David Kamaluddin El Barito Semester 1 Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Lentera24.com - - Dilaksanakannya pemi...
Lentera24.com - - Dilaksanakannya pemilu serentak pada 14 Februari 2024 lalu telah melahirkan berbagai macam dinamika kontroversial yang mewarnai pesta demokrasi di Indonesia. Diusungnya cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka untuk mendampingi Prabowo Subianto dinilai menjadi faktor pecahnya gejolak politik di tanah air.
Adanya ‘cawe-cawe’ atau intervensi yang dilakukan oleh Jokowi terhadap MK melalui Anwar Usman selaku Ketua sekaligus adik ipar Jokowi, melahirkan munculnya ‘delegitimasi’ publik. Digaungkannya mosi tidak percaya mengindikasikan hilangnya kepercayaan publik terhadap integritas dan independensi lembaga yudikatif tersebut. Akibatnya, Pilpres dianggap sebagai momentum yang cacat baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Sebagaimana Putusan MK No. 90/PUU/ XXI/2023 atas pengujian UU No.7 Tahun 2017 Pasal 169 q yang sebelumnya menyatakan bahwa batas usia minimal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah sekurang-kurangnya 40 tahun, mengalami penambahan kalimat menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Meskipun secara general tidak mengubah syarat batasan usia dalam pencalonan, namun dengan ditambahkannya kalimat tersebut membuka jalan lebar bagi Gibran untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Wakil Presiden 2024 meskipun belum terpenuhinya syarat usia asalkan pernah/sedang menduduki jabatan politik di pemerintahan.
Ditetapkannya putusan MK tersebut menimbulkan banyak respon dari berbagai pihak, terutama akademisi. Banyaknya aksi protes mulai dari gugatan ke MK, hingga rilisnya kampanye tersirat dalam bentuk komunikasi politik berupa film “Dirty Vote” menjadikan situasi pesta demokrasi tersebut semakin memanas. Selain itu, dengan dipropagandakannya “Gerakan Salam 4 Jari” mengindikasikan adanya dilegitimasi atas ekspresi kekecewaan publik terhadap MK. Adanya anulir terhadap UU Pemilu dinilai sebagai upaya pelemahan demokrasi, di mana Jokowi dengan terbatasnya sisa waktu kekuasaan yang ada, berusaha melanggengkan dinasti politiknya melalui Gibran sebagai perpanjangan tangannya agar dapat mengontrol roda pemerintahan di balik layar.
Sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia bahwa telah terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap MK pada Oktober 2023 hingga 63%. Bahkan, angka tersebut terus mengalami penurunan hingga 61% pada Januari 2024 sebagaimana hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia). Terjadinya degradasi nilai tersebut merupakan respon dari munculnya ‘trust issue’ publik atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Anwar Usman dalam Putusan MK No. 90/PUU/ XXI/2023 dengan ketentuan cacat formal. Dan oleh karenanya, maka Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui Jimly Asshiddique selaku ketua bersama dengan dua anggotanya yaitu Wahiduddin Adams dan Bintan Siragih menetapkan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK dalam Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 pada 7 November 2023.
Meskipun telah diberhentikan, putusan MK tersebut tidak dapat dibatalkan oleh MKMK karena telah sampai pada keputusan final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagaimana dalam peraturan MK No.1 Tahun 2023 bahwa kewenangan MKMK hanya terbatas menjaga kehormatan, keluhuran dan kode etik perilaku hakim.
Oleh karenanya, meskipun secara yuridis putusan tersebut telah memenuhi unsur legalitas (sah) secara prosedural dan teknis, namun legitimasi lebih dari sekedar legalitas, yakni melibatkan persoalan politik apakah masyarakat menerima validitas secara luas dan tunduk padanya atau tidak dalam hal hukum tertentu atau bahkan seluruh sistem politik sebagaimana yang dinyatakan oleh Hague dan Harrop dalam bukunya yang berjudul “Comparative Government and Politics: An Introduction (6th Edition)”. Dalam makna legitimasi, legalitas bukanlah satu-satunya syarat dari terciptanya unsur penerimaan dan kepatuhan dalam sistem politik, melainkan adanya pengakuan dari pihak pemberi mandat lah yang menentukan apakah suatu keputusan dapat dijalankan atau tidak.
Oleh karena itu, guna mencegah terjadinya dampak serius dari delegitimasi institusi, maka MK melalui Suhartoyo, selaku Ketua MK pengganti Anwar Usman berupaya melakukan pemulihan reputasi atau yang secara terminologi disebut sebagai “re-creating legitimacy”, yang dalam prosesnya dilakukan dengan memanfaatkan momentum politis untuk tampil di depan publik sebagai institusi populis yang mengedepankan aspirasi rakyat dalam dinamika berikut.
