Athalia Aura Nasywa Mahasiswa Semester 5 Prodi Ilmu Politik, UIN Ar-Raniry Banda Aceh Lentera24.com – Dalam upaya memahami lebih dalam pers...
Lentera24.com – Dalam upaya memahami lebih dalam persoalan gender dan keadilan sosial di Aceh, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UIN Ar-Raniry Banda Aceh sukses menggelar seminar bertajuk “Persimpangan Identitas: Menggali Interseksionalitas dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh”. Seminar yang berlangsung pada 15 November 2024 ini menghadirkan dua narasumber inspiratif, Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan Indonesia (YKPI) dan Bayu Satria, pendiri Youth Ide.
Keduanya memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana interseksionalitas, atau persimpangan berbagai identitas sosial, memainkan peran penting dalam menciptakan atau menghambat keadilan sosial di masyarakat Aceh.
Kesetaraan Berbasis Perspektif Gender: Belajar dari Presentasi Kak Dessy
Dalam sesi pertama, Dessy Setiawaty memanfaatkan presentasi visual untuk mengupas isu gender secara komprehensif. Ia menyoroti bagaimana berbagai aspek identitas, seperti gender, status sosial, dan agama, saling memengaruhi pengalaman individu terhadap ketidakadilan.
"Perubahan dimulai dari individu, tetapi harus meluas ke masyarakat secara kolektif. Ketika perempuan diberdayakan dengan alat dan sumber daya yang tepat, mereka dapat mendorong perubahan besar dalam komunitas mereka," jelas Dessy.
Kak Dessy juga menekankan pentingnya menciptakan kebijakan dan program inklusif yang tidak hanya berfokus pada kebutuhan perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya, seperti penyandang disabilitas dan minoritas agama.
Disabilitas: Kerentanan atau Privilege?
Sesi berikutnya yang dibawakan oleh Bayu Satria memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang konsep kerentanan. Ia menantang peserta untuk melihat disabilitas bukan sekadar label, tetapi sebagai bagian dari konteks hidup seseorang.
"Disabilitas itu bukan privilege, tetapi juga tidak melulu tentang kerentanan. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari apa yang terlihat di mata. Kita perlu menggali lebih dalam: Apa masalah yang mereka hadapi? Apa hambatan dalam hidup mereka? Faktor-faktor ini harus kita pahami jika ingin menciptakan solusi yang benar-benar relevan," tegas Bayu.
Ia juga menekankan bahwa banyak individu dengan disabilitas memiliki potensi besar yang belum tergali karena lingkungan yang kurang mendukung.
"Kita sebagai mahasiswa bisa mulai dengan memastikan kampus menjadi ruang yang ramah dan inklusif. Fasilitas yang memadai untuk kelompok rentan, seperti aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, adalah langkah awal menuju keadilan sosial," tambahnya.
Mengintegrasikan Interseksionalitas dalam Pendidikan
Diskusi ini tidak hanya menawarkan wawasan teoritis, tetapi juga mendorong aksi nyata. Para peserta diajak untuk memahami isu gender dan keadilan sosial melalui perspektif interseksionalitas serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu mahasiswa peserta seminar mengungkapkan bahwa pemaparan kedua narasumber sangat membuka matanya.
"Saya jadi paham bahwa keadilan sosial tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Kita harus mempertimbangkan bagaimana berbagai identitas seseorang saling memengaruhi kehidupan mereka," tuturnya.
Dosen pengampu Mata Kuliah Gender dan Politik menambahkan bahwa seminar ini dirancang untuk menjadi lebih dari sekadar acara akademis.
"Kami ingin mahasiswa tidak hanya mendapatkan teori, tetapi juga keberanian untuk menjadi agen perubahan di masyarakat mereka sendiri," ujarnya.
Mewujudkan Aceh yang Inklusif dan Berkeadilan
Melalui acara ini, mahasiswa diajak untuk memulai langkah kecil yang dapat berdampak besar. Diskusi yang interaktif dan penuh refleksi ini diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menciptakan masyarakat Aceh yang lebih inklusif dan adil.
Dengan semangat kolaborasi dan pemahaman interseksionalitas, perjalanan menuju keadilan sosial di Aceh telah dimulai dari ruang-ruang diskusi akademik seperti ini. ***