HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kajian Psikolinguistik Terhadap Gangguan Berbahasa Autisme

Imas Komala Mahasiswi Semester 1  Fakultas: Magister Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas: Mulawarman Naylaimas12345@gmail.com Prof.Dr.Su...

Imas Komala Mahasiswi Semester 1  Fakultas: Magister Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas: Mulawarman Naylaimas12345@gmail.com
Prof.Dr.Susilo, S.Pd, M.Pd
olisusunmul@gmail.com

Lentera24.com - Kajian ini membahas gangguan berbahasa pada individu dengan autisme dari perspektif psikolinguistik. Gangguan bahasa adalah salah satu karakteristik yang sering terjadi pada individu dengan spektrum autisme, yang memengaruhi kemampuan mereka dalam berkomunikasi, memahami, dan menghasilkan bahasa secara efektif. Kajian ini meneliti pola bahasa, kesulitan pragmatik, serta kendala dalam proses memahami makna dan penggunaan bahasa pada individu dengan autisme. Melalui pendekatan psikolinguistik, penelitian ini mengeksplorasi faktor-faktor kognitif dan sosial yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada individu dengan autisme dan bagaimana intervensi dapat membantu memperbaiki keterampilan komunikasi mereka. Hasil kajian ini memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara keterbatasan psikolinguistik dan gangguan bahasa pada autisme serta membuka peluang untuk metode intervensi yang lebih efektif.

Kata Kunci: Psikolinguistik, gangguan berbahasa, autisme, pragmatik, komunikasi, intervensi.

======================================

This study discusses language disorders in individuals with autism from a psycholinguistic perspective. Language disorder is a common characteristic among individuals on the autism spectrum, affecting their ability to communicate, understand, and produce language effectively. This research examines language patterns, pragmatic difficulties, and challenges in processing meaning and language use among individuals with autism. Through a psycholinguistic approach, this study explores the cognitive and social factors that influence language development in individuals with autism and how interventions can aid in improving their communication skills. The findings contribute to a deeper understanding of the relationship between psycholinguistic limitations and language disorders in autism and open avenues for more effective intervention methods.

Keywords: Psycholinguistics, language disorder, autism, pragmatics, communication, intervention

Gangguan bahasa merupakan salah satu karakteristik utama pada individu dengan autisme, yang mengakibatkan kendala dalam komunikasi verbal maupun nonverbal (Happe, 1995). Individu dengan spektrum autisme sering menunjukkan kesulitan dalam memahami dan memproduksi bahasa, yang tidak hanya berdampak pada keterampilan bahasa itu sendiri, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial (Baron-Cohen, 2000). Studi psikolinguistik terhadap gangguan bahasa pada autisme telah menjadi topik penting karena pendekatan ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi proses-proses kognitif di balik keterbatasan bahasa yang dialami individu dengan autisme (Tager-Flusberg, 2003).

Secara khusus, gangguan pragmatik, yaitu kesulitan dalam memahami konteks sosial dalam komunikasi, sering terjadi pada individu dengan autisme (Volden, 2004). Pragmatik berhubungan erat dengan kemampuan untuk memahami maksud dan tujuan pembicaraan yang tidak selalu eksplisit, yang menjadi tantangan bagi individu dengan autisme (Paul, 2007). Kajian psikolinguistik dapat membantu memahami mengapa dan bagaimana gangguan pragmatik ini muncul dengan memeriksa aspek-aspek seperti pemrosesan informasi, perhatian, dan teori pikiran (theory of mind) yang terhambat (Baron-Cohen, 1995; Tager-Flusberg & Joseph, 2005).

Sebagai tambahan, individu dengan autisme sering mengalami kesulitan dalam aspek semantik, yaitu pemahaman terhadap makna kata-kata dan struktur kalimat. Kesulitan semantik ini dapat menyebabkan mereka mengalami keterbatasan dalam menghubungkan kata-kata dengan konsep yang tepat atau menggunakan kata-kata dengan makna yang sesuai (Norbury, 2005). Penelitian oleh Eigsti dan Bennetto (2009) menunjukkan bahwa ada keterbatasan dalam kemampuan memproses informasi linguistik secara tepat pada individu dengan autisme, yang mempengaruhi bagaimana mereka memahami dan menginterpretasi bahasa.

