HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Peran Ekspektasi Individu Terhadap Peristiwa Quarter Life Crisis

Anisa Nanda Shafira Semester 2 Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Lentera24.com - Seiring perke...

Anisa Nanda Shafira Semester 2 Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga


Lentera24.com - Seiring perkembangan zaman, tingkat depresi masyarakat kian meningkat. Salah satu kondisi yang populer adalah Quarter Life Crisis di mana seseorang depresi akibat cemas dan tidak puas dengan hidupnya. Menurut Tim Mahasiswa UGM, quarter life crisis  dialami oleh seseorang di usia 20-29 tahun. Hal ini kerap kali dilatarbelakangi oleh keluarga, pertemanan, ekonomi, serta faktor lainnya. 

Beragam tekanan yang membebani pikiran seseorang inilah titik beratnya. Selain melalui lingkungan luar, faktor internal atau dari dalam diri sendiri juga bisa memengaruhi. