Tengku Jayadi Noer Lentera24.com - Pemilihan kepala daerah secara langsung sering dipandang sebagai wujud nyata demokrasi. Dalam sistem ini...
Tengku Jayadi Noer |
Lentera24.com - Pemilihan kepala daerah secara langsung sering dipandang sebagai wujud nyata demokrasi. Dalam sistem ini, rakyat mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang mereka percayai secara terbuka dan jujur.
Namun, belakangan muncul wacana yang berupaya mengurangi hak partisipasi rakyat dalam memilih langsung, menggantinya dengan mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ide ini muncul sebagai respons terhadap fenomena Pilkada yang dinilai semakin mahal dan sulit diakses oleh banyak kalangan.
Realitas tingginya biaya Pilkada tercermin jelas pada Pilkada Serentak 2024. Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), pemerintah menganggarkan dana hingga Rp226 miliar untuk mendukung pelaksanaan pesta demokrasi ini. Jumlah ini untuk mengakomodasi kebutuhan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepri sebesar Rp141 miliar, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kepri Rp57 miliar, dan pengamanan sebesar Rp27 miliar. Semua dana tersebut ditujukan untuk memastikan pelaksanaan Pilkada berlangsung lancar, aman, dan sesuai aturan.
Namun, biaya besar ini bukan hanya terjadi di penyelenggara. Para pasangan calon yang bersaing di Pilkada Serentak 2024 juga dihadapkan pada beban finansial yang tidak ringan. Di Pilgub Kepri, misalnya, satu pasangan calon mengeluarkan dana hingga Rp5,5 miliar hanya untuk kampanye. Ini belum termasuk biaya untuk saksi di 3.327 TPS, operasional tim pemenangan, dan pengeluaran lainnya yang sering kali sulit diukur secara pasti.
Sayangnya, tingginya biaya pelaksanaan Pilkada tidak sejalan dengan tingkat partisipasi pemilih. Di Kepulauan Riau, dari target partisipasi sebesar 82 persen, hanya 54,61 persen yang berhasil dicapai. Bahkan di Kota Batam, yang memiliki jumlah pemilih terbesar, partisipasi pemilih hanya menyentuh angka 48,54 persen. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah biaya besar yang dikeluarkan sepadan dengan hasil yang diperoleh?
Fungsi Pilkada
Dalam teori politik, demokrasi diartikan sebagai sistem di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Secara etimologis, kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan. Ini mengartikan bahwa dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, yang menjadi dasar pemerintahan.
Salah satu ciri utama dari negara demokratis adalah pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang diadakan secara periodik. Melalui Pilkada, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal secara langsung, yang merupakan wujud nyata dari kedaulatan rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Dengan demikian, Pilkada memainkan peran penting dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.
Pilkada berfungsi sebagai sarana legitimasi politik, di mana pemerintahan yang terpilih mendapatkan keabsahan dari rakyat untuk menjalankan mandatnya. Legitimasi ini penting, karena tanpa itu, pemerintah akan kehilangan otoritas untuk menjalankan program dan kebijakannya. Selain itu, legitimasi juga memungkinkan pemerintah untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada pelanggar.
Di sisi lain, Pilkada berfungsi sebagai mekanisme perwakilan politik. Rakyat dapat mengevaluasi, mengontrol, dan menilai kinerja pemerintah daerah melalui proses ini. Pilkada memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka percayai mampu memimpin dengan baik dan membawa perubahan positif. Pemilihan ini juga menjadi jalan bagi sirkulasi elite lokal, dengan harapan pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat.
Selain fungsi politiknya, Pilkada juga berperan sebagai media pendidikan politik bagi masyarakat. Melalui proses ini, rakyat dapat belajar tentang pentingnya partisipasi politik dan memahami lebih dalam tentang sistem demokrasi, sehingga diharapkan tercipta masyarakat yang semakin cerdas dan sadar akan hak dan tanggung jawab mereka dalam demokrasi.
Tantangan dan Harapan
Di balik idealisme dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung, praktik demokrasi lokal tidak lepas dari berbagai tantangan. Alih-alih membawa perubahan positif yang diharapkan, Pilkada sering kali justru menimbulkan masalah baru. Korupsi yang melibatkan kepala daerah semakin marak, dengan banyaknya pemimpin lokal yang menyalahgunakan otonomi daerah untuk memperkaya diri sendiri atas nama kepentingan rakyat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung, meski menjanjikan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel, justru terkadang menciptakan "raja-raja kecil" di daerah yang menggunakan kekuasaannya untuk menggerogoti anggaran daerah. Kasus-kasus korupsi di berbagai daerah menjadi bukti nyata bahwa demokrasi langsung belum sepenuhnya menghasilkan pemerintahan yang bersih.
Selain itu, pelaksanaan Pilkada yang memerlukan biaya besar juga menjadi beban bagi keuangan negara. Anggaran negara harus terus dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan Pilkada yang diadakan secara periodik, yang memerlukan dana hingga triliunan rupiah. Di sisi lain, tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh calon kepala daerah, serta rendahnya partisipasi pemilih, menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi oleh sistem Pilkada.
Meskipun demikian, solusi untuk mengatasi berbagai masalah Pilkada bukanlah dengan mengembalikan mekanisme pemilihan kepada DPRD. Melakukan hal tersebut justru akan menjadi langkah mundur bagi demokrasi, karena melemahkan keterlibatan dan kedaulatan rakyat dalam proses politik.
Terdapat beberapa alasan mengapa Pilkada langsung perlu dipertahankan, di antaranya adanya kesempatan bagi rakyat untuk terlibat secara langsung dalam menentukan kepala daerah yang akan memimpin mereka. Dengan sistem ini, rakyat memiliki suara langsung dalam memilih pemimpin yang mereka anggap paling layak.
Pilkada langsung juga akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki legitimasi lebih kuat karena dipilih oleh mayoritas pemilih di daerahnya. Pemimpin yang dipilih oleh rakyat cenderung lebih mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas.
Selain itu, Pilkada langsung juga mendorong lahirnya calon-calon pemimpin lokal yang memiliki visi dan misi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sistem ini memberikan kesempatan kepada individu yang memiliki kualitas kepemimpinan untuk maju, bukan hanya mereka yang memiliki akses ke DPRD.
Dengan mempertimbangkan berbagai alasan tersebut, sistem Pilkada langsung masih merupakan cara terbaik untuk menjaga demokrasi yang sehat, partisipatif, dan berkelanjutan. Meskipun sistem ini tidak sempurna dan menghadapi berbagai tantangan, mengembalikannya ke sistem pemilihan oleh DPRD justru memperburuk masalah, mencabut hak rakyat, dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya diperjuangkan. ***