, termasuk invasi terhadap Taiwan sebelum kekuatan aliansi semakin solid.


Pendekatan militer juga bisa memperburuk siklus ketegangan di kawasan. Semakin sering latihan militer digelar, semakin tinggi risiko miskalkulasi yang dapat memicu konflik tidak disengaja. Selain itu, peningkatan anggaran militer untuk mendukung aliansi ini bisa mengalihkan fokus dari kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara terkait.


Diplomasi yang terlalu menitikberatkan pada kekuatan militer juga berisiko meminggirkan peluang dialog. Aliansi ini cenderung memperkuat perpecahan antara kubu demokrasi dan kubu otoritarian, sehingga semakin sulit untuk membangun kepercayaan antara kedua belah pihak.


Recommendation/Conclusion:

Pendekatan keamanan di Indo-Pasifik harus bersifat seimbang, menggabungkan kekuatan militer dengan diplomasi aktif. Strategi ini perlu melibatkan seluruh pihak, termasuk China dan Taiwan, dalam dialog multilateral yang berfokus pada stabilitas kawasan. Langkah ini dapat dimulai dengan pembicaraan informal yang melibatkan ASEAN sebagai pihak ketiga yang netral.


Selain itu, aliansi seperti Quad dan AUKUS perlu memperluas fokus mereka dari sekadar penguatan militer menjadi platform untuk kerja sama ekonomi dan kemanusiaan. Dengan cara ini, mereka dapat menciptakan narasi bahwa tatanan berbasis aturan tidak hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang manfaat bersama.


Komunitas internasional juga perlu lebih tegas dalam menegakkan hukum internasional, seperti kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Dengan mengurangi risiko militerisme dan meningkatkan diplomasi, stabilitas di kawasan dapat dipertahankan tanpa memicu eskalasi lebih lanjut.


About the Author:

Artikel ini ditulis oleh Farhan Abidin, seorang mahasiswa S-1 Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia angkatan 2022 kelahiran Bekasi, 3 Maret 2004. Dengan latar belakang akademik di bidang hubungan internasional, Farhan memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu geopolitik dan keamanan global, terutama yang berkaitan dengan Studi Kawasan. Artikel ini dibuat sebagai bagian dari latihan akademis untuk mengembangkan kemampuan menulis analitis dan populer, serta menggali lebih dalam dinamika hubungan China-Taiwan dan dampaknya terhadap stabilitas regional.***