HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

KAJIAN PSIKOLINGUISTIK TERHADAP GANGGUAN BERBAHASA AUTISME

PORTOPOLIO KEGIATAN   KAJIAN PSIKOLINGUISTIK TERHADAP GANGGUAN BERBAHASA AUTISME DOSEN PENGAMPU: PROF.DR.SUSILO,S.Pd.M.Pd Oleh : IMAS KOMALA...

PORTOPOLIO KEGIATAN 

KAJIAN PSIKOLINGUISTIK TERHADAP

GANGGUAN BERBAHASA AUTISME


DOSEN PENGAMPU:
PROF.DR.SUSILO,S.Pd.M.Pd


Oleh :
IMAS KOMALA
2405078013


PROGRAM STUDI MEGISTER
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN

DAFTAR ISI

Daftar isi

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

BAB II

PEMBAHASAN

BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

DOKUMENTASI KEGIATAN

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gangguan bahasa merupakan salah satu karakteristik utama pada individu dengan autisme, yang mengakibatkan kendala dalam komunikasi verbal maupun nonverbal (Happe, 1995). Individu dengan spektrum autisme sering menunjukkan kesulitan dalam memahami dan memproduksi bahasa, yang tidak hanya berdampak pada keterampilan bahasa itu sendiri, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial (Baron-Cohen, 2000). Studi psikolinguistik terhadap gangguan bahasa pada autisme telah menjadi topik penting karena pendekatan ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi proses-proses kognitif di balik keterbatasan bahasa yang dialami individu dengan autisme (Tager-Flusberg, 2003).

Secara khusus, gangguan pragmatik, yaitu kesulitan dalam memahami konteks sosial dalam komunikasi, sering terjadi pada individu dengan autisme (Volden, 2004). Pragmatik berhubungan erat dengan kemampuan untuk memahami maksud dan tujuan pembicaraan yang tidak selalu eksplisit, yang menjadi tantangan bagi individu dengan autisme (Paul, 2007). Kajian psikolinguistik dapat membantu memahami mengapa dan bagaimana gangguan pragmatik ini muncul dengan memeriksa aspek-aspek seperti pemrosesan informasi, perhatian, dan teori pikiran (theory of mind) yang terhambat (Baron-Cohen, 1995; Tager-Flusberg & Joseph, 2005).

Sebagai tambahan, individu dengan autisme sering mengalami kesulitan dalam aspek semantik, yaitu pemahaman terhadap makna kata-kata dan struktur kalimat. Kesulitan semantik ini dapat menyebabkan mereka mengalami keterbatasan dalam menghubungkan kata-kata dengan konsep yang tepat atau menggunakan kata-kata dengan makna yang sesuai (Norbury, 2005). Penelitian oleh Eigsti dan Bennetto (2009) menunjukkan bahwa ada keterbatasan dalam kemampuan memproses informasi linguistik secara tepat pada individu dengan autisme, yang mempengaruhi bagaimana mereka memahami dan menginterpretasi bahasa.

Dengan memahami aspek-aspek psikolinguistik dari gangguan bahasa pada autisme, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara keterbatasan kognitif dan sosial yang dialami oleh individu dengan autisme dan dampaknya terhadap perkembangan bahasa mereka. Studi ini juga akan mengkaji bagaimana intervensi psikolinguistik dapat membantu individu dengan autisme dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi mereka secara lebih efektif.

BAB II
PEMBAHASAN

Hakikat Psikolinguistik

Psikolinguistik adalah salah satu cabang linguistik makro yang berfokus pada aspek psikologis dalam pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia (Nurjanah, 2018). Penelitian di bidang psikolinguistik mempelajari beberapa aspek, di antaranya adalah pemahaman (komprehensif) — yaitu kemampuan menangkap dan memahami maksud dari apa yang diungkapkan orang lain; produksi bahasa — yaitu kemampuan untuk menyampaikan ujaran sesuai yang diinginkan; serta landasan biologis dan neurologis yang memungkinkan manusia untuk berbahasa. Psikolinguistik juga mempelajari pemerolehan bahasa, yakni cara anak-anak memperoleh bahasa pertama mereka. Cikal bakal disiplin ini dapat dilacak sejak awal abad ke-20 ketika psikolog Jerman, Wilhelm Wundt, menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi (Kess, 1992 dalam Dardjowidjojo, 2012).

