David Kamaluddin El Barito, S.I.P. Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada “Pemerintahan dari elite, oleh elite, dan...
David Kamaluddin El Barito, S.I.P. Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
“Pemerintahan dari elite, oleh elite, dan untuk elite”.
Lentera24.com - Begitulah kira-kira kalimat yang tepat dalam menggambarkan dinamika demokrasi di tanah air. Seolah menjadi fakta paradoksial, demokrasi sebagai sistem politik yang memberikan kebebasan setiap warga negara dalam mengekspresikan hak politiknya melalui pemilu seolah-olah terkekang oleh gerakan kelompok pemegang kekuasaan. Empuknya kursi kekuasaan dengan segala kenikmatan surga duniawi nya membuat elite dengan segala sumber daya yang dimiliki berusaha sekuat tenaga dalam mempertahankan status quo-nya. Akibatnya, elektoral hanyalah ajang kompetisi bagi kelompok ber-uang bukan pejuang.
Adanya reformasi utopis telah memberikan ruang bagi elite untuk melanggengkan kemiskinan. Di belenggunya kesejahteraan, kemapanan, dan keswadayaan menghadirkan ketergantungan masyarakat terhadap elite. Akibatnya, politisi dianggap sebagai ‘super hero’ yang hadir di tengah kesulitan masyarakat yang ia ciptakan sendiri. Seolah populis, adanya pendistribusian keuntungan instan gratis membentuk kekuasaan yang oligarkis. Didesainnya sistem demokrasi di balik ‘kertas ber-angka’ memberikan arena bagi para klientelis untuk membentuk paradigma pragmatis. Implikasinya, demokrasi hanyalah ajang kompetisi materialis dengan pola kekuasaan koruptif. Demikianlah siklus politik dalam demokrasi elitis. Lantas, bagaimana demokrasi dalam genggaman kelompok borjuis?
Bambang Pacul (Ketua Komisi III DPR RI) pada 1 April 2023 lalu dalam RDP-nya (Rapat Dengar Pendapat) bersama Mahfud MD (Menko Polhukam) menyatakan penolakan atas disahkannya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Adanya ancaman politis dari disahkannya RUU tersebut membuat anggota DPR dengan status quo-nya merasa terancam. Sebagaimana pernyataan Bambang Pacul berikut:
“Kalau RUU Pembatasan Uang Kartal (disahkan) pasti DPR nangis semua. Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet, e-wallet-nya cuma 20 juta lagi. Nggak bisa, Pak, nanti mereka nggak jadi (anggota DPR) lagi”.
Terjadinya pergeseran transaksi uang kartal ke uang digital melahirkan keterbatasan dalam proses money politics. Masyarakat dengan keterbatasan pemahamannya (gagap teknologi) atas penggunaan uang digital atau e-wallet membuat penggunaannya hanya terjadi pada sebagian orang atau tidak menyeluruh (parsial). Akibatnya, distribusi keuntungan instan melalui transaksional politik menjadi berkurang. Para penerima yang seharusnya menerima ‘amplop’ dari politisi tersebut mulai berkurang. Implikasinya, politisi kehilangan reputasinya sebagai ‘super hero’ di tengah kemiskinan publik. Hal ini tentu akan berimbas pada terjadinya degradasi (penurunan) perolehan suara pada agenda pemilu mendatang, sehingga probabilitas keterpilihan seorang politisi dalam perebutan kursi kekuasaan berikutnya menjadi berkurang. Politisi tidak lagi mampu memanfaatkan pola pikir pragmatis masyarakat untuk menggalang suara besar secara maksimal karena sistem transaksi telah bergeser ke arah digital.
Oleh karena itu, maka ditolak lah pengajuan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal tersebut sebagai wujud pelanggengan kemiskinan oleh elite agar ‘amplop’ mereka tetap dapat tersalurkan melalui mekanisme transaksional politik uang kartal (uang fisik). Dan oleh karenanya, maka terjaga pula lah ketergantungan masyarakat terhadap material politisi. Sebagaimana KItschelt (2000) dalam tulisannya yang berjudul “Linkages between Citizens and Politicians in Democratic Polities” menyatakan bahwa tingginya angka kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadikan klientelisme mengakar kuat di suatu daerah.
Dikenakannya beban pajak dengan hasil pembangunan rendah seolah memperkuat adanya narasi pelanggengan kemiskinan. Pendidikan sebagai hak fundamental setiap warga negara justru bertransformasi sebagai barang mewah bagi si kaya. Tanah, laut, dengan kekayaan sumber daya alamnya dikeruk oleh bos pemuja perut. Rakyat dengan kedaulatan tertingginya dimanipulasi oleh tikus berdasi. Dibentuknya doktrin hegemoni material menghasilkan sikap kritis yang gagal. Elite politik dengan sumber daya media, modal, dan jaringan kekuasaannya mendikte opini publik secara dramatik. Implikasinya, demokrasi tampak seperti panggung sandiwara yang hanya melayani segelintir elite politik. Lantas, masihkah demokrasi bersifat holistik?
Sebuah opini dari seorang mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada mencoba merefleksikan realitas demokrasi di tengah ambang pesimistik. Sebagaimana pernyataan Kitschelt di atas bahwa tingginya angka kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi ‘lahan basah’ klientelisme dalam menciptakan demokrasi yang utopis (khayalan). Oleh karena itu, kata kunci utama dalam mengembalikan marwah demokrasi kepada makna esensialnya adalah melalui “transformasi ekonomi dan pendidikan”. Masyarakat dengan segala keterbatasannya menjadikan aspek material sebagai standar kesejahteraan. Tidak mengherankan betapa mudahnya politisi dalam membelokkan preferensi masyarakat idealis menjadi materialis. Karena pada akhirnya, semua adalah tentang ‘uang’.
Sangat munafik apabila cara-cara regulatif top down normatif (seperti pengawasan praktik money politics oleh lembaga pengawas pemilu, rekonstruksi metode penghitungan suara oleh lembaga pelaksana pemilu, dan re-regulasi pemilu oleh lembaga pembuat kebijakan pemilu) menjadi langkah taktis dalam mengembalikan makna esensial demokrasi. Karena sejatinya, lembaga pengawasan dapat dibeli, mekanisme teknis dapat diaborsi, dan regulasi dapat dimanipulasi. DPR sebagai instansi pusat legislasi dengan rational choice-nya tidak mungkin untuk menjerumuskan dirinya dalam peluang terkalahkan.
Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan reformatif holistik secara buttom up oleh segenap elemen masyarakat dalam membangun makna demokrasi secara ideal melalui tekanan dan kontrol kritis agar segala tindakan dan paradigma berpikir penguasa melalui lembar kebijakannya dapat diarahkan pada penekanan aspek redistribusi ekonomi dan sosial. Ini artinya, baik pada skala nasional, daerah maupun desa, orientasi kebijakan akan dicondongkan pada aspek penguatan ekonomi dan sosial. Implikasinya, transformasi ekonomi meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan transformasi sosial (pendidikan) memperbarui paradigma berpikir masyarakat yang sebelumnya telah dikonstruksi sedemikian rupa dalam hegemoni dan doktrinasi materialis penguasa. Dengan demikian, progresifnya kemandirian ekonomi dan logic berpikir masyarakat, menjadikan makna esensial demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menemukan keniscayaannya, serta pragmatisme dan ketergantungan materialis penguasa menemukan titik akhirnya.***