HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Patologi Birokrasi di tengah Korupsi di Indonesia

Dian Nugroho Semester 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi ( FISKOM) jurusan Sosiologi Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW Salati...

Dian Nugroho Semester 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi ( FISKOM) jurusan Sosiologi Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW Salatiga)
Ilustrasi uang kertas Dolar AS (Sumber: Pexels)

Lentera24.com - Patologi pada umumnya dijumpai dalam dunia medis sebagai ilmu yang mempelajari penyakit dalam tiap organ tubuh manusia serta penyebab-penyebabnya. Setiap organ memiliki fungsinya masing-masing, dan jika salah satunya terganggu, maka akan berdampak secara keseluruhan. Layaknya organ tubuh manusia, patologi juga dapat terjadi di dalam birokrasi.

Patologi birokrasi adalah penyakit yang melekat dalam birokrasi negara yang disebabkan oleh tindakan oknum birokrat yang merugikan dan dapat merusak tatanan birokrasi dalam berbagai bidang, yaitu sosial, kultural, ekonomi, maupun politik. Dari definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa akibat yang ditimbulkan dari patologi birokrasi ini tidak bisa dianggap remeh, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan sangat merugikan bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam pembangunan serta pelayanan publik. Salah satu buktinya adalah maraknya praktik korupsi.

Menurut definisinya secara umum, korupsi adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan dengan memanfaatkan legitimasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kolektif. Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai kebejatan, keburukan, kebusukan, ketidakjujuran, serta ketidakmoralitasan.

Patologi birokrasi telah menjadi penyakit dalam sistem pemerintahan di Indonesia dan telah terpelihara sejak lama, merusak sendi-sendi kehidupan birokrasi. Salah satunya adalah melalui praktik korupsi oleh oknum birokrat. Dalam beberapa tahun terakhir, praktik korupsi semakin marak terjadi di Indonesia dan telah sukses melemahkan demokrasi serta akses terhadap keadilan. Hal ini berdampak pada kesulitan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan.

Dalam laporan penindakan korupsi pada tahun 2022 dari Indonesia Corruption Watch, terdapat temuan bahwa negara telah mengalami kerugian sebesar Rp.42,747 triliun. Angka tersebut berasal dari kasus korupsi yang terjadi dalam periode 1 Januari sampai 31 Desember 2022. Beberapa kasus tersebut antara lain adalah kasus penyerobotan tanah milik negara di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, yang digunakan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare oleh Grup Duta Palma selama 21 tahun (2003-2022) yang dimiliki oleh Surya Darmadi. Kasus ini juga melibatkan Raja Thamsir Rachman, mantan Bupati Indragiri Hulu, yang membantu Surya Darmadi untuk memperkaya diri. Selain itu, dikutip dari Tempo.co, pada tahun 2023 terdapat kasus korupsi yang melibatkan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, di mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka karena mengumpulkan dana upeti dari bawahannya saat menjabat. Dana yang terkumpul mencapai Rp4,94 miliar dalam rentang waktu 2020 sampai 2022.

Selain dua kasus di atas, masih banyak kasus korupsi di Indonesia yang membuktikan bahwa patologi birokrasi dalam konteks korupsi ini belum berhasil dicegah dan berakibat pada sejumlah konsekuensi yang harus ditanggung, di antaranya adalah disintegrasi pada sistem pemerintahan serta kualitas pelayanan publik yang buruk akibat kurangnya dana yang disebabkan oleh praktik korupsi oleh oknum birokrat. Penyalahgunaan wewenang atau legitimasi untuk kepentingan pribadi ini, jika dibiarkan, akan menjadi penyakit dalam birokrasi yang berdampak pada kurangnya kesejahteraan rakyat serta pembangunan infrastruktur. Praktik korupsi ini menggunakan kekayaan negara dan mengganggu penerapan rancangan APBN maupun APBD yang seharusnya dapat dialokasikan dengan baik.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 25.899 jiwa. Oleh karena itu, pemerintah melalui KPK harus meningkatkan upaya untuk membuat para koruptor jera, khususnya oknum birokrat, di masa kini dan masa mendatang melalui program pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi, serta evaluasi terhadap tingkat efektivitas dari upaya yang sudah dilakukan. Jika praktik ini berkurang atau tidak ada, maka Indonesia akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Dengan demikian, bukan mustahil bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dan bukan hanya menjadi fatamorgana.***