Re-Creating Legitimacy dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilpres dan Pileg 2024
Maraknya gugatan atas perkara perselisihan pemilu sepanjang Pilpres dan Pileg 2024 menjadi momentum penting bagi MK untuk memulihkan reputasinya di tengah trust issue publik. Begitu kompleksnya huru-hara dalam dinamika politik 2024 memberikan peluang penting bagi MK untuk memperoleh simpati publik sebagai lembaga independen dengan orientasi populis yang berpihak kepada rakyat. Sebagaimana fungsinya sebagai lembaga dengan tingkat alternatif terakhir dalam memutuskan suatu perkara yang bersifat mengikat, maka terjadinya pergeseran integritas dan independensi melalui keberhasilan MK dalam menyelesaikan perselisihan pemilu menjadi langkah awal untuk menciptakan ulang atau re-creating legitimacy yang hilang sejak Oktober 2023 lalu.
Sebagaimana hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap MK mengalami pemulihan, bahkan meningkat menjadi 73% pada April 2024. Angka ini mengalami kenaikan sebanyak 10% dari Bulan Oktober 2023 lalu yang hanya berkisar 63%. Secara fundamental, kenaikan ini terjadi karena adanya keberhasilan MK dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil Pilpres dan Pileg 2024.
“Saya senang dan gembira beberapa hasil survei terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan publik dan citra MK yang semakin baik. Terlebih seusai MK menuntaskan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.” kata Suhartoyo di Jakarta, 13 Agustus 2024.
Oleh karena itu, dengan adanya kemampuan MK untuk melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik eksternal, membuat MK mampu membalikkan situasi dari yang semula hitam menjadi putih secara perlahan-lahan. Selain itu, terbukanya mata publik atas pergeseran orientasi MK membuat mereka kembali menaruh kepercayaannya kepada lembaga kehormatan yudikatif tersebut.
Re-Creating Legitimacy dalam putusan UU Pilkada
Tidak berhenti pada penyelesian sengketa hasil pemilu serentak 2024, upaya re-creating oleh MK terus dilakukan melalui momentum politis lainnya. Sebagaimana memasuki masa Pilkada, sejumlah pihak melakukan banding terhadap persyaratan ambang batas pencalonan dan batas usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada. Maka, dengan pertimbangan yang ada, MK melalui putusannya No.60/PUU-XXII/2024 Tahun 2024 menyetujui permohonan banding atas perubahan regulasi dalam UU tersebut yang mengafirmasi bahwa pengusulan paslon melalui partai politik hanya didasarkan pada perolehan suara sah dalam pemilu di masing-masing daerah tanpa mensyaratkan adanya jumlah kursi minimum dalam DPRD.
Namun, baru sehari setelah MK membacakan putusan tersebut, Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat di kompleks parlemen pada 21 Agustus 2024 yang dianggap sebagai upaya anulirisasi atas putusan MK. Hal ini pun direspon oleh publik melalui kampanye dan propaganda masif dalam bentuk unggahan “Garuda Biru Peringatan Darurat” yang memenuhi postingan sosial media di Indonesia. Selain itu, ramainya tagar #KawalPutusanMK telah menempati trending topic nomor satu di sosial media X dengan lebih dari 1,65 juta unggahan, tidak terkecuali oleh artis-artis di Indonesia.
Berdasarkan fenomena tersebut, terlihat bagaimana MK melalui putusannya telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Digaungkannya propaganda dalam bentuk postingan di sosial media tersebut telah mengindikasikan bahwa upaya re-creating legitimacy oleh MK menuai hasil yang positif. Hadirnya MK sebagai lembaga populis yang mewadahi kepentingan rakyat secara umum telah membawanya pada pemulihan reputasi dan kehormatan lembaga yudikatif tersebut. Hal ini terlihat dari maraknya upaya pengawalan putusan MK dari peluang anulirisasi DPR RI. Dari kondisi tersebut, MK secara tidak langsung telah memposisikan dirinya sebagai perpanjangan tangan masyarakat.
Oleh karena itu, berdasarkan kajian dalam fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa kembalinya institusi kepada landasan idealis demokrasi merupakan cara terbaik dalam upaya re-creating legitimasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh MK, dengan bergesernya orientasi kepentingan elitis kepada demokratis telah membalikkan kondisi dari yang sebelumnya hitam menjadi putih secara perlahan-lahan. Adanya kebencian publik menjadi dukungan publik merupakan suatu kehormatan bagi institusi, sehingga dengannya lah institusi tersebut memiliki marwah kebijaksanaan dalam menjalankan tugas negara.***