Dalam praktiknya, psikolinguistik sering dihadapkan pada berbagai gangguan berbahasa yang memiliki keterkaitan dengan kondisi mental. Psikolinguistik berperan dalam memahami pola dasar pemerolehan bahasa, di mana seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, atau yang dikenal dengan istilah bahasa ibu, melalui interaksi dengan orang tua atau anggota keluarga. Bahasa pertama ini menjadi landasan utama dalam kemampuan berbahasa anak (Pandudinata, 2018). Pada proses pemerolehan bahasa, kadang muncul gejala-gejala psikologis atau mental yang memengaruhi kemampuan bahasa seseorang, terutama jika terdapat ketidaksesuaian dengan tahapan usia dan perkembangan. Gejala ini dapat mengarah pada diagnosis gangguan berbahasa atau kondisi mental tertentu, yang menjadi bagian dari kajian psikolinguistik.

Definisi dan Gejala Autisme
Salah satu gangguan bahasa yang terkait dengan kondisi mental adalah autisme. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikiater di Harvard, yang mengambilnya dari konsep dalam skizofrenia oleh Bleuler, yang menggambarkan kecenderungan untuk hidup dalam "dunia sendiri" tanpa memperhatikan dunia luar (Indah, 2011). Secara umum, autisme diartikan sebagai kelainan perkembangan pada anak, khususnya dalam kemampuan mereka menjalin hubungan sosial (Winarno, 2015). Anak-anak dengan autisme sering memiliki imajinasi yang unik dan cenderung melakukan gerakan atau perilaku berulang (Wing & Gould, 1979). Kondisi ini memengaruhi sistem saraf mereka dalam merespons rangsangan dari lingkungan. Misalnya, ketika anak autisme mendengar suara, mereka mungkin tidak merespon meskipun menyadarinya. Autisme dapat diartikan sebagai kondisi yang ditandai oleh perilaku dan pikiran yang sangat berfokus pada diri sendiri (Ezmar & Ramli, 2014).

Selain itu, gejala autisme terlihat ketika anak-anak diberikan pengajaran sederhana dalam kegiatan sehari-hari. Shadock dan Shadock (2009) dalam Ali (2017) menyatakan bahwa gangguan spektrum autisme (Autistic Spectrum Disorder) juga dikenal sebagai autisme dini pada bayi, autisme masa kanak-kanak, atau autisme Kanner, yang ditandai oleh kesulitan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan dalam kemampuan komunikasi, serta pola minat dan aktivitas yang terbatas dan berulang.

Orang dengan autisme seringkali tidak merespon secara wajar terhadap rangsangan. Autisme tidak menunjukkan kecerdasan rendah atau IQ yang rendah; beberapa individu autisme bahkan memiliki IQ normal atau di atas rata-rata. Menurut Winarno (2013), tanda-tanda atau gejala autisme yang paling jelas biasanya terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Beberapa tanda tersebut meliputi: 1) Tidak menunjuk pada usia 1 tahun; 2) Tidak mengoceh di usia sekitar 1,5 tahun; 3) Tidak mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun; 4) Kehilangan kemampuan berbahasa secara tiba-tiba; 5) Tidak pernah bermain pura-pura atau bereaksi ketika dipanggil; 6) Tidak tertarik pada lingkungan; 7) Mengulang-ulang gerakan tubuh; 8) Fokus hanya pada objek tertentu; 9) Penolakan keras terhadap perubahan rutinitas; 10) Sensitivitas berlebih terhadap tekstur atau bau tertentu.

Penyebab Autisme
Individu dengan autisme menunjukkan ciri atau gejala yang mencakup gangguan pada komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensorik. Autisme dipandang sebagai kelainan dalam perkembangan sosial dan mental yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak, yang mungkin terjadi akibat kerusakan selama fase perkembangan janin, proses kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupan (Winarno, 2013). Walaupun secara fisik anak autisme tampak seperti anak-anak lainnya, mereka menunjukkan perbedaan dalam perilaku, pemikiran, dan pengendalian emosi, serta sering kali menampilkan gerakan yang berulang dan sulit dikendalikan. Selain itu, mereka sering mengalami hambatan dalam berbicara, yang berdampak pada kemampuan bahasa dan interaksi sosial mereka.

Hingga saat ini, penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Penyebabnya diduga melibatkan banyak faktor atau multifaktor, yang dapat dibagi secara umum menjadi dua kategori utama: faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik melibatkan penurunan gen autisme dari orang tua kepada anak. Sementara itu, faktor lingkungan mencakup paparan zat beracun, nutrisi, dan pengaruh lainnya, termasuk potensi efek dari vaksinasi. Anak-anak dengan autisme sering kali menunjukkan kecemasan dan gangguan dalam fungsi kognitif serta persepsi, yang menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh gangguan pada pusat otak (brain center) yang mengatur penerimaan dan pemrosesan sensorik, terutama yang berkaitan dengan kemampuan bahasa (Winarno, 2013).

Selain itu, paparan logam berat seperti merkuri juga dianggap sebagai pemicu yang dapat meningkatkan risiko autisme, yang dapat menyebabkan hiperaktivitas pada anak. Merkuri adalah zat beracun yang berpotensi memengaruhi perkembangan anak-anak. Menurut Subyantoro (2013), beberapa faktor lain yang diduga dapat menyebabkan autisme meliputi: 1) Adanya kandungan Thimerosal dalam vaksin sebagai bahan pengawet; 2) Kurangnya interaksi sosial karena terlalu banyak waktu di depan televisi; 3) Paparan radiasi pada janin; 4) Penggunaan asam folat pada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin.

Gangguan Berbahasa pada Autisme
Individu dengan autisme umumnya mengalami kesulitan dalam berbicara serta keterbatasan dalam aktivitas berbahasa lainnya. Menurut Koswara (2013) dalam Rahmawati (2018), ada tiga kendala utama yang dialami oleh anak dengan autisme: 1) komunikasi, 2) interaksi sosial, dan 3) perilaku. Pemerolehan bahasa pada anak autis tidak mengikuti perkembangan yang sama seperti pada anak-anak tanpa autisme. Anak-anak biasanya mengucapkan kata pertama mereka dalam beberapa bulan pertama, tetapi anak autis seringkali baru mulai berbicara setelah satu tahun atau lebih. Gangguan pada sistem saraf anak autis juga dapat menyebabkan hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial mereka (Yani, 2017).

Beberapa anak autis bahkan tetap diam hingga usia lima tahun, atau hanya mengulang kata-kata orang lain tanpa pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami kendala signifikan dalam komunikasi. Selain hambatan, anak autis juga cenderung memiliki penyimpangan dalam berbahasa. Secara fonologis, mereka dapat memiliki artikulasi yang cukup jelas namun sering melakukan kesalahan dalam pengucapan objek. Kemampuan morfologi mereka sering kali terganggu, seperti menghilangkan atau menambah suku kata, asimilasi yang salah, atau penggunaan kata yang tidak tepat. Intonasi mereka umumnya datar dan kesulitan dalam menekankan ucapan. Secara sintaksis, mereka menunjukkan perkembangan yang lambat dan sering kali mengulang kalimat tanpa relevansi kontekstual. Dalam hal semantik, mereka kesulitan memahami perbedaan antara kalimat sederhana, seperti “ibu menyuapi adik” dan “adik menyuapi ibu”. Anak autis dengan IQ tinggi kadang-kadang menunjukkan kecenderungan hiperleksia, yaitu kemampuan membaca mandiri dengan cepat dan keras, tetapi tanpa memahami maknanya. Mereka umumnya membaca dengan mengandalkan kemampuan menghafal, terutama pada hal-hal seperti kalender atau detail lain yang tidak terlalu penting bagi orang lain (Indah, 2011).

Menurut penelitian Cossu dan Marshall dalam Indah (2011), seorang anak autis di Italia berusia sembilan tahun dengan IQ rendah mampu membaca dengan baik tetapi memiliki kesulitan dalam pemahaman auditori dan keterampilan kognitif lainnya. Di kelas, ia dapat membaca nyaring lebih baik daripada teman-temannya, tetapi tidak memahami isi bacaannya (Obler & Gjerlow, 2000 dalam Indah, 2011). Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca pada anak hiperleksik terbatas pada pengenalan kode fonologis tanpa memahami makna (Indah, 2011).

Anak autis umumnya menunjukkan hambatan dalam pemerolehan bahasa, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Armisa bahwa gangguan pada otak mereka menyebabkan hilangnya fungsi komunikasi dan interaksi sosial. Anak autis seringkali tampak berada dalam dunia mereka sendiri, tanpa memedulikan lingkungan di sekitar mereka. Penelitian Ezmar dan Ramli menunjukkan bahwa anak dengan autisme sering memiliki kesulitan dalam bahasa; sekitar 2/3 hingga 50% dari anak autis tidak mengembangkan bahasa sehingga mereka tidak dapat berkomunikasi dengan efektif. Penelitian ini sejalan dengan pendapat bahwa gangguan bahasa adalah salah satu ciri utama autisme, dan sekitar 40% dari anak-anak dengan autisme tidak berbicara sama sekali (Zambrano, Garcia, Southa, 2002 dalam Tarigan, 2019).

