M. Faiz Hasan Semester 3 Fakultas: Sains dan Teknologi Terapan Prodi Biologi Universitas Ahmad Dahlan Lentera24.com - Muhammadiyah, seba...
Fakultas: Sains dan Teknologi Terapan
Prodi Biologi Universitas Ahmad Dahlan
Lentera24.com - Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, tidak hanya berperan dalam pengembangan agama, tetapi juga memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Banyak tokoh dari Muhammadiyah yang memberikan kontribusi besar, baik di bidang pendidikan, sosial, maupun politik, yang menginspirasi semangat kemerdekaan dan nasionalisme di Indonesia. Artikel ini akan mengulas lima tokoh Muhammadiyah yang memiliki pengaruh signifikan dalam perjalanan bangsa, mulai dari KH. Mas Mansur hingga Soekarno. Mereka tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pionir dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
1. Mas Mansur
Kiai Haji Mas Mansur adalah putra dari Kiai Haji Marzuki, seorang ahli agama yang terkenal di Jawa Timur dan Madura, yang berasal dari Pesantren Sidoresmi Surabaya. Ibu dari Kiai Haji Mas Mansur adalah Raudah, seorang wanita kaya raya. Mas Mansur menempuh pendidikan di Pesantren Sidoresmo dan Pesantren Demangan Madura.
Sejak kecil, beliau sudah terlihat tertarik dengan ilmu agama. Disebutkan bahwa pada waktu beliau masih kecil, beliau suka bermain peran sebagai seorang ustaz yang sedang mengajari santri-santrinya.
Pada usia 12 tahun, Mas Mansur belajar dan menetap di Mekah selama 2 tahun. Beliau juga pernah menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, selama 2 tahun. Setelah kembali dari Mesir, beliau menikah dengan Hajjah Siti Zakiyah.
Ketertarikan beliau terhadap Muhammadiyah terlihat ketika beliau mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Surabaya. Suatu hari, Kiai Haji Ahmad Dahlan diminta untuk mengisi kajian di samping rumah beliau, yaitu di Masjid Taqwa. Setelah kajian, terjadi pembicaraan antara Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Haji Mas Mansur. Mereka berdua merencanakan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya pada tahun 1921. Kiai Haji Mas Mansur masuk menjadi anggota Muhammadiyah sebagai ketuanya dan dibantu oleh Haji Anshari Rawi, Haji Ali Ismail, dan Kiai Utsman. Pada Oktober 1937, beliau diberikan amanah untuk menjadi Ketua Umum Muhammadiyah periode 1937-1943.
Suatu hari, Kiai Haji Mas Mansur ditangkap dan ditahan oleh Belanda dan sekutunya. Beliau diminta untuk menghentikan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Surabaya saat itu. Namun, dengan tegas beliau memilih untuk menolaknya. Beliau pun dibebaskan dalam kondisi lemah, tetapi apabila ditangkap lagi untuk yang kedua kalinya, hal ini membuat kondisi tubuh beliau menjadi sangat lemah dan membuatnya dilarikan ke rumah sakit. Beliau wafat pada tanggal 24 April 1946 di Rumah Sakit Darmo Surabaya.
Kontribusi dalam Mendirikan Negara Indonesia
Pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Pada tanggal 16 April 1943, Jepang membentuk organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Jepang membentuk organisasi ini dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya Indonesia untuk keperluan Perang Asia Timur Raya. Organisasi ini dipimpin oleh "Empat Serangkai," yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Meskipun PUTERA dibentuk oleh Jepang, para pemimpin organisasi tersebut memanfaatkannya untuk meningkatkan kesadaran nasionalisme dan mempersatukan rakyat Indonesia. Gerakan ini tidak sesuai dengan harapan Jepang, yang pada awalnya bertujuan untuk propaganda kolonial.
Salah Satu Anggota BPUPKI
Pada tanggal 29 April 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan BPUPKI adalah menyelidiki dan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk kemerdekaan Indonesia. Dari 62 anggota BPUPKI, K.H. Mas Mansur merupakan salah satu di antaranya.
2. Soekarno
Ir. Soekarno lahir di awal abad kebangkitan pergerakan nasional Indonesia, tepatnya pada 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Ayah dari Soekarno bernama Raden Sukami Sastroadiharjo, seorang Jawa keturunan bangsawan Kediri, sedangkan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, keturunan bangsawan Bali.
Beliau menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar Tulungagung, kemudian pindah ke Sekolah Ongko Loro di Sidoarjo. Ketika usianya 12 tahun, ia pindah ke Sekolah Ongko Siji di Mojokerto karena kecerdasannya. Ayah Soekarno memindahkannya ke Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Eropa di Mojokerto. Setelah lulus dari sana, ia melanjutkan studinya ke Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, yang merupakan sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur.
