Oleh: Annisa Khosiya Robbah Mahasiswi Semester 1 ...
Oleh: Annisa Khosiya Robbah Mahasiswi Semester 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallah Jakarta
Ilustrasi |
Lentera24.com - Media memiliki peran signifikan dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap gender. Melalui televisi, film, media sosial, hingga iklan, media sering kali mencerminkan sekaligus memperkuat stereotip gender. Tanpa disadari, pola ini menghambat kesetaraan gender dan mempengaruhi cara individu memahami peran mereka dalam masyarakat. Namun, dengan pendekatan yang tepat, media juga memiliki potensi menjadi katalis perubahan menuju masyarakat yang lebih setara.
Media sering kali mencerminkan norma dan nilai yang ada di masyarakat, termasuk stereotip gender. Namun, dalam banyak kasus, media tidak hanya mencerminkan, tetapi juga memperkuat stereotip tersebut.
Dalam dunia televisi dan film, stereotip gender sering kali diperkuat melalui representasi karakter yang mengikuti pola tradisional. Laki-laki kerap digambarkan sebagai pahlawan, pemimpin, atau tokoh yang dominan, sementara perempuan lebih sering diperlihatkan sebagai pendukung, objek seksual, atau terkungkung dalam peran domestik. Contohnya adalah film-film aksi yang hampir selalu menampilkan tokoh utama laki-laki yang kuat, maskulin, dan tak kenal takut. Sebaliknya, tokoh perempuan cenderung hanya menjadi pasangan romantis atau korban yang membutuhkan perlindungan. Representasi semacam ini secara tidak langsung mengajarkan bahwa laki-laki lebih berdaya dan perempuan lebih lemah.
Di era serba digital, bidang Sains, Teknologi, Engineering, Teknik, dan Matematika (STEM) memiliki peranan penting yang berpengaruh kepada kehidupan banyak orang. Sayangnya, tingkat partisipasi perempuan di bidang STEM tidak sepesat digitalisasi di Indonesia. Boston Consulting Group (2020) melaporkan hanya sekitar 22% dari perempuan tersebut bekerja di bidang teknologi. memperkuat anggapan bahwa profesi ini lebih cocok untuk laki-laki.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan di bidang STEM adalah kurangnya representasi dan peran model yang kuat. Terlebih lagi stereotip gender yang berhubungan dengan kemampuan dan minat dalam bidang STEM dapat menghambat perkembangan karier perempuan di bidang ini. Banyak perempuan yang juga terhambat oleh stigma masyarakat yang mempengaruhi kualitas pendidikan mereka sehingga para perempuan kurang terwakili dalam bidang STEM.
Media sosial, sebagai platform yang semakin dominan di era digital, memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang masyarakat terhadap gender. Aplikasi seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memberikan ruang bagi individu untuk berbagi pandangan dan gaya hidup mereka. Namun, media sosial juga sering kali mempromosikan standar kecantikan yang kaku dan eksklusif, terutama bagi perempuan. Misalnya, algoritma platform ini cenderung memperkuat konten yang mempromosikan tubuh yang ideal dan perilaku feminin tertentu. Hal ini menciptakan tekanan sosial bagi perempuan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis. Di sisi lain, laki-laki sering kali menghadapi standar maskulinitas yang menekankan kekuatan fisik, keberhasilan finansial, dan dominasi sosial. Dan media sosial juga sering kali menjadi platform untuk menampilkan gaya hidup bebas gender (gender-neutral) yang mulai diminati generasi muda.
Iklan, sebagai salah satu bentuk media yang paling eksplisit dalam mempromosikan stereotip gender, juga memiliki dampak yang signifikan. Produk rumah tangga sering kali dipasarkan dengan menampilkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang penuh kasih sayang, sementara produk teknologi atau mobil cenderung menampilkan laki-laki sebagai pengguna utama. Contoh konkret adalah iklan deterjen yang hampir selalu menampilkan perempuan sebagai pengguna, sementara iklan mobil sport cenderung menonjolkan laki-laki dengan gaya hidup mewah dan sukses. Pola ini tidak hanya memperkuat stereotip gender, tetapi juga memengaruhi cara individu memandang peran mereka dalam keluarga dan masyarakat.