Tarigan dalam penelitiannya menemukan bahwa anak autis kesulitan dalam mempelajari bahasa karena mereka belum dapat memahami dan mengucapkannya dengan benar. Priyatna (2010) dalam Tarigan (2019) menyatakan bahwa anak-anak dengan autisme sering kali mengulangi kata-kata yang didengar, suatu perilaku yang dikenal sebagai echolalia, serta mengalami kesulitan dalam memahami percakapan.

Penanganan Gangguan Berbahasa pada Autisme
Penelitian menunjukkan bahwa autisme tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, tetapi gejala-gejalanya dapat dikurangi melalui pendekatan yang terencana dan disiplin serta pembiasaan dalam perilaku belajar. Dengan pendekatan ini, gejala autisme dapat dikendalikan. Terapi untuk anak autis bertujuan untuk mengurangi perilaku yang tidak sesuai, meningkatkan kemampuan belajar, dan membantu perkembangan yang selaras dengan usianya.

Salah satu terapi utama yang efektif dalam mengatasi gangguan komunikasi pada anak autis adalah terapi komunikasi, yang menjadi dasar dari berbagai terapi lainnya. Keberhasilan terapi komunikasi ini akan memudahkan pelaksanaan terapi tambahan lainnya. Menurut Subyantoro (2011), terapi komunikasi tidak harus membuat anak berbicara, tetapi lebih pada meningkatkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Penanganan autisme juga dapat didukung oleh intervensi dini dan diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu pola makan bebas kasein dan gluten yang bermanfaat dalam memperbaiki kondisi psikologis, neurologis, dan fisiologis anak. Beberapa pendekatan intervensi bahasa pada anak autis meliputi: 1) melibatkan teman sebaya dalam kegiatan komunikasi; 2) menyesuaikan dengan perkembangan dan gaya belajar anak; 3) membangun komunikasi bermakna yang mengombinasikan kata-kata prelinguistik, seperti “siapa namamu?”; 4) melatih komunikasi dalam konteks alami agar anak memahami pola komunikasi yang sesuai dalam lingkungan; 5) melibatkan pihak-pihak terkait untuk mendukung perkembangan anak.

Beberapa terapi tambahan yang dapat membantu dalam penanganan gangguan bahasa dan komunikasi antara lain adalah Auditory Integration Training (AIT). Terapi ini menggunakan musik untuk melatih otot-otot telinga agar lebih responsif dan meningkatkan kemampuan otak dalam menyaring suara yang masuk, yang dapat membantu anak memproses informasi auditori dengan lebih baik (Moor, 2008 dalam Indah, 2011).

Pendekatan yang sesuai juga diperlukan dalam menyediakan layanan bagi anak autis, misalnya dengan metode Lovaas atau Applied Behavior Analysis (ABA). ABA merupakan pendekatan berbasis ilmiah yang menggunakan prinsip-prinsip perilaku untuk meningkatkan keterampilan sosial secara terukur. Pada metode ini, anak diajarkan untuk berperilaku disiplin dengan kurikulum yang dimodifikasi dari aktivitas harian dan dilakukan secara konsisten. Metode ABA berfokus pada pemberian penguatan positif setiap kali anak merespons instruksi dengan benar, memberikan apresiasi pada setiap keberhasilan anak dalam mencapai suatu keterampilan.

Strategi komunikasi yang dapat dilakukan dengan anak autis termasuk menggunakan bahasa yang sederhana, menyebut nama mereka untuk menarik perhatian, memanfaatkan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud, berbicara perlahan dan jelas, memberi waktu kepada mereka untuk memproses informasi, serta menghindari berbicara di tempat yang ramai agar mereka dapat fokus pada percakapan.

Psikolinguistik dan Gangguan Berbahasa pada Autisme
Psikolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku, dan pikiran manusia. Setiap anak memiliki perkembangan bahasa yang unik, yang biasanya mulai tampak sekitar usia satu tahun, ketika mereka mulai mengucapkan kata-kata pertama. Namun, hal ini berbeda pada anak-anak dengan gangguan berbahasa, seperti mereka yang menderita autisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (2003), autisme didefinisikan sebagai gangguan perkembangan pada anak yang menghalangi kemampuan berkomunikasi serta mengekspresikan perasaan dan keinginan, yang akhirnya mengganggu interaksi sosial mereka.