Soekarno kemudian melanjutkan pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada tahun 1927, Soekarno dengan dukungan rekan-rekannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928, Soekarno bersama komponen-komponen pemuda lainnya mendukung Sumpah Pemuda. Namun, pada tahun yang sama, Soekarno didakwa oleh pemerintah kolonial karena aktivitas politiknya. Pada tanggal 29 Desember 1929, Soekarno dan beberapa kawannya ditangkap oleh polisi dan ditahan di Penjara Banceuy, Bandung.
Pada tahun 1938, Soekarno menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah. Pada saat itu, beliau sedang diasingkan ke Bengkulu. Beliau juga mengajar di sekolah Muhammadiyah selama di sana.
Sejak Agustus 1965, kesehatan Soekarno mulai menurun, dan beliau mengalami gangguan ginjal. Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Kontribusi dalam Mendirikan Negara Indonesia
Bapak Proklamator Indonesia
Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika, hal ini mengakibatkan tentara Nippon menyerah. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, di Jln. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, Soekarno secara sah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyatakan bebas dari genggaman bangsa penjajah.
3. Muhammad Saleh Werdisastro
Raden Muhammad Saleh Werdisastro adalah putra asli Sumenep yang lahir pada tanggal 15 Februari 1908. Ayah dari Raden Muhammad Saleh adalah Musaid Werdisastro, seorang cendekiawan dan budayawan Madura yang menyusun sejarah Sumenep.
Beliau menempuh pendidikan di Hogere Kweekschool di Purworejo dan Magelang. Pada tahun 1930, beliau sempat menjadi guru di Gouvernements HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang, Jawa Tengah. Namun, bekerja pada pemerintah Hindia Belanda membuat beliau merasa bertentangan dengan hati nurani. Beliau berhenti mengajar di sana dan lebih memilih mendirikan sekolah sendiri di Sumenep. Sekolah yang didirikannya menampung anak-anak dari kalangan rakyat biasa dan diberi nama HIS Partikelir (PHIS). Selain sebagai pendiri sekolah, beliau juga menjadi pengajar di sekolah tersebut.
Selain menjadi pengajar, Muhammad Saleh juga terlibat dalam dunia militer.
Muhammad Saleh terpilih menjadi komandan PETA bersama dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya.
Muhammad Saleh juga terlibat dalam perundingan dengan tentara Jepang yang bertempat di Gedung Negara Yogyakarta. Perundingan tersebut terjadi karena setelah kekalahan Jepang dari Sekutu, tentara Jepang di Yogyakarta enggan menyerahkan senjatanya. Jepang masih bersikeras untuk tidak menyerahkan senjatanya. Ketika perundingan tidak membuahkan hasil, Muhammad Saleh bersama pasukannya menyerbu markas Jepang di Kotabaru, yang akhirnya memaksa bala tentara Jepang menyerah. Peristiwa ini dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru.
Pada tahun 1949, Muhammad Saleh yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan, bersama rekan-rekannya mendirikan universitas di Yogyakarta, yang sekarang dikenal dengan Universitas Gadjah Mada.
Beliau wafat pada 14 Mei 1966 akibat penyakit kanker hati.
Kontribusi dalam Mendirikan Negara Indonesia
Pimpinan Pembela Tanah Air (PETA)
Pada tanggal 3 Oktober 1943, Jepang membentuk organisasi Pembela Tanah Air (PETA) yang bertujuan untuk mempersiapkan pasukan menghadapi tentara Sekutu. Namun, pembentukan gerakan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya. Muhammad Saleh kemudian terpilih menjadi komandan PETA bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, seperti Sudirman, Muljadi Djojomartono, dan tokoh-tokoh lainnya.
Setelah kekalahan Jepang dari Sekutu, Muhammad Saleh berusaha mengadakan perundingan dengan tentara Jepang di Gedung Negara Yogyakarta agar Jepang mau menyerahkan senjatanya. Pada saat kejadian itu, banyak rakyat yang berbondong-bondong mendatangi Gedung Negara sambil berteriak memanggil Muhammad Saleh, “Pak Saleh, keluar!” Melihat kondisi yang sedang memanas, beliau keluar dan menenangkan rakyat yang marah.
Beliau menjelaskan bahwa ia sedang berunding dengan tentara Jepang.
Namun, hasil perundingan tidak membuahkan apa-apa, karena Jepang tetap bersikeras untuk tidak menyerahkan senjatanya.
Setelah itu, rakyat Yogyakarta yang dipimpin oleh Muhammad Saleh menyerbu markas Jepang di Kotabaru. Peristiwa ini dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru, yang akhirnya membuat tentara Jepang menyerah.
4. Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 24 November 1890 dengan nama Hidayat. Beliau adalah putra ketiga dari Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang tokoh agama di Yogyakarta. Ki Bagus Hadikusumo menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro, yaitu sekolah setingkat SD. Setelah tiga tahun, beliau mendalami ilmu agama di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta.
Ki Bagus Hadikusumo merupakan seorang tokoh yang sangat perhatian terhadap tauhid. Disebutkan bahwa beliau pernah menentang upacara seikerei, yaitu upacara yang menunjukkan bentuk penghormatan kepada matahari, yang diwajibkan setiap pagi kepada siswa-siswa di sekolah. Hal ini membuat pemerintahan Jepang akhirnya memberi dispensasi khusus kepada sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara tersebut.
Beliau menikah dengan Siti Fatmah pada usia 20 tahun dan dikaruniai enam anak. Setelah Siti Fatmah meninggal, beliau menikah dengan Mursilah. Dari pernikahannya tersebut, beliau dikaruniai tiga anak. Setelah istri kedua meninggal, beliau menikah dengan Fatimah dan dikaruniai lima anak.
Ki Bagus Hadikusumo juga seorang penulis yang produktif. Di antara buku-buku karyanya adalah: (1) Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, (2) Risalah Katresnan Djati, (3) Poestaka Hadi, (4) Poestaka Imam, (5) Poestaka Iman, dan (6) Poestaka Ichsan.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942–1953) dan wafat pada tanggal 4 November 1954 dalam usia 64 tahun.
Kontribusi dalam Mendirikan Negara Indonesia
Anggota BPUPKI dan PPKI
Ki Bagus Hadikusumo ikut serta dalam perancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai anggota BPUPKI, beliau adalah salah satu dari 15 orang yang menuntut diterapkannya Islam sebagai dasar negara. Beliau memberikan andil besar dalam mewarnai Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut. Dalam penyusunan dasar negara, beliau berperan dalam pemberian landasan tentang ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan.
5. Abdul Kahar Muzakkir
Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir adalah putra asli Kotagede yang lahir di Yogyakarta pada tahun 1907. Beliau adalah putra dari seorang pengajar di Masjid Besar Yogyakarta sekaligus pedagang dan tokoh Muhammadiyah di Kotagede, yang bernama Kiai Haji Muzakir. Kakek dari Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir bernama Kiai Haji Abdullah Rasyid, yang juga merupakan guru agama di Masjid Besar Yogyakarta.
Dari sini kita tahu bahwa Kiai Haji Abdul Kahar Muzakkir lahir dalam keluarga yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan agama. Beliau pertama kali mempelajari agama Islam dari ayahnya, kemudian melanjutkannya di Mamba'ul Ulum Solo dan menjadi santri di Pesantren Jamsaren serta Pesantren Tremas. Pada tahun 1925, beliau diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada tahun 1927, beliau pindah ke Universitas Darul Ulum di Kairo hingga menyelesaikan pendidikannya.
Bersama Bung Hatta, beliau merupakan salah satu pendiri Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Sekolah Tinggi Islam tersebut dibuka pada tanggal 8 Juli 1945 dan bertempat di Gedung Kantor Imigrasi Pusat Jakarta. Kahar Muzakkir menjadi rektornya, sedangkan Bung Hatta menjabat sebagai ketua dewan kuratornya. Setelah kemerdekaan Indonesia, STI pindah ke Yogyakarta dan kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir wafat pada tanggal 2 Desember 1973.
Kontribusi dalam Mendirikan Negara Indonesia
Anggota PPKI dan Penandatangan Piagam Jakarta
Dalam kedudukan sebagai tokoh Islam, beliau duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersama dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.
Kahar Muzakkir terkenal sebagai salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1945. Penandatangan piagam ini berjumlah sembilan orang, yaitu:
Ir. Soekarno
Moh. Hatta
Wahid Hasyim
Abikusno Cokrosuyoso
Mr. A. Subardjo
Mr. Maramis
Mr. Mohammad Yamin
Kahar Muzakkir.
Pimpinan Angkatan Perang Sabil (APS) di Yogyakarta
Dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kahar Muzakkir menjadi salah seorang pemimpin Angkatan Perang Sabil (APS) di Yogyakarta, khususnya dalam pembinaan mental para anggotanya. APS dikenal karena keberaniannya dalam pertempuran melawan tentara Belanda dan pernah mendapat penghargaan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX.***
Sumber
Lasa, H., Widyastuti, Nasri, I., Setiawan, I., Nashiruddin, A., & Budiman, A. Ch. (2014). 100 Tokoh Mu
hammadiyah yang Menginspirasi. Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.