HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional Dalam Demokrasi Di Indonesia

Dampak Pemilu Serentak Menggunakan Sistem Presidential Threshold Oleh: Rahmadani Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang Lentera24.com - Probl...

Dampak Pemilu Serentak Menggunakan Sistem Presidential Threshold

Oleh: Rahmadani Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang


Lentera24.com - Problematika utama dalam Pemilu 2019 dan 2024 adalah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, sehingga menimbulkan kombinasi sistem Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019. Hal tersebut menjadi tidak logis karena Pemilu serentak 2019 dan 2024 menggunakan ambang batas Pemilu 2014 dan 2019, padahal keduanya jelas Pemilu yang berbeda. Implikasi akibat ketentuan tersebut adalah inkonstitusional karena hak partai politik secara tidak langsung menutup ruang bagi partai politik baru untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden berdasarkan aspirasi konstituen dari masing-masing partai politik tersebut.


Putusan ini kemudian ditindaklanjuti oleh para pembuat Undang-Undang dengan mencantumkan ketentuan terkait pelaksanaan Pemilu serentak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Persoalan yang kemudian muncul adalah terkait dengan norma pada Pasal 222 yang menyebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya atau pada Pemilu 2014 dan 2019. Ketentuan yang menggunakan suara pemilu sebelumnya sebagai rujukan atau patokan dalam menentukan calon presiden inilah yang dianggap inkonstitusional. Hal itu disebabkan terdapatnya perbedaan antara peserta pemilu serta pemilih pada Pemilu 2019 dan 2024. 


Perbedaan yang sederhana terlihat dari jumlah partai peserta Pemilu yang berbeda antara Pemilu 2019 dan 2024. Belum lagi ambang batas yang tinggi mengesampingkan hak politik warga negara untuk memilih calon alternatif, karena preseden pemilu hanya menghasilkan maksimal 3 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.


Sistem pemilu serentak yang mulai diterapkan pada pemilu 2019 masih mensyaratkan ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan total jumlah perolehan pemilu legislatif. Kondisi ambang batas menghendaki presiden untuk selalu tergantung pada dukungan suara parlemen yang berpotensi membuka politik transaksional. Hal ini disebabkan karena dukungan perolehan suara parlemen tidak mencerminkan koalisi yang murni, melainkan koalisi yang berisi tarik-menarik kepentingan yang memenjarakan langkah presiden untuk menentukan pilihan politik terhadap penentuan calon wakil presiden yang mendampinginya. Salah satu faktor yang mendasar langkah presiden terpenjara adalah masih diterapkannya ambang batas yang mengharuskan presiden untuk tunduk pada aturan main koalisi partai politik. Celah tersebut yang bisa menyempitkan keleluasan presiden untuk menentukan pilihan hingga pada saat menjalankan pemerintahan yang serba ketergantungan. 


Padahal dalam Pasal 6A ayat (2) disebutkan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.  Rumusan pasal ini mengisyaratkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, jika diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah disahkan menjadi peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sederhananya, semua partai politik tidak mengenal klaster (lama atau baru) untuk menjadi partai pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sepanjang partai politik telah dinyatakan sebagai peserta pemilu oleh KPU, maka berhak untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam artian peserta Pemilu yang dimaksud dalam pasal ini seharusnya merujuk pada peserta Pemilu saat dilaksanakannya Pemilu bukan berdasarkan pelaksanaan Pemilu sebelumnya, karena itulah terdapat potensi hak konstitusional partai politik yang dilanggar dalam ketentuan ini, yaitu hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Dapat dikatakan Parpol mendapat dampak paling besar dengan adanya presidential threshold. Hal ini dapat dilihat secara konstitusi Partai Politik telah dirugikan, sebab sebenarnya parpol dilindungi konstitusi boleh menganjurkan pasangan Capres dan Cawapres, tertuang dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 (Munarwaman, & Novita, 2021). Keberadaan presidential threshold membuat hak konstitusional Parpol untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden tercacati. Presidential threshold pun dipandang melakukan diskriminasi pada Parpol: Pertama, parpol baru tak mampu secara independen mengajukan Capres dan Cawapres. Kedua, Parpol baru tak mampu mengajukan Capres dan Cawapres meski berkoalisi dan melengkapi persyaratan presidential threshold (Armia dkk, 2016). 


Penulis menyarankan agar Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan permohonan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimohonkan oleh Prof. Denny Indrayana, Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Bambang Widjojamto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Rizal Ramli, Feri Amsari, Efendi Gazali, dkk. Menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold karna selain melanggar norma Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, juga tidak relevan dengan sistem pemilihan umum serentak.


Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang final dan mengikat serta bersifat erga omnes, namun sebagai satu-satunya lembaga di Indonesia yang berhak menafsirkan konstitusionalitas suatu norma, maka MK menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya. Norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara absolut telah melanggar hak konstitusional warga negara sehingga norma itu selayaknya ditinjau kembali baik oleh pembuat undang-undang ataupun Mahkamah Konstitusi.


Perlunya menghapus atau minimal menurunkan angka ambang batas, dan ambang batas pun harus mengikuti secara otomatis dengan sistem pemilu yang diterapkan. Manakala sistem pemilu tidak serentak, maka ambang batas menjadi relevan sebagaimana praktik pemilihan presiden yang dilakukan selama pemilu 2004, 2009 dan 2014. ***

Referensi 

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

Yasinta Dyah Paramitha Hapsari, Retno Saraswati, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Volume 5, Nomor 1, Tahun 2023, hal. 70-84 Universitas Diponegoro.

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/15498

Armia, Muhammad Siddiq., Nafrizal., Fitriadi, M. Deni., & Maulana, Iqbal. (2016). Penghapusan Presidential Threshold Sebagai Upaya Pemulihan Hak-Hak Konstitusional. Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah, Vol.1, (No.26), pp.84-89.

https://doi.org/10.22373/petita.v1i2.83.

Munarwan, Abdul., & Novita, Anggun. (2021). 

Analisis Terhadap Presidential Threshold 

dalam Kepentingan Oligarki. Jurnal 

Rechten,Vol.3,(No.2),pp.22-30.

https://doi.org/10.52005/rechten.v3i2.85.