HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Memahami Dan Menerapkan Moderasi Beragama Melalui Kebudayaan Lokal Masyarakat Banten

Feri Andika, Mahasiswa Komunikasi Penyiar Islam, Universitas Islam Negeri Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Lentera24.com - Pem...

Feri Andika, Mahasiswa Komunikasi Penyiar Islam, Universitas Islam Negeri Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Lentera24.com - Pemahaman moderasi beragama dalam masyarakat Banten tidak bisa lepas dari ikatan kebudayaan lokal yang tumbuh dan berkembang sejak pemberontakan petani tahun 1888. Kebudayaan lokal (local cultural) menjelaskan kehadiran sebuah konstruksi kearifan, pengetahuan, dan intelegensi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (local window) dikonstruksi sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat tertentu untuk mengelola lingkungan rohani dan jasmani yang memberikan kepada dirinya daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana masyarakat berada. Konstruksi kearifan ini sebagai jawaban kreatif masyarakat terhadap situasi geografis politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Selain itu, sebagai strategi kehidupan yang berwujud suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai permasalahan dalam memenuhi kebutuhannya. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat meliputi seluruh unsur kehidupan, yaitu agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi, sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian (Permana 2010).

                      Pengetahuan lokal (local window) dalam masyarakat merupakan pengetahuan yang khas dimiliki suatu masyarakat yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal- balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim di wilayah tertentu, kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, serta kondisi geografis, demografis, dan sosiografis. Selain itu, terkait dengan kemampuan adaptasi yang menjadi bagian dari pengetahuan lokal masyarakat untuk menguasai alam lingkungannya (Permana 2010). 

                       Sedangkan, intelegensi lokal (local genius) dalam pandangan H.G. Quaritch Wales merupakan sebuah kemampuan kebudayaan masyarakat tertentu untuk menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada saat kedua kebudayaan saling berinteraksi. Wales kali pertama mengenalkan istilah “local genius” dengan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu sebagai hasil pengalaman masyarakat sepanjang hidupnya. Di samping itu, intelegensi lokal dijelaskan oleh Haryati Soebadio sebagai identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuannya sendiri (Permana 2010).  

                     Dengan tiga kekuatan konstruksi tersebut, kebudayaan lokal dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan, bahkan ribuan tahun oleh masyarakat lokal. Oleh karenanya, kebudayaan lokal kuat berakar, tidak mudah goyah dan terkontaminasi oleh pengaruh kebudayaan lain yang saling berinteraksi.

                  Masyarakat Banten memiliki kesejarahan sebuah kesultanan yang unggul dan terkemuka di pulau Jawa pada abad ke-15 hingga 18. Pada abad-abad itu keunggulan Banten disebabkan sebagai pusat perdagangan internasional. Banyak para saudagar asing yang datang di Banten, baik dari dalam maupun luar Nusantara, untuk bermukin dan menetap. Dikenal terkemuka, dikarenakan Banten sebagai penghasil lada terbesar, baik yang yang diperoleh dari wilayah sebagai daerah taklukannya (Untoro 2006). Karenanya, selama beberapa abad itu Kesultanan banten jdikenak dengan jaman keemassn banten. Di dalam tulisan ini akan dijelaskan keunggulan dan ketermukaan kebudayaan lokal banten dalam moderasi beragama. 

                   Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang berlandaskan pada “aspirasi keagamaan” itu datang dan tumbuh dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumber-sumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini memiliki dimensi keabadian perjuangan dan berlanggengan cita-cita. Pengorbanan yang harus diberikan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti. Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata yang akan membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat yang tercurahkan adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu sendiri. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam kerangka yang sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melaksanakan persekusi itu sendiri.  

          Munculnya ketahanan luar biasa untuk terus menerus memperjuangkan aspirasi di hadapan segala macam kesulitan dalam intensitas sedemikian besar, sebagai studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif jika telah menemukan dirinya, membawa problem besar berupa “lingkaran setan” esklasi perlawanan versus “tindakan pengamanan pemerintah di banyak negara yang sedang berkembang. Eskalasi dalam konflik antara gerakan keagamaan di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang sedemikian besar atas kelangsungan pembangunan. Adalah persoalan dasar yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang pada umumnya (Abdurahman Wahid 2000).

                 Tampak bahwa ada upaya untuk menutupi wujud persoalan dasar ini, dengan mengetengahkan berbagai “persoalan dasar lain. Seperti kesulitan sangat besar dalam mengubah sikap hidup tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera mengembangkan sumber-sumber alam atas tenaga dan swakarsa sendiri, tidak tersedinya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur sosial-ekonomi yang kebutuhan pembangunan, dan seterusnya. Namun, masalah-masalah sekali pun, tidak teknis sepe situasi yang dibawakan oleh kesalahpahaman antan ideologi negara dan keyakinan agama yang muncul di sejumlah besar negara berkembang dalam kondisi sat ini. Bagaimana pun juga, akan negara kecenderungan menutupi permasalahan sebenarnya, karena hanya akan menunda penyelesaian persoalan sosial yang dahsyat sebagai “jalan penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di atas akan membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi (unmanageable conflict) dalam jangka panjang (Abdurahman Wahid 2000).

Dengan demikian, adanya keunggulan dan keterkemukaan budaya Banten, moderasi beragama dalam kebudayaan masyarakat Banten dipraktikkan sejak menghadapi kolonialisme Belanda yang menghasilkan pemberontokan petani. Pemaknaan moderasi beragama bagi masyarakat Banten, yakni berbuat adil dan mampu menengahi konflik yang berpotensi kekerasan dan peperangan. Sat ini di era kemerdekaan pesantren yang digerakkan oleh sejuta kyai dan seribu santri dalam gerakan tarekat melakukan moderasi beragama untuk tidak terlihat dalam gerakan Pan-Islamisme yang memberontak kepada pemerintahan yang sah. Sebaliknya, membumikan ajaran Islam untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan sosial, dan perdamaian dunia.