HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Harga CPO Murah, Pajak Ekspor Mencekik: Akankah Petani Sawit Berakhir di Ambang Kehancuran ?

Oleh Asifa Syahril  Prodi: Magister Ilmu Ekonomi Pertanian  Universitas: IPB Universit y Lentera24.com - Indonesia, Oktober 2024 – Krisis m...

Oleh Asifa Syahril Prodi: Magister Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas: IPB University


Lentera24.com - Indonesia, Oktober 2024 – Krisis masih bergejolak pada sektor kelapa sawit Indonesia. Harga minyak sawit mentah (CPO) yang anjlok secara global, dipadukan dengan kebijakan pajak ekspor yang melangit telah membawa petani sawit ke ujung tanduk. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia seharusnya mampu berjaya. Namun, kenyataan justru sebaliknya, petani kelapa sawit rakyat Indonesia kini berada di ambang kehancuran!. 

Mengutip dari data Infosawit, pada 17 Oktober 2024 harga TBS kelapa sawit berkisar Rp 2.574,49/kg yang terus mengalami fluktuasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Berfluktuasinya harga TBS di karenakan ketergantungan harga CPO Indonesia ke pasar dunia. Apabila dilihat dari data Indexmundi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2014-2023), Indonesia mengekspor sekitar 60-70 persen produksi CPO-nya.

Mirisnya sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar dunia, Indonesia tidak memiliki kekuatan sebagai penentu harga kelapa sawit. Hal ini dikarenakan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap pasar dunia dan rendahnya kapasitas produksi industri hilir CPO Indonesia. Dikarenakan hal inilah, semua pihak perlu mendorong terjadinya hilirisasi. Menjawab permasalahan tersebut, pada tahun 2021 pemerintah Indonesia mulai menerapkan kembali pajak ekspor CPO dan produk perkebunan lainnya dengan tarif 6,9 persen dan meningkat drastis sebesar 44,45 persen di tahun berikutnya. Hal ini terbukti mampu mengendalikan volume ekspor CPO Indonesia ke luar negeri. Merujuk pada Indexmundi (2024), semenjak diterapkannya pajak ekspor CPO pada tahun 2018-2022 mampu menurunkan volume ekspor sebesar 2,91 juta ton dan meningkatkan nilai ekspor sebesar 11.237,98 juta US$.


Bagaikan pisau bermata dua meskipun meningkatkan harga ekspor, kebijakan ini membuat ketersediaan CPO di Indonesia meningkat sehingga harga jual lebih rendah. Tingginya ketersediaan CPO juga turut berdampak pada tingginya ketersediaan TBS (tandan buah segar) yang diproduksi oleh petani sebagai bahan utama CPO. Hal ini kembali membuat petani kelapa sawit semakin sulit bernafas. Apalagi mengutip dari data BPS (2023), sekitar 60 persen petani kelapa sawit Indonesia merupakan petani rakyat dengan keterbatasan modal dan luas lahan rata-rata 2 hektar. Pajak ekspor yang tinggi, hasil panen melimpah, dan bahkan dihargai sangat murah tak mampu menutup biaya produksi perkebunan kelapa sawit yang semakin melonjak apalagi di tahun yang sama harga pupuk sebagai input utama pertanian kelapa sawit mengalami peningkatan.

Wacana pemerintah untuk mendorong hilirisasi semenjak tahun 2012 lalu memang patut diacungi jempol. Hal ini dikarenakan akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi produk turunan CPO dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani dengan terserapnya TBS mereka. Namun, kebijakan pemerintah berfokus pada pajak ekspor harus diiringi dengan peningkatan kapasitas produksi industri hilir. Salah satu kebijakan hilirisasi CPO adalah dorongan produksi biopangan seperti minyak goreng dan margarin. Minyak goreng mampu memberikan nilai tambah sebesar 50 persen dan margarin sebesar 100 persen. 

Adanya penerapan kembali pajak ekspor dan peningkatan kapasitas produksi diharapkan dalam jangka panjang akan membantu mengendalikan volume ekspor CPO Indonesia ke dunia sehingga harga CPO dunia meningkat dan akan ada peningkatan penerimaan devisa negara dari pajak ekspor tersebut. Di domestik apabila pajak ekspor ditingkatkan maka penawaran CPO dalam negeri juga akan meningkat. Peningkatan penawaran ini akan menurunkan harga CPO domestik sehingga diharapkan terjadi peningkatan permintaan industri hilir terhadap bahan baku CPO. 

Kemudian, peningkatan kapasitas produksi industri hilir akan membantu penyerapan CPO oleh industri hilir sehingga nantinya harga CPO juga akan meningkat. Apabila terjadi peningkatan harga CPO maka akan turut berdampak pada peningkatan harga TBS oleh petani. Dalam jangka panjang, peningkatan harga TBS akan mendorong petani meningkatkan luas lahan maupun produksi TBS yang berujung pada peningkatan produksi CPO. 

Meskipun terjadi penurunan harga CPO dikarenakan penerapan pajak kembali pajak ekspor, apabila dikombinasikan dengan dorongan peningkatan kapasitas produksi industri hilir maka akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia ke dunia, meningkatkan penawaran CPO di Indonesia dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri hilir turunan CPO seperti industri hilir minyak goreng dan margarin. Kemudian, adanya peningkatan kapasitas produksi industri hilir yang dilakukan juga turun mendorong meningkatnya volume produksi minyak goreng dan margarin dengan harga produk yang lebih murah. Peningkatan produksi industri hilir ini akan meningkatkan permintaan CPO dan turut meningkatkan permintaan TBS sebagai bahan baku utamanya. Dalam jangka panjang, dengan semakin tingginya permintaan TBS akan mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas perkebunannya baik dengan menambah luas lahan atau intensifikasi. Kebijakan ini dalam jangka panjang akan mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani kelapa sawit. Selain itu, peningkatan pajak ekspor dan kapasitas produksi turunan CPO seperti minyak goreng akan membantu ketersediaan produk tersebut dengan harga yang lebih terjangkau.

Kedepannya, tidak akan ada lagi isu mengatakan CPO murah dan petani di ambang kehancuran!. Sebaliknya, kebijakan pertanian yang dilakukan dapat menyejahterakan petani sebagai pelaku utama dari sektor pertanian, memenuhi kebutuhan konsumen turunan CPO dengan harga terjangkau, dan peningkatan devisa negara.

Hidup dan Jayalah petani sawit Indonesia!.