Aurelya Febrina Wahyudi Semester 2 Prodi/Fakultas: Psikologi/Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas: Brawijaya Lentera24.com - Akhir ...
Semester 2 Prodi/Fakultas: Psikologi/Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas: Brawijaya
Lentera24.com - Akhir akhir ini, Indonesia telah menyaksikan peningkatan jumlah kasus pelecehan seksual yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus tersebut telah menyoroti tantangan serius yang dihadapi oleh masyarakat dalam memerangi pelecehan seksual dan memberikan perlindungan yang memadai bagi para korban. Isu ini tidak hanya muncul di ruang publik, tetapi juga menyebar ke dunia media sosial, di mana paparan yang luas dapat memperdalam dampak traumatis bagi para korban.
Pelecehan seksual merupakan sebuah kasus yang dapat membentuk pengalaman traumatis yang serius dan bisa mengakibatkan luka emosional yang mendalam bagi korban. Trauma yang dihasilkan oleh kasus ini tidak hanya mencakup luka fisik saja, tetapi juga luka emosional yang mendalam. Trauma tersebut dapat menyebabkan korban merasakan gangguan emosional, mengalami rasa takut, kecemasan, kemarahan, dan bahkan merasa bersalah. Semua hal ini dapat berdampak pada kesehatan mental dan emosional mereka dalam jangka waktu yang lama.
Pada konteks filsafat, trauma dapat diartikan sebagai pengalaman yang mengubah sudut pandang dan pemahaman seseorang mengenai kehidupan dan kebenaran. Ketika seseorang mengalami trauma, cara pandang mereka terhadap dunia dan diri mereka sendiri dapat berubah secara signifikan. Mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada orang lain, meragukan diri sendiri, atau bahkan merasa bahwa dunia tidak adil.
Dalam cabang-cabang filsafat seperti epistemologi, metafisika, dan etika, trauma dapat dilihat sebagai faktor yang mempengaruhi cara manusia merumuskan pengetahuan, memahami realitas, dan menentukan nilai-nilai moral. Trauma juga dapat mempengaruhi cara manusia berpikir dan juga bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bidang epistemologi, suatu cabang filsafat yang mempelajari bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, trauma memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi pemahaman individu tentang dunia di sekitarnya. Pengalaman traumatis seseorang dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan mereka untuk memahami dan menafsirkan informasi dengan benar. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami trauma mungkin menghadapi kesulitan dalam memproses informasi secara objektif karena emosi yang terlibat dapat mengaburkan persepsi mereka. Hal ini dapat menyebabkan pembentukan pemahaman yang salah atau bahkan bias terhadap suatu hal.
Trauma juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengakses atau mengingat informasi dengan tepat. Pengalaman traumatis dapat mengganggu fungsi kognitif dan memori seseorang, yang selanjutnya dapat menghambat kemampuan mereka untuk memahami dan menyimpan informasi dengan benar. Akibatnya, individu yang mengalami trauma mungkin menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pengetahuan baru atau memproses informasi yang diperlukan untuk memahami realitas dengan tepat.
Sementara itu, dalam metafisika, yang dimana ini adalah cabang filsafat yang mempertanyakan hakikat eksistensi dan realitas, trauma memainkan peran penting dalam cara manusia untuk memahami dan menginterpretasikan realitas di sekitar mereka. Ketika seseorang mengalami trauma, pengalaman tersebut bisa mengakibatkan perubahan dalam persepsi dan pemahaman mereka tentang kenyataan.
Sebagai contoh, trauma dapat membuat seseorang melihat dunia dengan cara yang terdistorsi atau memahami situasi dengan tidak tepat. Pengalaman traumatik bisa memicu reaksi emosional yang kuat dan mengubah pandangan seseorang terhadap kondisi di sekitar mereka. Dengan demikian, seseorang mungkin membentuk pemahaman yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menciptakan realitas alternatif yang berbeda dari realitas objektif.
Dampak trauma pada pemahaman kenyataan juga dapat mempengaruhi perilaku manusia. Ketika seseorang memiliki pemahaman yang tidak sesuai dengan kenyataan, mereka mungkin membuat keputusan atau bertindak berdasarkan persepsi yang terdistorsi, yang pada akhirnya dapat menghasilkan perilaku yang tidak sehat atau tidak seimbang. Salah satu contohnya, yaitu perasaan yang salah bahwa korban sendiri yang bersalah atas kejadian tersebut. Para korban sering kali dituduh oleh pelaku atau merasa malu dan merendahkan diri sendiri. Hal ini bisa membuat mereka merasa bahwa mereka pantas mengalami pelecehan atau merasa tidak berharga.
Akibatnya, mereka bisa mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan pandangan yang salah tentang diri mereka sendiri, seperti menjauhi hubungan sosial, menghindari bantuan atau dukungan, atau bahkan melukai diri sendiri secara fisik maupun emosional. Selain itu, ketidakseimbangan antara realitas yang dihadapi dan realitas yang dipahami juga dapat menyebabkan ketegangan internal dan konflik yang lebih besar dalam kehidupan seseorang.
Di sisi lain, dalam bidang filsafat etika, trauma memiliki dampak yang signifikan dalam menentukan cara manusia menilai baik dan buruk. Pengalaman trauma dapat mengubah persepsi seseorang tentang moralitas, sehingga mereka mungkin memiliki standar moral yang tidak seimbang atau bahkan bertentangan dengan standar moral sebelumnya yang mereka anut. Sebagai contoh, yaitu ketika korban mengalami pelecehan seksual oleh seseorang yang mereka percayai atau hormati, seperti anggota keluarga atau figur otoritas. Pengalaman traumatik ini dapat menyebabkan korban merasa bingung dan terjadi konflik batin karena mereka mungkin merasa bahwa tindakan tersebut salah, namun pada saat yang sama merasa terikat oleh hubungan atau kewenangan pelaku.
Sebagai akibatnya, korban mungkin mengembangkan pemahaman yang terdistorsi tentang moralitas, di mana mereka mungkin merasa bahwa mereka harus tetap diam atau bahkan merasa bersalah jika melaporkan pelecehan tersebut. Mereka mungkin memiliki standar moral yang tidak seimbang, di mana mereka merasa bahwa melawan pelaku adalah tindakan yang salah atau membingungkan.
Pengalaman traumatis ini menyebabkan konflik internal dalam mengambil keputusan tentang perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang telah dipegang sebelumnya atau dalam menghadapi situasi yang membingungkan. Seseorang yang mengalami trauma mungkin merasa tertekan antara tuntutan moral yang dikenalnya dan pengalaman atau kondisi spesifik yang mereka hadapi. Sebagai hasilnya, trauma dapat mempengaruhi cara seseorang menentukan nilai-nilai moral dan bertindak dalam situasi moral yang kompleks.
Dengan demikian, mengulik trauma dalam kacamata cabang-cabang filsafat dapat membantu untuk memahami kompleksitas trauma, baik secara individu maupun lebih luas sebagai fenomena sosial yang perlu diperhatikan. Hal ini juga menegaskan bahwa filsafat tidak hanya dapat membantu manusia memahami dunia di sekitarnya, tetapi juga membantu manusia dalam mengatasi dan memperbaiki diri dari pengalaman traumatis yang dialami. Selain itu, penting juga menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi korban pelecehan seksual untuk berbicara tentang apa yang mereka alami dan trauma yang dirasakan untuk membantu proses pemulihan.***