HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dampak Perubahan Iklim terhadap Hak Atas Tanah: Perspektif Hukum Perdata

Ilham Mahasiswa Semester 3 Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung Lentera24.com - Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbes...

Ilham Mahasiswa Semester 3 Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Lentera24.com - Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini, dan dampaknya tidak hanya terasa dalam konteks lingkungan, tetapi juga secara langsung mempengaruhi hak atas tanah. Dalam perspektif hukum perdata, penting untuk memahami bagaimana perubahan iklim dapat merusak hak-hak pertanahan dan memicu sengketa yang lebih luas di masyarakat.

Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dasar hukum ini menyediakan dasar bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga dan mengatur sumber daya alam, termasuk dalam situasi perubahan iklim yang berpengaruh pada hak atas tanah dan masyarakat. Prinsip ini menekankan bahwa negara bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam dengan cara yang bijaksana demi kepentingan rakyat.

Dampak perubahan iklim pada ekosistem juga memengaruhi secara langsung keberlangsungan hidup masyarakat, terutama bagi mereka yang mengalami marginalisasi dalam aspek politik dan ekonomi, kehilangan tanah serta sumber daya, pengangguran, dan diskriminasi. Banyak masyarakat adat berada di dekat kawasan konservasi, sehingga mereka menjadi kelompok sosial yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Mereka merasakan efek dari perubahan iklim dan harus berupaya untuk mengatasi dan beradaptasi terhadapnya.

Berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah mencatat 839 peta wilayah adat dengan luas total sekitar 10.539.317 hektar pada tahun 2019, dengan potensi hutan adat sekitar 7.819.409 hektar berdasarkan data tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengakui Hutan Adat seluas 35.202,34 hektar dan memiliki Peta Indikatif Hutan Adat sekitar 914.927,13 hektar.

Sejalan dengan hal tersebut, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat telah diakui melalui berbagai kebijakan dan peraturan, termasuk UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pengakuan ini memberikan dasar hukum bagi masyarakat adat untuk memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan tanah adat mereka.

Dalam perspektif hukum perdata, perubahan iklim seperti peningkatan suhu, pola curah hujan yang tidak teratur, dan frekuensi bencana alam yang meningkat, dapat mengganggu produktivitas lahan. Hal ini berdampak pada pemilik tanah dan petani yang bergantung pada hasil pertanian untuk kehidupan mereka. Dalam hal ini diperlukan penyesuaian kebijakan agraria untuk melindungi hak-hak pertanahan di tengah tantangan perubahan iklim. Dimana sesuai dengan Pasal 572-577 KUHPerdata yang menjelaskan tentang pembatasan dan perlindungan hak milik, termasuk hak untuk mempertahankan kepemilikan tanah dari ancaman eksternal seperti bencana akibat perubahan iklim.

Sengketa tanah juga dapat muncul akibat perubahan iklim. Ketika kondisi lingkungan berubah, pemilik tanah mungkin mengalami kesulitan dalam mempertahankan hak mereka atas lahan. Misalnya, jika lahan pertanian menjadi tidak produktif akibat perubahan iklim, pemilik tanah bisa saja kehilangan hak akses atau penggunaan tanah tersebut. Ini dapat menciptakan konflik antara pemilik tanah dan komunitas yang bergantung pada lahan tersebut. 

Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan, sendiri diatur dalam Pasal 1 Permen ATR/Kepala BPN nomor 21/2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Sengketa dan Konflik Pertanahan.

Selain itu, dalam konteks pengaruh perubahan iklim terhadap hak pertanahan dan kebijakan agraria, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dimana aturan ini merupakan salah satu dasar hukum yang mengatur mengenai perubahan iklim dan lingkungan hidup. Undang-undang ini mengatur mengenai instrumen penegakan hukum lingkungan, termasuk hukum perdata.

Dalam menghadapi dampak perubahan iklim, kebijakan agraria harus beradaptasi untuk melindungi hak-hak pertanahan. Kebijakan yang responsif terhadap perubahan iklim harus mencakup perlindungan hak akses terhadap tanah dan sumber daya alam bagi semua kelompok masyarakat, terutama yang rentan. Pemberian hak atas tanah yang jelas dan terdaftar dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengelola lahan secara berkelanjutan dan mengambil langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim.

Hal ini diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Perlunya pendekatan holistik dalam kebijakan pertanahan juga sangat penting. Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan yang adil dan efektif.

Dengan demikian, dampak perubahan iklim terhadap hak atas tanah menuntut perhatian serius dari para pembuat kebijakan dan praktisi hukum. Dengan memahami hubungan antara perubahan iklim dan hak pertanahan, kita dapat merumuskan kebijakan agraria yang lebih adaptif dan inklusif. 

Perlindungan hukum yang kuat terhadap hak atas tanah akan membantu masyarakat beradaptasi dengan tantangan perubahan iklim sekaligus mendorong keberlanjutan ekonomi dan sosial di tingkat lokal. Melalui upaya kolektif ini, kita dapat memastikan bahwa hak-hak masyarakat atas tanah tetap terjaga meskipun menghadapi ancaman dari perubahan iklim. ***