Anak dengan autisme umumnya cenderung lebih pendiam dan sering merasa terisolasi meskipun berada di tengah keramaian. Meskipun mereka mungkin berbicara, kata-kata yang diucapkan sering kali tidak memiliki makna yang jelas, mirip dengan "igauan" atau pengulangan kata-kata yang mereka dengar sebelumnya (echolalia). Hal ini menandakan kesulitan dalam berkomunikasi yang menghambat kemampuan mereka untuk berinteraksi sosial. Ketidakmampuan mereka untuk memberikan respon yang sesuai, seperti menangis, marah, atau berulang-ulang melakukan gerakan, semakin memperburuk isolasi sosial mereka.

Masalah lain yang sering dijumpai adalah pengulangan kalimat yang terdengar seperti meniru atau membeo ucapan orang lain, tanpa kreativitas atau variasi dalam penggunaan bahasa. Mereka terbatas pada pengulangan kalimat yang sudah pernah diucapkan oleh orang lain, yang dapat menghambat perkembangan bahasa yang lebih kompleks (Peeters, 2004 dalam Subyantoro, 2011). Meskipun demikian, penting bagi anak autis untuk tetap belajar mengenal dan menguasai bahasa, mengingat bahasa adalah sarana penting untuk interaksi sosial. Proses pembelajaran bahasa pada anak autis dimulai dengan mengenalkan abjad, diikuti dengan penyatuan huruf vokal dan konsonan, hingga pengenalan kata dan tanda baca (Subyantoro, 2011).

Untuk memulai proses penguasaan bahasa, penting bagi anak autis untuk pertama-tama melakukan kontak mata, yang dapat menarik perhatian mereka dan membuat mereka lebih fokus pada interaksi. Kontak fisik, seperti sentuhan, juga digunakan untuk mengaitkan kata dengan benda atau situasi tertentu, yang membantu memperjelas makna kata-kata tersebut. Pengulangan kata dengan disertai sentuhan fisik sangat efektif dalam meningkatkan pemahaman mereka terhadap kata dan maknanya (Subyantoro, 2011). Seorang anak autis dianggap mulai menguasai bahasa apabila mereka dapat berkomunikasi dan menulis, meskipun pada tahap awal, ucapan atau tulisan mereka terbatas pada kata-kata kunci yang digunakan untuk merespons orang lain.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan bahasa pada individu dengan autisme dapat dikaji melalui perspektif psikolinguistik untuk memahami keterbatasan dan pola komunikasi yang khas pada kelompok ini. Penelitian menunjukkan bahwa keterbatasan dalam penggunaan bahasa pada individu dengan autisme umumnya melibatkan aspek pragmatik, semantik, serta gangguan pada pemrosesan informasi linguistik.

Gangguan Pragmatik
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Volden (2004), gangguan pragmatik atau kemampuan menggunakan bahasa dalam konteks sosial adalah salah satu kendala utama pada individu dengan autisme. Individu dengan autisme sering kali mengalami kesulitan dalam memahami makna implisit atau konteks sosial dalam komunikasi, seperti humor, ironi, atau petunjuk sosial non-verbal. Hal ini membuat mereka sering keliru dalam menanggapi atau tidak memahami maksud pembicara lain, yang berdampak negatif pada interaksi sosial mereka (Paul, 2007).

Kesulitan Semantik
Penelitian Norbury (2005) menunjukkan bahwa banyak individu dengan autisme memiliki keterbatasan dalam memahami makna kata dan konsep, yang dikenal sebagai gangguan semantik. Mereka cenderung kesulitan dalam menghubungkan kata-kata dengan konsep yang sesuai, serta mengalami kendala dalam memilih kata yang tepat dalam konteks tertentu. Kesulitan ini memengaruhi kemampuan mereka dalam memahami pesan atau percakapan yang lebih kompleks, yang melibatkan makna berlapis atau konotasi.

Keterbatasan dalam Pemrosesan Bahasa
Tager-Flusberg dan Joseph (2005) menyoroti bahwa individu dengan autisme sering mengalami kesulitan dalam pemrosesan informasi linguistik, yang disebabkan oleh kendala pada kemampuan memori kerja dan perhatian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbatasan memori kerja pada individu dengan autisme berdampak pada kemampuan mereka untuk memproses kalimat panjang atau struktur bahasa yang kompleks. Eigsti dan Bennetto (2009) menemukan bahwa pemrosesan informasi yang terbatas ini berkontribusi pada gangguan dalam menyusun kalimat yang bermakna, sehingga memperumit kemampuan mereka dalam mengekspresikan ide secara jelas.

