HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Melawan Pendudukan Di Tanah Adat

Alifa Zahra Setyana Rais Mahasiswa Semester 5 Prodi Administrasi Pembangunan Negara, Politeknik STIA LAN Jakarta Perkampungan Adat Baduy di ...

Alifa Zahra Setyana Rais Mahasiswa Semester 5 Prodi Administrasi Pembangunan Negara, Politeknik STIA LAN Jakarta

Perkampungan Adat Baduy di Desa Kanekes, Lebak Banten 01 Juli 2023
Lentera24.com - Menurut data yang dihimpun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesia memiliki jumlah populasi masyarakat adat sekitar 40 hingga 70 juta masyarakat adat yang terdiri dari 2.449 komunitas adat tersebar di 38 provinsi di seluruh indonesia dengan luas wilayah adat 26,9 juta hektar ini membuktikan bahwa indonesia adalah negara memiliki warisan multikultural yang tinggi yang seharusnya dijaga dan dilindungi keberadaannya tetapi seperti yang kita ketahui masyarakat adat hingga saat ini belum dapat menikmati hak haknya dan masih berkutat dengan persoalan yang sama, yaitu masih terus mengalami marginalisasi yang menciptakan terjadinya jurang ketimpangan sosial, kesehatan, ekonomi, serta keadilan hukum yang mengakibatkan masyarakat adat mengalami pemiskinan, pengabaian, penggusuran, hingga kriminalisasi.

Masyarakat adat merupakan pilar historis negara indonesia yang seharusnya dijaga dan mendapatkan keadilan hukum, tetapi sejak tahun 2010 hukum dan kebijakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat tidak mengalami kemajuan hingga saat ini RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan menjadi Undang-undang, alih alih mempercepat pemulihan hak hak atas masyarakat adat pemerintah justru menetapkan UU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) diikuti dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Aturan yang mempermudah mempermudah pembukaan lahan demi investasi asing dengan merampas wilayah-wilayah Masyarakat Adat, penetapan UU Cilaka merupakan ancaman yang tidak dapat dihindari oleh Masyarakat Adat untuk mempertahankan eksistensi dan wilayah adatnya dari ancaman predator-predator yang berlindung di balik nama Proyek Strategis Nasional.

AMAN juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir, setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga Masyarakat Adat. Konflik yang terjadi di Masyarakat Adat secara umum meliputi sektor pertambangan, kawasan hutan negara, perkebunan, dan pembangunan proyek infrastruktur. Pulau Rempang merupakan salah satu contoh tanah adat yang dirampas oleh pemerintah karena proyek strategis nasional. 

Penetapan Kawasan Pulau Rempang menjadi PSN ditetapkan oleh Menko Bidang Perekonomian pada 28 Agustus 2023 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian  Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional dan nantinya wilayahnya akan dijadikan kawasan industri, perdagangan dan pariwisata yang terintegrasi dengan nama Kawasan Rempang Eco-City.

Proyek Kawasan Rempang Eco-City merupakan proyek kerjasama Pemerintah Pusat dengan PT Makmur Elok Graha (MEG), proyek ini juga ditaksir memiliki nilai investasi mencapai Rp 381 Triliun hingga tahun 2080. Pengembangan kawasan ini juga diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 306.000 orang. Proyek yang dicanangkan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia ini menimbulkan konflik karena perampasan tanah adat yang dipakai dalam PSN serta sikap arogan para aparat bersenjata mengusir para warga rempang yang tinggal jauh sebelum kemerdekaan. 

Proyek Kawasan Rempang Eco-City juga memberikan luka sosial bagi warganya pasalnya proyek yang ambisius ini memaksa para warganya untuk segera mengosongkan 16 kampung adat melayu yang berada di Kawasan Pulau Rempang tersebut, ribuan warga juga tak terima harus angkat kaki dari tanah yang sudah ditinggalinya jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan itu memunculkannya konflik antara aparat dengan warga yang puncaknya terjadi bentrok antar warga dengan aparat gabungan TNI, Polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam yang terjadi pada 7 september lalu, aparat gabungan bersenjata itu menyemprotkan gas air mata hingga anak-anak dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, 43 orang yang menolak relokasi ditangkap dengan dituduh provokator, sikap arogansi para aparat yang melanggar Hak Asasi Manusia ini  bisa menimbulkan luka sosial yang dalam bagi warganya.

Peristiwa ini membuktikan bahwa pemerintah tidak serius memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dan lebih mementingkan kemudahan bagi investor asing tanpa memedulikan kesejahteraan rakyatnya bersamaan dengan penetapan UU CILAKA juga seperti menghidupkan kolonialisme di negeri ini yang membuat Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai. ini tidak sesuai dengan apa yang di cita citakan oleh bangsa indonesia dalam melindungi serta mensejahterakan rakyat dan melawan kolonialisme, peristiwa ini juga menambah catatan kelam kekejaman Indonesia terhadap Masyarakat Adat.***