Dengan memahami aspek-aspek psikolinguistik dari gangguan bahasa pada autisme, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara keterbatasan kognitif dan sosial yang dialami oleh individu dengan autisme dan dampaknya terhadap perkembangan bahasa mereka. Studi ini juga akan mengkaji bagaimana intervensi psikolinguistik dapat membantu individu dengan autisme dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi mereka secara lebih efektif.

Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel jurnal ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang memaparkan hasil berdasarkan data serta referensi ilmiah. Data dan referensi ilmiah yang diperoleh kemudian dikumpulkan, dianalisis, serta dikaji untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini menjadi dasar untuk pembahasan dan hasil pada artikel jurnal ini. Dalam jurnal ini, data dan referensi meliputi berbagai teori dari sejumlah sumber terkait psikolinguistik dan gangguan bahasa pada individu dengan autisme.

Hasil dan Pembahasan

Hakikat Psikolinguistik

Psikolinguistik adalah salah satu cabang linguistik makro yang berfokus pada aspek psikologis dalam pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia (Nurjanah, 2018). Penelitian di bidang psikolinguistik mempelajari beberapa aspek, di antaranya adalah pemahaman (komprehensif) — yaitu kemampuan menangkap dan memahami maksud dari apa yang diungkapkan orang lain; produksi bahasa — yaitu kemampuan untuk menyampaikan ujaran sesuai yang diinginkan; serta landasan biologis dan neurologis yang memungkinkan manusia untuk berbahasa. Psikolinguistik juga mempelajari pemerolehan bahasa, yakni cara anak-anak memperoleh bahasa pertama mereka. Cikal bakal disiplin ini dapat dilacak sejak awal abad ke-20 ketika psikolog Jerman, Wilhelm Wundt, menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi (Kess, 1992 dalam Dardjowidjojo, 2012).

Dalam praktiknya, psikolinguistik sering dihadapkan pada berbagai gangguan berbahasa yang memiliki keterkaitan dengan kondisi mental. Psikolinguistik berperan dalam memahami pola dasar pemerolehan bahasa, di mana seorang anak memperoleh bahasa pertamanya, atau yang dikenal dengan istilah bahasa ibu, melalui interaksi dengan orang tua atau anggota keluarga. Bahasa pertama ini menjadi landasan utama dalam kemampuan berbahasa anak (Pandudinata, 2018). Pada proses pemerolehan bahasa, kadang muncul gejala-gejala psikologis atau mental yang memengaruhi kemampuan bahasa seseorang, terutama jika terdapat ketidaksesuaian dengan tahapan usia dan perkembangan. Gejala ini dapat mengarah pada diagnosis gangguan berbahasa atau kondisi mental tertentu, yang menjadi bagian dari kajian psikolinguistik.

Definisi dan Gejala Autisme

Salah satu gangguan bahasa yang terkait dengan kondisi mental adalah autisme. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikiater di Harvard, yang mengambilnya dari konsep dalam skizofrenia oleh Bleuler, yang menggambarkan kecenderungan untuk hidup dalam "dunia sendiri" tanpa memperhatikan dunia luar (Indah, 2011). Secara umum, autisme diartikan sebagai kelainan perkembangan pada anak, khususnya dalam kemampuan mereka menjalin hubungan sosial (Winarno, 2015). Anak-anak dengan autisme sering memiliki imajinasi yang unik dan cenderung melakukan gerakan atau perilaku berulang (Wing & Gould, 1979). Kondisi ini memengaruhi sistem saraf mereka dalam merespons rangsangan dari lingkungan. Misalnya, ketika anak autisme mendengar suara, mereka mungkin tidak merespon meskipun menyadarinya. Autisme dapat diartikan sebagai kondisi yang ditandai oleh perilaku dan pikiran yang sangat berfokus pada diri sendiri (Ezmar & Ramli, 2014).

Selain itu, gejala autisme terlihat ketika anak-anak diberikan pengajaran sederhana dalam kegiatan sehari-hari. Shadock dan Shadock (2009) dalam Ali (2017) menyatakan bahwa gangguan spektrum autisme (Autistic Spectrum Disorder) juga dikenal sebagai autisme dini pada bayi, autisme masa kanak-kanak, atau autisme Kanner, yang ditandai oleh kesulitan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan dalam kemampuan komunikasi, serta pola minat dan aktivitas yang terbatas dan berulang.