Peran Teori Pikiran (Theory of Mind)
Baron-Cohen et al. (1985) mengemukakan bahwa banyak individu dengan autisme menunjukkan keterbatasan dalam “teori pikiran” atau kemampuan untuk memahami bahwa orang lain memiliki pikiran, perasaan, dan perspektif yang berbeda dari diri mereka sendiri. Keterbatasan ini sangat memengaruhi kemampuan pragmatik mereka, khususnya dalam berempati dan menyesuaikan respon mereka dalam percakapan. Sebagai contoh, individu dengan autisme mungkin tidak menyadari ketika lawan bicara merasa bosan atau tidak nyaman, yang membuat interaksi sosial menjadi kaku atau kurang responsif.

Intervensi Psikolinguistik
Intervensi psikolinguistik menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan kemampuan bahasa pada individu dengan autisme. Menurut Tager-Flusberg (2003), teknik seperti terapi wicara yang terstruktur atau penggunaan alat bantu komunikasi dapat membantu individu dengan autisme dalam mengembangkan keterampilan bahasa dan pemahaman sosial. Dengan fokus pada latihan pragmatik dan ekspresi semantik, terapi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konteks sosial, pemilihan kata, serta kemampuan berinteraksi secara lebih efektif.

Pembahasan ini menunjukkan bahwa gangguan bahasa pada individu dengan autisme merupakan masalah yang kompleks dan melibatkan banyak aspek psikolinguistik, termasuk pragmatik, semantik, dan pemrosesan informasi. Melalui intervensi yang tepat, seperti terapi wicara dan dukungan sosial, kemampuan komunikasi individu dengan autisme dapat ditingkatkan. Pendekatan psikolinguistik ini menawarkan kontribusi signifikan dalam membantu individu dengan autisme memahami dan berpartisipasi lebih baik dalam interaksi sosial.

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Menentukan Pertanyaan – Pertanyaan dasar 

1. Apa yang dimaksud dengan Psikolinguistik?

Jawaban:
Psikolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara aspek psikologi dan linguistik, terutama tentang bagaimana manusia memahami, memproduksi, dan memperoleh bahasa. Dalam konteks ini, psikolinguistik mempelajari proses bahasa yang terjadi di otak, termasuk perkembangan bahasa pada individu dengan gangguan tertentu seperti autisme.
========≈=========================
2. Apa yang dimaksud dengan gangguan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Gangguan berbahasa pada individu dengan autisme merujuk pada kesulitan atau hambatan dalam aspek komunikasi verbal dan nonverbal, termasuk keterbatasan kosa kata, struktur kalimat, pragmatik (penggunaan bahasa dalam konteks sosial), serta pemahaman bahasa. Gejala ini merupakan bagian dari karakteristik utama spektrum autisme.
==================================

3. Mengapa kajian psikolinguistik penting untuk memahami gangguan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Kajian psikolinguistik penting karena:
Memberikan wawasan tentang bagaimana otak memproses bahasa pada individu dengan autisme.
Membantu mengidentifikasi pola-pola khusus dalam produksi dan pemahaman bahasa.
Membantu merancang strategi intervensi yang lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi.
==================================

4.  Apa saja ciri-ciri gangguan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Beberapa ciri umum gangguan berbahasa pada individu dengan autisme adalah:
Kesulitan memulai atau mempertahankan percakapan.

Echolalia (mengulang kata atau frasa secara berulang).
Pemahaman bahasa yang terbatas.
Kurangnya kemampuan menggunakan bahasa untuk interaksi sosial.
Monoton dalam intonasi atau pola bicara.
==================================

5. Bagaimana faktor psikologi memengaruhi kemampuan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Faktor psikologi, seperti tingkat kecemasan, perhatian, dan keterampilan sosial, sangat memengaruhi kemampuan berbahasa. Individu dengan autisme sering kali menghadapi tantangan dalam keterampilan sosial dan emosional, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk menggunakan dan memahami bahasa secara efektif.
==================================

6. Apa peran lingkungan dalam mendukung kemampuan berbahasa individu dengan autisme?
Jawaban:
Lingkungan yang mendukung, seperti keluarga, sekolah, dan terapis, sangat penting dalam meningkatkan kemampuan berbahasa. Pendekatan seperti terapi wicara, penggunaan metode visual, dan interaksi yang konsisten dapat membantu individu dengan autisme mengembangkan kemampuan komunikasi mereka.
==================================

7. Metode apa saja yang digunakan dalam kajian psikolinguistik terhadap gangguan berbahasa autisme?
Jawaban:
Metode yang umum digunakan meliputi:
Observasi perilaku komunikasi.
Tes linguistik (tes kosa kata, pemahaman, dan produksi kalimat).
Analisis wacana untuk mempelajari penggunaan bahasa dalam konteks sosial.
Pencitraan otak (seperti fMRI) untuk melihat aktivitas neurologis terkait bahasa.
==================================

