HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Perspektif Hukum Laut Internasional terhadap Illegal Fishing di Kepulauan Natuna

Yohana Tiur Indah Malau Semester:3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  Universitas Maritim Raja Ali Haji   Lentera24.com - Kepulauan Nat...

Yohana Tiur Indah Malau Semester:3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 
Universitas Maritim Raja Ali Haji 


Lentera24.com - Kepulauan Natuna, yang terletak di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menghadapi ancaman serius akibat aktivitas illegal fishing. Aktivitas ini tidak hanya melanggar kedaulatan maritim Indonesia tetapi juga merusak ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Lebih parah lagi, klaim sepihak Tiongkok dengan "nine-dash line" memperkeruh situasi, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya masalah nasional, melainkan juga sengketa internasional yang membutuhkan penanganan berbasis Hukum Laut Internasional.


Hukum Laut Internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, menjadi landasan utama dalam mengatur batas-batas maritim dan hak berdaulat suatu negara di ZEE. Pasal 56 UNCLOS, misalnya, memberikan hak eksklusif kepada Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah ini. Namun, implementasi hukum ini menghadapi tantangan besar ketika dihadapkan pada pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing, termasuk kapal-kapal dari Tiongkok.


Penting dipahami bahwa illegal fishing di Natuna bukan hanya persoalan melindungi kekayaan laut, tetapi juga menjaga kedaulatan negara. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), puluhan kapal asing ditangkap setiap tahun di perairan Natuna. Sebagian besar berasal dari negara yang mengklaim perairan tersebut sebagai bagian dari "tradisional fishing ground" mereka, meskipun klaim ini tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut UNCLOS.


Langkah-langkah yang diambil Indonesia untuk menindak illegal fishing, seperti memperkuat patroli Bakamla dan TNI AL, patut diapresiasi. Namun, upaya ini harus dibarengi dengan pendekatan diplomasi maritim yang lebih strategis. Pemerintah Indonesia perlu terus mendorong penolakan terhadap klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok di forum internasional, seperti PBB dan ASEAN. Selain itu, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk mengajukan status Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) kepada International Maritime Organization (IMO) untuk perairan Natuna. Status ini akan memberikan perlindungan khusus terhadap aktivitas yang dapat merusak ekosistem laut, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam menegakkan hukum maritim internasional.


Di sisi lain, keterlibatan masyarakat lokal juga sangat penting dalam menyelesaikan masalah ini. Wawancara dengan nelayan di Natuna menunjukkan bahwa illegal fishing telah merugikan mereka secara signifikan, baik dari segi hasil tangkapan yang menurun maupun kerusakan alat tangkap. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat pesisir menjadi mitra dalam menjaga kedaulatan laut, misalnya dengan memberikan dukungan berupa teknologi pengawasan maritim berbasis komunitas atau subsidi untuk nelayan tradisional.


Dari perspektif keberlanjutan, illegal fishing juga mengancam ekosistem laut yang menjadi fondasi utama bagi kehidupan masyarakat pesisir. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan ikan ilegal, jika tidak segera dihentikan, dapat menyebabkan overfishing dan merusak habitat laut, termasuk terumbu karang dan padang lamun di Natuna. Oleh karena itu, penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995, yang menekankan pengelolaan perikanan berkelanjutan, menjadi sangat relevan.


Secara keseluruhan, illegal fishing di Natuna adalah persoalan kompleks yang memerlukan solusi holistik. Penegakan hukum maritim harus berjalan seiring dengan diplomasi, pemberdayaan masyarakat, dan konservasi lingkungan. Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepemimpinan global dalam isu ini, dengan memanfaatkan sepenuhnya kerangka hukum internasional seperti UNCLOS 1982 dan IPOA IUU Fishing 2001. Dengan pendekatan ini, tidak hanya kedaulatan Indonesia yang terjaga, tetapi juga kelestarian ekosistem laut di Kepulauan Natuna dapat dipertahankan untuk generasi mendatang.***