Khalid Reiza Alrasyid Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Ilustrasi Lentera24.com - Perbincangan terkait k...
Ilustrasi |
Lentera24.com - Perbincangan terkait korupsi dari dulu hingga sekarang tidaklah ada henti hentinya seakan kasus ini akan terus berkelanjutan hingga kapanpun, titik tekan dalam persoalan korupsi sejatinya ada pada pada masyarakat itu sendiri dan juga para penegak hukum, sehingga bagaimana kasus ini akan lenyap apabila faktor pemeran utama nya saja tidak berperan lebih didalamnya. Sesungguhnya pemeran utama sering bermunculan karena terjerat kasus korupsi.
Media masa, bukankah sejatinya pemeran utama menjadi representasi para masyarakat, sehingga bagaimana masyarakat akan mempercayai pemerintah sedangkan usaha yang dilakukan pemerintah belumlah efektif dan maksimal hal itu terbukti permasalahan ini tidak terselesaikan dengan baik, maka ketika membahas terkait efektivitas.
Apabila mengacu pada Prof Soerjono Soekanto terdapat 5 faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri (undang - undang).
2. Faktor penegak hukum,yakni pihak yang menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat,yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan,yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa.
Sehingga dalam hal ini ke efektivitas hukum pemberlakuan regulasi dilihat dari 5 faktor diatas dan apabila terdapat salah satu yang tidak terpenuhi maka hal tersebut ke efektivitas hukum tersebut tidak tercapai, dan sebagai pertanyaan nya adalah apakah pemerintah telah mengatur dengan membuat regulasi sehingga regulasi itu menjadi efektif dengan 5 faktor seperti apa yang dikatakan oleh Professor Soerjono Soekanto? sehingga dengan hal ini menjadi refleksi diri kita sebagai warga negara Indonesia.
Perlu diketahui dari era Soekarno hingga Jokowi kasus korupsi ini belumlah terselesaikan dengan dinamika permainan korupsi dari era ke era, dan justru negara Indonesia pada era sekarang mengalami penurunan indeks yang mana sekarang negara Indonesia memiliki nilai indeks 34 yang mana hal ini mengalami penurunan yang sangat drastis pasca tahun 1995 yang kala itu negara Indonesia dipimpin oleh Soeharto.
Seperti yang telah terjadi di era Soekarno bahwa pada eranya mengalami pembentukan Badan Pemberantasan Korupsi sebanyak 2 kali namun sangat disayangkan pada tahap pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan apa yang direncakan, mengapa demikian?
Kita ketahui Pemerintah pada saat itu menjalankan dengan setengah hati, dalam hal ini seharusnya menjadi pertanyaan besar mengapa hal ini bisa terjadi? Dan apakah tidak ada niat dari pelaksana agar tindak korupsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tidak terulang kembali kasus permasalahan seperti ini ?
Pada Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali diaktifkan kembali oleh Presiden Soekarno, Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam ditunjuk kembali sebagai Ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo yang memiliki tugas yang lebih berat dari sebelumnya yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke Pengadilan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi ini dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 Miliar, bentuk jumlah yang tidak sedikit pada kala itu. Sangat disayangkan operasi ini lagi lagi dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise, hingga akhirnya operasi ini dibubarkan
Menurut Soebandrio dalam pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain, dan yang mana pada akhirnya kasus korupsi pada era Soekarno mengalami stagnasi dari cara penyelesaiannya.
Di era Soeharto, dalam pidato kenegaraan nya di depan para anggota MPR/DPR menjelang hari Kemerdekan Indonesia yaitu pada 16 Agustus 1967, Soeharto menegaskan menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu menyelesaikan kasus korupsi, maka dengan hal itu Soeharto bertekad memberantas korupsi hingga ke akar akarnya agar tidak ada lagi kasus korupsi yang terjadi.
Agar terwujudnya penyelesaian permasalahan tersebut maka Soeharto membentuk TIM PEMBERANTASAN KORUPSI (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung, namun sangat disayangkan lagi lagi keseriusan pemerintah menjadi kendala dalam penyelesaian masalah korupsi ini sehingga banyak masyarakat dan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa memprotes dengan kehadiran TPK, yang mana seharusnya TPK menjalankan fungsinya namun justru tidak berjalan efektif.
Perusahaan perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot oleh masyarakat karena dianggap sebagai sarang tikus untuk melakukan korupsi dan “pat gulipat”, dengan maraknya protes dan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa maka Soeharto menanggapi hal ini dengan membetuk Komite Empat yang terdiri dari tokoh tokoh tua yang dianggap bersih dan netral yaitu Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A.Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain, namun lagi dan lagi Komite yang dibentuk ini sama seperti komite yang dibuat untuk meredam unjuk rasa dan protes dari kalangan mahasiswa dan masyarakat, karena ketika komite ini melaksanakan tupoksinya dan telah menemukan titik terang justru pemerintah tidak menghiraukannya sama sekali sehingga tindak penyelesaian.
Pada era Soeharto mengalami kemunduran mengapa demikian? Dikarenakan pada era Soeharto Indonesia memiliki nilai indeks IPK yang cukup tinggi yaitu pada angka 38 dan hal itu terjadi pada tahun 1995 dan tidak lama dari itu krisis moneter terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga 1998.
Pada akhirnya indeks itu semakin menurun pada era Jokowi yaitu pada angka 34 mengalami penurunan 4 angka dan menjadi angka paling buruk pasca tahun 1995, sehingga hal ini menjadi perdebatan para khalayak umum mengapa tidak terselesaikan kasus korupsi ini terlebih pada era Jokowi mengalami banyak sekali kasus kasus tindak korupsi dari tahun ke tahun nya, hal ini dapat terjadi dikarenakan banyak faktor.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pasundan Anthon F. Susanto bahwa hal ini tidak terselesaikan dikarenakan lemahnya etik dan moral penegak para hukum sehingga korupsi di Indonesia tidak dapat diberantas karena sistem penegakan hukum saat ini pondasinya masih berbasis nalar barat.
Untuk hal tersebut apakah kasus ini dapat terselesaikan ? Maka jawabannya adalah tidak akan terselesaikan apabila kode etik dari masyarakat saja masih lemah dalam artian ketika masyarakat memiliki paradigma bahwa pemerintah saja banyak yang korupsi maka dengan hal itu masyarakat menjadi mengikuti melakukan tindakan tersebut.
Apabila penegak hukum belom memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi pelaku maka seyogyanya hal ini akan terus berkelanjutan hingga negara ini runtuh, dikarenakan apa ? Banyak kasus korupsi yang tidak dijatuhi hukuman dengan seharusnya dan juga dibutuhkan hukuman yang efektif agar memberikan efek jera bagi pelaku dan juga agar tidak ada celah bagi pelaku untuk dapat melakukan tindak korupsi tersebut.
Apabila hal itu terpenuhi maka korupsi di negara ini dapat musnah hingga akarnya, Akan tetapi perlu digaris bawahi hal ini dapat terselesaikan apabila semua elemen saling membantu dan saling sadar akan esensi hukum dan tentunya perlu waktu yang tidak singkat serta keseriusan dari pemerintah tentunya sebagai representasi masyarakat
Apabila pemerintah serius akan hal ini maka secara tidak langsung masyarakat akan memiliki paradigma yang akan berubah terkait pemerintah terlebih penegak hukum.***