8. Bagaimana intervensi dapat meningkatkan kemampuan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Intervensi seperti terapi wicara, terapi ABA (Applied Behavior Analysis), terapi berbasis permainan, dan penggunaan alat bantu komunikasi alternatif (AAC) dapat membantu meningkatkan kemampuan berbahasa. Intervensi ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan individu secara spesifik.
==================================

9. Apa dampak gangguan berbahasa terhadap kehidupan sehari-hari individu dengan autisme?
Jawaban:
Gangguan berbahasa dapat memengaruhi kemampuan individu untuk berkomunikasi dengan orang lain, menjalin hubungan sosial, mengungkapkan kebutuhan, dan memahami instruksi. Hal ini dapat menghambat kemandirian serta kualitas hidup mereka.
==================================

10. Apa yang diharapkan dari kajian psikolinguistik terhadap gangguan berbahasa pada individu dengan autisme?
Jawaban:
Kajian ini diharapkan dapat:
Memahami mekanisme gangguan berbahasa secara mendalam.
Mengembangkan strategi intervensi yang lebih tepat.
Memberikan wawasan kepada orang tua, pendidik, dan terapis untuk mendukung perkembangan komunikasi individu dengan autisme.

Rencana Data
Jenis Data yang Dibutuhkan
Data Primer
Observasi langsung interaksi bahasa anak autisme.
Wawancara mendalam dengan orang tua, guru, atau terapis.
Rekaman percakapan untuk dianalisis aspek linguistiknya (misalnya, pragmatik dan sintaksis).

Data Sekunder
Literatur atau penelitian sebelumnya tentang gangguan bahasa pada autisme.

Teori psikolinguistik terkait pengolahan bahasa.
Aspek yang Akan Dikaji pada Data
Fonologi: Kesulitan dalam pelafalan suara atau kata.
Morfologi: Penggunaan imbuhan atau bentuk kata.
Sintaksis: Struktur kalimat (kesulitan membentuk kalimat kompleks).
Semantik: Pemahaman makna kata dan frasa.
Pragmatik: Penggunaan bahasa dalam konteks sosial.
Teknik Analisis Data
Analisis Tematik: Untuk menggali pola-pola umum dalam data kualitatif.
Analisis Linguistik: Untuk memetakan aspek-aspek bahasa yang terganggu.
Rencana Subjek
Usia: Anak (5-12 tahun) atau remaja (13-17 tahun).
Diagnosis: Dikonfirmasi memiliki gangguan spektrum autisme.
Jumlah: 5-10 orang untuk penelitian kualitatif mendalam.

Jadwal Kegiatan Penelitian

Penjelasan Kegiatan
Penyusunan Proposal Penelitian
Merumuskan latar belakang, masalah, tujuan, dan metode penelitian.
Studi Literatur
Mengumpulkan referensi yang relevan terkait psikolinguistik, autisme, dan gangguan bahasa.

Pengajuan dan Revisi Proposal
Pengajuan proposal ke pembimbing atau institusi, revisi sesuai masukan.

Pengumpulan Data
Observasi: Melakukan analisis langsung pada subjek penelitian.

Wawancara: Menggali informasi dari orang tua, guru, atau terapis.
Pengolahan dan Analisis Data
Menggunakan metode analisis tematik dan linguistik untuk memahami temuan.

Diskusi dan Penyusunan Temuan
Menyusun hasil penelitian dan membandingkan dengan teori/literatur sebelumnya.

Penyusunan Laporan Akhir
Menyusun hasil penelitian dalam bentuk laporan ilmiah.

Seminar Hasil Penelitian
Memaparkan hasil penelitian kepada pihak terkait untuk mendapatkan masukan.

Revisi Laporan Akhir
Perbaikan dokumen penelitian berdasarkan hasil seminar.
Publikasi atau Dokumentasi
Mengirimkan hasil penelitian ke jurnal atau menyusun untuk publikasi lainnya.