Orang dengan autisme seringkali tidak merespon secara wajar terhadap rangsangan. Autisme tidak menunjukkan kecerdasan rendah atau IQ yang rendah; beberapa individu autisme bahkan memiliki IQ normal atau di atas rata-rata. Menurut Winarno (2013), tanda-tanda atau gejala autisme yang paling jelas biasanya terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Beberapa tanda tersebut meliputi: 1) Tidak menunjuk pada usia 1 tahun; 2) Tidak mengoceh di usia sekitar 1,5 tahun; 3) Tidak mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun; 4) Kehilangan kemampuan berbahasa secara tiba-tiba; 5) Tidak pernah bermain pura-pura atau bereaksi ketika dipanggil; 6) Tidak tertarik pada lingkungan; 7) Mengulang-ulang gerakan tubuh; 8) Fokus hanya pada objek tertentu; 9) Penolakan keras terhadap perubahan rutinitas; 10) Sensitivitas berlebih terhadap tekstur atau bau tertentu.

Penyebab Autisme

Individu dengan autisme menunjukkan ciri atau gejala yang mencakup gangguan pada komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensorik. Autisme dipandang sebagai kelainan dalam perkembangan sosial dan mental yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak, yang mungkin terjadi akibat kerusakan selama fase perkembangan janin, proses kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupan (Winarno, 2013). Walaupun secara fisik anak autisme tampak seperti anak-anak lainnya, mereka menunjukkan perbedaan dalam perilaku, pemikiran, dan pengendalian emosi, serta sering kali menampilkan gerakan yang berulang dan sulit dikendalikan. Selain itu, mereka sering mengalami hambatan dalam berbicara, yang berdampak pada kemampuan bahasa dan interaksi sosial mereka.

Hingga saat ini, penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Penyebabnya diduga melibatkan banyak faktor atau multifaktor, yang dapat dibagi secara umum menjadi dua kategori utama: faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik melibatkan penurunan gen autisme dari orang tua kepada anak. Sementara itu, faktor lingkungan mencakup paparan zat beracun, nutrisi, dan pengaruh lainnya, termasuk potensi efek dari vaksinasi. Anak-anak dengan autisme sering kali menunjukkan kecemasan dan gangguan dalam fungsi kognitif serta persepsi, yang menghambat kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh gangguan pada pusat otak (brain center) yang mengatur penerimaan dan pemrosesan sensorik, terutama yang berkaitan dengan kemampuan bahasa (Winarno, 2013).

Selain itu, paparan logam berat seperti merkuri juga dianggap sebagai pemicu yang dapat meningkatkan risiko autisme, yang dapat menyebabkan hiperaktivitas pada anak. Merkuri adalah zat beracun yang berpotensi memengaruhi perkembangan anak-anak. Menurut Subyantoro (2013), beberapa faktor lain yang diduga dapat menyebabkan autisme meliputi: 1) Adanya kandungan Thimerosal dalam vaksin sebagai bahan pengawet; 2) Kurangnya interaksi sosial karena terlalu banyak waktu di depan televisi; 3) Paparan radiasi pada janin; 4) Penggunaan asam folat pada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin.

Gangguan Berbahasa pada Autisme

Individu dengan autisme umumnya mengalami kesulitan dalam berbicara serta keterbatasan dalam aktivitas berbahasa lainnya. Menurut Koswara (2013) dalam Rahmawati (2018), ada tiga kendala utama yang dialami oleh anak dengan autisme: 1) komunikasi, 2) interaksi sosial, dan 3) perilaku. Pemerolehan bahasa pada anak autis tidak mengikuti perkembangan yang sama seperti pada anak-anak tanpa autisme. Anak-anak biasanya mengucapkan kata pertama mereka dalam beberapa bulan pertama, tetapi anak autis seringkali baru mulai berbicara setelah satu tahun atau lebih. Gangguan pada sistem saraf anak autis juga dapat menyebabkan hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial mereka (Yani, 2017).

