HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Etika Periklanan di Tengah Tren Digital

Ilustrasi (Foto/homecare24.id) Seiring berkembangnya zaman, dunia periklanan pun ikut berevolusi. Di era digital yang serba canggih ini, car...

Ilustrasi (Foto/homecare24.id)

Seiring berkembangnya zaman, dunia periklanan pun ikut berevolusi. Di era digital yang serba canggih ini, cara kita mempromosikan produk dan jasa mengalami perubahan besar-besaran. Namun, di balik peluang baru yang menjanjikan, muncul pula tantangan baru yang harus kita hadapi dengan bijak.

Sebagai permulaan mari kita sorot isu penggunaan data pribadi untuk penargetan iklan yang spesifik. Berkat algoritme-algoritme cerdas, perusahaan bisa mengumpulkan info selengkap mungkin tentang preferensi, kebiasaan, bahkan lokasi kita. Informasi itu kemudian dimanfaatkan untuk menyajikan iklan yang benar-benar personal. Menarik, bukan? Tapi di sisi lain, praktik ini juga dianggap melanggar privasi dan kebebasan individu.

Privasi data memang jadi topik yang semakin sensitif belakangan ini. Masyarakat semakin sadar betapa pentingnya melindungi informasi pribadi. Karenanya, perusahaan periklanan dituntut untuk lebih transparan dalam mengumpulkan dan menggunakan data, serta memberikan kontrol yang lebih besar kepada konsumen atas informasi mereka sendiri. Tapi tentu saja, penargetan iklan yang lebih spesifik juga bisa memberikan pengalaman yang lebih relevan dan bermanfaat bagi kita sebagai konsumen.

Selain isu privasi data, perkembangan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) dalam periklanan juga memunculkan kekhawatiran baru. Pengalaman imersif yang ditawarkan memang bikin iklan terasa lebih hidup dan memikat. Tapi, paparan berlebihan terhadap konten semacam itu bisa membuat persepsi kita terhadap dunia nyata jadi kacau, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan.

Ilustrasi (foto/epicindiagroup.com)

Isu lain yang gak kalah penting adalah representasi dalam iklan. Meski sudah ada upaya untuk meningkatkan keberagaman dan inklusivitas, masih sering ditemukan iklan yang mereproduksi stereotip negatif atau mengeksploitasi kelompok tertentu demi kepentingan komersial. Hal ini tidak hanya memberikan gambaran yang menyesatkan, tapi juga bisa memicu diskriminasi dan perpecahan sosial.

Nah, untuk menghadapi tantangan etis ini, para pelaku industri periklanan harus menempatkan pertimbangan moral sebagai prioritas utama. Mereka perlu memiliki kesadaran yang lebih besar terhadap dampak iklan terhadap masyarakat, serta komitmen untuk mempraktikkan standar etika yang ketat.

Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan melibatkan ahli etika dan masyarakat sipil dalam proses pembuatan iklan. Dengan mendengarkan perspektif yang beragam, perusahaan bisa memastikan bahwa iklan mereka tidak hanya efektif secara komersial, tapi juga sensitif secara sosial dan budaya.

Selain itu, regulasi yang lebih ketat juga dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik. Pemerintah perlu menetapkan aturan yang jelas mengenai praktik periklanan yang dianggap etis atau tidak, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran. Regulasi ini harus terus diperbarui seiring dengan perkembangan teknologi dan tren baru dalam dunia periklanan.

Tapi ingat, etika periklanan bukan hanya tanggung jawab pihak industri saja, tapi juga kita sebagai konsumen. Kita perlu memiliki literasi media yang memadai untuk mengidentifikasi praktik yang tidak etis dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Dengan begitu, kita bisa mendorong terbentuknya ekosistem periklanan yang lebih bertanggung jawab dan bermartabat, selaras dengan prinsip-prinsip etika universal.

Tantangan etis dalam periklanan di era digital memang tidak gampang. Tapi, dengan kolaborasi yang erat antara industri, pemerintah, dan masyarakat, kita bisa mencapai keseimbangan yang tepat antara kreativitas dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan menjaga etika di tengah tren digital, industri periklanan bisa terus berkembang dan menjadi kekuatan positif bagi masyarakat.

Jadi, mari kita sama-sama menjadi agen perubahan dalam menjaga etika periklanan di era baru ini. Dengan sedikit kesadaran dan upaya dari semua pihak, kita bisa menikmati dunia periklanan yang lebih bermartabat, tanpa harus mengorbankan privasi atau nilai-nilai luhur kita sebagai manusia.[] 

Penulis :

Satria Airlangga Setiawan, mahasiswa Fakultas FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, email : satriaairlanggasetiawan@gmail.com