Octaviani Gustinawati, Semester 5 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Lentera24.com - Cahaya harapan yang...
Lentera24.com - Cahaya harapan yang dipadamkan, mematahkan sayap perempuan Afganistan dalam mengakses pendidikan. Kebijakan ini menjadi langkah mundur yang serius dalam upaya mencapai kesetaraan dan juga pemenuhan hak asasi manusia. Sejak pemerintahan Taliban, pelarangan akses pendidikan bagi perempuan terus mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini memicu perhatian internasional terhadap masa depan generasi muda di Afganistan.
Afganistan adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang akses pendidikan bagi anak perempuan sejak tahun 1996, melalui kebijakan ketat yang dianggap telah merampas hak asasi anak, khususnya perempuan. Kebijakan ini tidak hanya menimbulkan ketegangan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade, tetapi juga secara langsung menyingkirkan peran dan partisipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak buruk dari kebijakan ini juga membuat buruknya kesehatan mental perempuan dari adanya pembatasan yang semakin ketat. Meskipun anak perempuan di bawah usia 12 tahun masih diizinkan untuk mengenyam pendidikan, namun menurut laporan dari UNESCO menunjukkan adanya penurunan drastis minat siswa untuk mendaftarkan diri di pendidikan dasar. Penurunan ini terjadi karena adanya kekurangan guru yang diakibatkan dari kebijakan diskriminatif yang melarang guru perempuan untuk mengajar anak laki-laki dan begitu juga sebaliknya (UNESCO, 2024).
Jika situasi ini terus berlanjut, kesenjangan sosial dan ekonomi di Afghanistan akan semakin meningkat secara signifikan. Ketidakadilan yang terjadi juga menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi akibat adanya keterbatasan akses pendidikan, dalam hal ini sama dengan negara juga kehilangan potensi besar dari separuh populasinya yang pada akhirnya hal ini justru akan menghambat kemajuan dan pembangunan.
Tidak adanya akses pendidikan juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan juga menjadi kelompok yang paling rentan yang pada akhirnya juga terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakberdayaan, karena dianggap rendah serta tidak memiliki peluang untuk mensejahterakan kehidupannya. Selain itu, dampak yang dirasakan oleh anak-anak yang menghadapi tekanan psikologis hingga mengalami stress, depresi, dan gangguan kecemasan berlebihan hingga memiliki pikiran untuk bunuh diri karena merasa tidak ada harapan atau tujuan hidup untuk masa depan. Kondisi ini juga menciptakan krisis generasi yang tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga masa depan masyarakat Afghanistan secara keseluruhan (Ahmadi et al., 2023).
Situasi ini terjadi karena Taliban menganut pandangan garis keras atau sistem hawks yang menganggap pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam kehidupan sosial sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, adat istiadat, serta nilai-nilai tradisional. Mereka juga percaya bahwa beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dapat merusak nilai keislaman dan juga moral dalam masyarakat. Namun, pandangan ini justru bertentangan dengan nilai ajaran Islam yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini telah menggambarkan bahwa tidak adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam Islam untuk mencari pengetahuan, karena dalam konteks ini juga dapat dikatakan jika mencari pengetahuan sebagai bagian dari ibadah untuk kehidupan dunia maupun akhirat.
Namun, kebijakan yang semakin memicu perdebatan adalah larangan terbaru yang diberlakukan pada Desember 2024 yang melarang perempuan menempuh pendidikan di bidang kesehatan atau medis. Padahal, sektor ini sebelumnya menjadi salah satu harapan yang menciptakan impian untuk perempuan melanjutkan pendidikan demi masa depan yang cerah. Larangan ini tidak hanya membatasi hak perempuan untuk mengenyam pendidikan, tetapi juga akan memberikan dampak yang besar terhadap akses pelayanan kesehatan, terutama bagi perempuan Afganistan yang kini semakin sulit mendapatkan akses perawatan medis yang memadai.
Jika situasi ini tidak segera dihentikan maka krisis kemanusiaan khususnya yang dialami oleh perempuan akan semakin meningkat yang diikuti oleh memburuknya krisis ekonomi. Meskipun sebagian masyarakat Afganistan mendukung kebijakan yang diberlakukan oleh Taliban dengan alasan kesesuaian dengan ajaran Islam dan pelestarian norma adat istiadat, namun disisi lain kebijakan ini meningkatkan tingkat diskriminasi. Maka dari itu perlunya peran aktif organisasi internasional dan negara-negara lain untuk terus mendesak Taliban agar memberikan akses pendidikan yang layak bagi perempuan.
Jika masalahnya terkait nilai-nilai keislaman, maka solusi yang dapat diberlakukan adalah menyediakan kelas maupun sekolah khusus bagi perempuan, begitu pula sebaliknya dengan kelas yang diisi oleh laki-laki dapat menggunakan video virtual untuk pembelajaran jika tenaga kerja yang mengajar kebanyakan perempuan. Demikian pula, jika kekhawatirannya terkait dengan ajaran yang dianggap menyimpang dari Islam atau cenderung mengadopsi nilai-nilai Barat, maka penyusunan kurikulum berbasis nilai-nilai keislaman dapat menjadi alternatif yang dapat lebih diterima.***
About the Author
Nama: Octaviani Gustinawati
Tempat, Tanggal Lahir: Timika, 10 oktober 2004
Saat ini sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia. Memiliki ketertarikan dalam membahas isu-isu hak asasi manusia secara global dan ingin berkontribusi dalam peningkatan kesadaran terkait dengan pentingnya penegakan hak asasi manusia.