Beberapa anak autis bahkan tetap diam hingga usia lima tahun, atau hanya mengulang kata-kata orang lain tanpa pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami kendala signifikan dalam komunikasi. Selain hambatan, anak autis juga cenderung memiliki penyimpangan dalam berbahasa. Secara fonologis, mereka dapat memiliki artikulasi yang cukup jelas namun sering melakukan kesalahan dalam pengucapan objek. Kemampuan morfologi mereka sering kali terganggu, seperti menghilangkan atau menambah suku kata, asimilasi yang salah, atau penggunaan kata yang tidak tepat. Intonasi mereka umumnya datar dan kesulitan dalam menekankan ucapan. Secara sintaksis, mereka menunjukkan perkembangan yang lambat dan sering kali mengulang kalimat tanpa relevansi kontekstual. Dalam hal semantik, mereka kesulitan memahami perbedaan antara kalimat sederhana, seperti “ibu menyuapi adik” dan “adik menyuapi ibu”. Anak autis dengan IQ tinggi kadang-kadang menunjukkan kecenderungan hiperleksia, yaitu kemampuan membaca mandiri dengan cepat dan keras, tetapi tanpa memahami maknanya. Mereka umumnya membaca dengan mengandalkan kemampuan menghafal, terutama pada hal-hal seperti kalender atau detail lain yang tidak terlalu penting bagi orang lain (Indah, 2011).

Menurut penelitian Cossu dan Marshall dalam Indah (2011), seorang anak autis di Italia berusia sembilan tahun dengan IQ rendah mampu membaca dengan baik tetapi memiliki kesulitan dalam pemahaman auditori dan keterampilan kognitif lainnya. Di kelas, ia dapat membaca nyaring lebih baik daripada teman-temannya, tetapi tidak memahami isi bacaannya (Obler & Gjerlow, 2000 dalam Indah, 2011). Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca pada anak hiperleksik terbatas pada pengenalan kode fonologis tanpa memahami makna (Indah, 2011).

Anak autis umumnya menunjukkan hambatan dalam pemerolehan bahasa, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Armisa bahwa gangguan pada otak mereka menyebabkan hilangnya fungsi komunikasi dan interaksi sosial. Anak autis seringkali tampak berada dalam dunia mereka sendiri, tanpa memedulikan lingkungan di sekitar mereka. Penelitian Ezmar dan Ramli menunjukkan bahwa anak dengan autisme sering memiliki kesulitan dalam bahasa; sekitar 2/3 hingga 50% dari anak autis tidak mengembangkan bahasa sehingga mereka tidak dapat berkomunikasi dengan efektif. Penelitian ini sejalan dengan pendapat bahwa gangguan bahasa adalah salah satu ciri utama autisme, dan sekitar 40% dari anak-anak dengan autisme tidak berbicara sama sekali (Zambrano, Garcia, Southa, 2002 dalam Tarigan, 2019).

Tarigan dalam penelitiannya menemukan bahwa anak autis kesulitan dalam mempelajari bahasa karena mereka belum dapat memahami dan mengucapkannya dengan benar. Priyatna (2010) dalam Tarigan (2019) menyatakan bahwa anak-anak dengan autisme sering kali mengulangi kata-kata yang didengar, suatu perilaku yang dikenal sebagai echolalia, serta mengalami kesulitan dalam memahami percakapan.

Penanganan Gangguan Berbahasa pada Autisme

Penelitian menunjukkan bahwa autisme tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, tetapi gejala-gejalanya dapat dikurangi melalui pendekatan yang terencana dan disiplin serta pembiasaan dalam perilaku belajar. Dengan pendekatan ini, gejala autisme dapat dikendalikan. Terapi untuk anak autis bertujuan untuk mengurangi perilaku yang tidak sesuai, meningkatkan kemampuan belajar, dan membantu perkembangan yang selaras dengan usianya.

Salah satu terapi utama yang efektif dalam mengatasi gangguan komunikasi pada anak autis adalah terapi komunikasi, yang menjadi dasar dari berbagai terapi lainnya. Keberhasilan terapi komunikasi ini akan memudahkan pelaksanaan terapi tambahan lainnya. Menurut Subyantoro (2011), terapi komunikasi tidak harus membuat anak berbicara, tetapi lebih pada meningkatkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Penanganan autisme juga dapat didukung oleh intervensi dini dan diet CFGF (Casein Free Gluten Free), yaitu pola makan bebas kasein dan gluten yang bermanfaat dalam memperbaiki kondisi psikologis, neurologis, dan fisiologis anak. Beberapa pendekatan intervensi bahasa pada anak autis meliputi: 1) melibatkan teman sebaya dalam kegiatan komunikasi; 2) menyesuaikan dengan perkembangan dan gaya belajar anak; 3) membangun komunikasi bermakna yang mengombinasikan kata-kata prelinguistik, seperti “siapa namamu?”; 4) melatih komunikasi dalam konteks alami agar anak memahami pola komunikasi yang sesuai dalam lingkungan; 5) melibatkan pihak-pihak terkait untuk mendukung perkembangan anak.

