HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Keadilan Sosial: Antara Harapan dan Realitas

Nuruliza Gisela, Mahasiswi Semester 1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Lentera24.com Kead...

Nuruliza Gisela, Mahasiswi Semester 1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara


Lentera24.com Keadilan sosial merupakan prinsip yang diimpikan oleh banyak kalangan dalam masyarakat, yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan bagi setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam wacana pembangunan, keadilan sosial menjadi salah satu tujuan utama, karena dengan tercapainya keadilan sosial, diharapkan tercipta kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, apakah keadilan sosial ini benar-benar tercapai? atau justru hanya menjadi angan-angan belaka? Artikel ini akan mengulas tentang bagaimana harapan akan keadilan sosial seringkali bertabrakan dengan realitas yang ada di lapangan.


Harapan Keadilan Sosial

Dalam pandangan ideal, keadilan sosial berarti bahwa setiap individu memiliki akses yang setara terhadap hak-hak dasar, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Selain itu, keadilan sosial juga mengutamakan pemerataan sumber daya, sehingga tidak ada golongan yang terpinggirkan atau dibiarkan tertinggal. Di level negara, ini berarti ada sistem yang mampu menciptakan redistribusi kekayaan yang adil, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial yang seringkali menciptakan ketidaksetaraan.

Keadilan sosial juga dipandang sebagai alat untuk memerangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah yang berpihak pada kelompok marjinal, seperti pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin atau penyediaan fasilitas pendidikan gratis, dianggap sebagai langkah yang tepat untuk mendekatkan harapan keadilan sosial tersebut.

Oleh karena itu keadilan sosial diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang adil, setara dan berkeadilan. Harapan ini tertuang dalam:

Kesetaraan akses pendidikan dan kesehatan: Semua lapisan masyarakat dapat mengakses pendidikan dan kesehatan berkualitas.

Keadilan ekonomi: Penghasilan dan kesempatan kerja yang adil dan setara.

Perlindungan hak asasi manusia: Perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan.

Partisipasi politik: Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.


Realitas Keadilan Sosial

Namun, harapan yang begitu mulia tersebut seringkali terbentur pada kenyataan yang ada di lapangan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat untuk memajukan kesejahteraan sosial, kesenjangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah besar yang belum teratasi dengan sempurna.

Realitas keadilan sosial di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan. Beberapa contoh:

Kesenjangan ekonomi: 20% penduduk Indonesia menguasai 50% kekayaan negara (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2022).

Diskriminasi: Diskriminasi terhadap perempuan, minoritas dan kelompok rentan masih prevalen.

Keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan: Banyak daerah terpencil yang belum memiliki akses pendidikan dan kesehatan memadai.

Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan: Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi masalah besar.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, ketimpangan antara kaya dan miskin semakin melebar. Sebagian kecil masyarakat yang memiliki akses besar terhadap sumber daya dan kekayaan cenderung semakin kaya, sementara kelompok masyarakat miskin semakin terperosok dalam kemiskinan struktural. Bahkan, program-program kesejahteraan sosial yang ada terkadang tidak tepat sasaran dan tidak mampu menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

Realitas lain yang sering menghalangi tercapainya keadilan sosial adalah faktor budaya dan sistem sosial yang mengakar dalam masyarakat. Ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan layanan kesehatan seringkali dipengaruhi oleh struktur sosial yang tidak adil, di mana diskriminasi berdasarkan suku, agama, atau gender masih terjadi di banyak sektor. Meski ada kebijakan yang berupaya mengurangi ketimpangan ini, namun praktik diskriminatif dan ketidaksetaraan masih terasa kuat di tingkat lokal dan masyarakat.

Selain itu, pengaruh globalisasi yang semakin kuat juga turut memperburuk kondisi ketidakadilan sosial. Perusahaan multinasional dan kapitalisme yang mendominasi perekonomian seringkali mengabaikan kesejahteraan pekerja dan merugikan lingkungan. Oleh karena itu, meskipun negara sudah berupaya untuk menciptakan keadilan sosial melalui berbagai kebijakan, tekanan dari kekuatan global dan ketimpangan yang sudah mengakar dalam sistem sosial sangat sulit untuk diubah dalam waktu singkat.


Mencari Titik Temu

Keadilan sosial memang merupakan sebuah cita-cita luhur, tetapi perjalanan untuk mewujudkannya penuh dengan tantangan. Harapan akan keadilan sosial tidak boleh padam, namun kita harus realistis dalam melihat hambatan-hambatan yang ada. Untuk mencapai keadilan sosial, diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi antara kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat, serta upaya bersama untuk mengurangi ketimpangan sosial.

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara harus terus mendesak agar pemerintah lebih serius dalam merumuskan kebijakan yang dapat mempersempit kesenjangan sosial, serta mengedepankan nilai-nilai keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Selain itu, masyarakat juga perlu memiliki kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi yang masih ada di sekitar kita.

Keadilan sosial bukanlah sebuah tujuan yang mudah dicapai, tetapi bukan pula hal yang mustahil untuk diwujudkan. Selama harapan dan upaya terus bersinergi, maka keadilan sosial tetap dapat menjadi kenyataan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

“Keadilan dan kekuasaan harus disatukan sehingga apa pun yang adil menjadi kuat, dan apa pun yang kuat menjadi adil.”

— Blaise Pascal