Anak-anak dan remaja adalah kelompok yang paling rentan terhadap pengaruh media. Mereka sering kali melihat media sebagai cerminan dari realitas dan mencoba meniru apa yang mereka lihat. Program televisi anak-anak, misalnya, sering kali menampilkan karakter laki-laki sebagai pemimpin kelompok, sementara karakter perempuan berperan sebagai pendukung.
Bahkan dalam mainan, media sering memasarkan boneka dan perlengkapan rumah tangga untuk anak perempuan, sementara mainan seperti mobil dan robot untuk anak laki-laki. Pola ini memperkuat pemikiran bahwa ada aktivitas tertentu yang hanya cocok untuk jenis kelamin tertentu.
Dampak dari pengaruh media terhadap persepsi gender tidak hanya terbatas pada representasi visual, tetapi juga memiliki konsekuensi yang mendalam dalam kehidupan nyata. Stereotip gender yang diperkuat oleh media dapat membatasi pilihan individu dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk karier, pendidikan, dan gaya hidup.
Tekanan untuk memenuhi standar gender yang ditetapkan oleh media juga memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental individu. Perempuan sering kali merasa tertekan untuk memiliki tubuh yang sesuai dengan standar kecantikan yang dipromosikan media, sementara laki-laki merasa terbebani untuk selalu terlihat kuat dan sukses. Gangguan seperti body dysmorphia dan anoreksia pada perempuan, serta depresi dan kecemasan pada laki-laki, sering kali terkait dengan tekanan sosial ini.
Namun, media juga memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan positif. Kampanye-kampanye seperti #MeToo dan #HeForShe telah menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kesadaran tentang ketidakadilan gender dan memobilisasi aksi kolektif. Produksi film dan acara televisi yang menampilkan tokoh perempuan yang kuat dan mandiri juga telah membantu mengubah persepsi masyarakat tentang peran gender. Contoh seperti serial Wonder Woman dan film Hidden Figures menunjukkan bagaimana representasi yang inklusif dapat menginspirasi generasi muda untuk mengejar impian mereka tanpa batasan gender.
Banyak karya media yang mengangkat isu ketidaksetaraan gender, seperti diskriminasi di tempat kerja atau kekerasan berbasis gender, membantu meningkatkan kesadaran masyarakat.
Langkah penting yang harus diambil adalah meningkatkan literasi media di masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Literasi media dapat membantu individu mengenali stereotip gender yang tersembunyi dalam konten media dan memahami dampaknya terhadap cara mereka memandang diri sendiri dan orang lain. Sekolah dan institusi pendidikan memiliki peran besar dalam mengajarkan siswa untuk bersikap kritis terhadap media dan mendorong mereka untuk mendukung konten yang inklusif dan progresif.
Produsen media juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan konten yang adil dan inklusif. Representasi perempuan dan laki-laki dalam media harus mencerminkan keragaman pengalaman manusia tanpa terikat pada stereotip tradisional. Misalnya, menunjukkan perempuan dalam peran kepemimpinan atau laki-laki dalam peran domestik dapat membantu mematahkan norma-norma gender yang kaku.
Media juga berfungsi sebagai sarana untuk mendiskusikan dan mengkritisi norma gender. Podcast, vlog, artikel, dan diskusi daring menyediakan ruang untuk edukasi dan penyadaran terhadap isu gender.
Media adalah alat yang sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi gender di masyarakat. Sementara media sering kali memperkuat stereotip yang merugikan, ia juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang mendorong kesetaraan gender. Dengan meningkatkan literasi media, mendukung konten yang inklusif, dan mendorong produsen media untuk lebih bertanggung jawab, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Saran bagi individu adalah untuk lebih kritis dalam mengonsumsi media dan mendukung narasi yang mempromosikan kesetaraan gender. Untuk pembuat kebijakan, penting untuk mengatur dan mempromosikan representasi yang inklusif di semua platform media. Dengan kerja sama dari semua pihak, media dapat menjadi kekuatan utama dalam menciptakan dunia yang lebih setara bagi semua.***