Beberapa terapi tambahan yang dapat membantu dalam penanganan gangguan bahasa dan komunikasi antara lain adalah Auditory Integration Training (AIT). Terapi ini menggunakan musik untuk melatih otot-otot telinga agar lebih responsif dan meningkatkan kemampuan otak dalam menyaring suara yang masuk, yang dapat membantu anak memproses informasi auditori dengan lebih baik (Moor, 2008 dalam Indah, 2011).

Pendekatan yang sesuai juga diperlukan dalam menyediakan layanan bagi anak autis, misalnya dengan metode Lovaas atau Applied Behavior Analysis (ABA). ABA merupakan pendekatan berbasis ilmiah yang menggunakan prinsip-prinsip perilaku untuk meningkatkan keterampilan sosial secara terukur. Pada metode ini, anak diajarkan untuk berperilaku disiplin dengan kurikulum yang dimodifikasi dari aktivitas harian dan dilakukan secara konsisten. Metode ABA berfokus pada pemberian penguatan positif setiap kali anak merespons instruksi dengan benar, memberikan apresiasi pada setiap keberhasilan anak dalam mencapai suatu keterampilan.

Strategi komunikasi yang dapat dilakukan dengan anak autis termasuk menggunakan bahasa yang sederhana, menyebut nama mereka untuk menarik perhatian, memanfaatkan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud, berbicara perlahan dan jelas, memberi waktu kepada mereka untuk memproses informasi, serta menghindari berbicara di tempat yang ramai agar mereka dapat fokus pada percakapan.

Psikolinguistik dan Gangguan Berbahasa pada Autisme

Psikolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa, perilaku, dan pikiran manusia. Setiap anak memiliki perkembangan bahasa yang unik, yang biasanya mulai tampak sekitar usia satu tahun, ketika mereka mulai mengucapkan kata-kata pertama. Namun, hal ini berbeda pada anak-anak dengan gangguan berbahasa, seperti mereka yang menderita autisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (2003), autisme didefinisikan sebagai gangguan perkembangan pada anak yang menghalangi kemampuan berkomunikasi serta mengekspresikan perasaan dan keinginan, yang akhirnya mengganggu interaksi sosial mereka.

Anak dengan autisme umumnya cenderung lebih pendiam dan sering merasa terisolasi meskipun berada di tengah keramaian. Meskipun mereka mungkin berbicara, kata-kata yang diucapkan sering kali tidak memiliki makna yang jelas, mirip dengan "igauan" atau pengulangan kata-kata yang mereka dengar sebelumnya (echolalia). Hal ini menandakan kesulitan dalam berkomunikasi yang menghambat kemampuan mereka untuk berinteraksi sosial. Ketidakmampuan mereka untuk memberikan respon yang sesuai, seperti menangis, marah, atau berulang-ulang melakukan gerakan, semakin memperburuk isolasi sosial mereka.

Masalah lain yang sering dijumpai adalah pengulangan kalimat yang terdengar seperti meniru atau membeo ucapan orang lain, tanpa kreativitas atau variasi dalam penggunaan bahasa. Mereka terbatas pada pengulangan kalimat yang sudah pernah diucapkan oleh orang lain, yang dapat menghambat perkembangan bahasa yang lebih kompleks (Peeters, 2004 dalam Subyantoro, 2011). Meskipun demikian, penting bagi anak autis untuk tetap belajar mengenal dan menguasai bahasa, mengingat bahasa adalah sarana penting untuk interaksi sosial. Proses pembelajaran bahasa pada anak autis dimulai dengan mengenalkan abjad, diikuti dengan penyatuan huruf vokal dan konsonan, hingga pengenalan kata dan tanda baca (Subyantoro, ***