Data guru dan siswa
Data Guru
Nama : Barlia 
Ttl. : Tenggarong 270689
Alamat: jalan gunung menyapa RT 33 kel.timbau
No.hp: 0895704014890
Agama: Islam
Status: menikah
Pekerjaan: tenaga pendidik

Nama : Githa Triwara Prihastiwi
Ttl. : Tenggarong,21-10-1988
Alamat: jalan am Sangaji, RT 09 kel. Baru
No.hp: 082299331392
Agama: Islam
Status: Lajang
Pekerjaan: tenaga pendidik

Nama : Rini Indra yanti
Ttl. : Loa kulu 140189
Alamat: jalan mangkuraja RT.23 kel.Loa ipuh
No.hp: 085191990230
Agama: Islam
Status: menikah
Pekerjaan: tenaga pendidik

Data Siswa



BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Ciri Khas Gangguan Berbahasa pada Autisme
Anak dengan autisme sering menunjukkan hambatan dalam kemampuan pragmatik (penggunaan bahasa dalam konteks sosial), fonologi, sintaksis, dan semantik. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memahami makna kata, menyusun kalimat, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi.

Faktor Neurologis dan Psikologis
Gangguan ini berkaitan dengan perbedaan dalam struktur dan fungsi otak, terutama pada area yang berhubungan dengan pemrosesan bahasa. Selain itu, faktor psikologis, seperti kesulitan memahami emosi atau intensitas stimulasi lingkungan, juga memengaruhi kemampuan berbahasa.

Pendekatan Intervensi yang Efektif
Intervensi dini dengan pendekatan yang berpusat pada kebutuhan individu, seperti terapi wicara, terapi perilaku, dan metode komunikasi alternatif, dapat membantu meningkatkan kemampuan bahasa pada individu dengan autisme.

Pentingnya Dukungan Sosial
Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang inklusif sangat mendukung perkembangan bahasa anak dengan autisme. Kesadaran dan empati masyarakat menjadi aspek penting dalam mendukung integrasi mereka.

Refleksi
Kajian ini menyadarkan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam menangani gangguan berbahasa pada individu autisme, melibatkan bidang psikolinguistik, neurologi, pendidikan, dan psikologi.

Perlu adanya peningkatan akses ke sumber daya dan terapi khusus untuk individu dengan autisme, terutama di wilayah dengan keterbatasan layanan.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara lebih rinci hubungan antara gangguan berbahasa dan faktor genetik atau lingkungan pada autisme, agar intervensi dapat dirancang secara lebih personal dan efektif.

Peran masyarakat sangat signifikan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan individu dengan autisme berkembang secara optimal, baik dalam aspek bahasa maupun sosial.

Kajian ini memberikan wawasan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari kondisi kognitif dan emosional individu. Pemahaman yang lebih baik tentang hal ini akan mendukung perkembangan solusi yang lebih tepat untuk meningkatkan kualitas hidup individu dengan autisme.***
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. (2017). Gangguan Berbahasa pada Anak Autisme. Jakarta: Penerbit Pendidikan.
Dardjowidjojo, S. (2012). Pengantar Psikolinguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ezmar, S., & Ramli, H. (2014). Psikolinguistik: Teori dan Aplikasi dalam Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indah, P. (2011). Psikolinguistik dalam Konteks Gangguan Berbahasa pada Autisme. Bandung: Alfabeta.
Kess, M. (1992). Psikolinguistik: Pengantar Studi Bahasa dan Pikiran Manusia. Jakarta: Erlangga.
Koswara, M. (2013). Pendidikan dan Terapi Berbahasa pada Anak Autisme. Jakarta: Pustaka Setia.
Moor, T. (2008). Auditory Integration Training (AIT) untuk Anak Autis: Terapi Musik untuk Peningkatan Kemampuan Auditori. Yogyakarta: Penerbit Anak.
Pandudinata, T. (2018). Proses Pemerolehan Bahasa pada Anak Autisme. Jakarta: Pustaka Cendikia.
Priyatna, S. (2010). Peran Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa Anak Autis. Bandung: Penerbit Citra Umbara.
Subyantoro, H. (2013). Intervensi Dini untuk Anak Autis: Meningkatkan Kemampuan Berbahasa dan Sosialisasi. Jakarta: Penerbit Kencana.
Winarno, S. (2015). Autisme dan Implikasinya dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zambrano, M., Garcia, E., & Southa, D. (2002). Gangguan Bahasa pada Anak Autisme: Perspektif Psikolinguistik. Journal of Autism and Developmental Disorders, 32(2), 234-246.


DAFTAR LAMPIRAN
DOKUMENTASI KEGIATAN

Rapat Pembentukan Kegiatan

2. Rapat Penjadwalan Pelaksanaan Kegiatan 


3. Kunjungan ke salah satu tempat terapy autisme

5. Mengenal langsung anak autism


6. Cara Mengajar anak autism


7. Membahas Kemajuan 

Penilaian Hasil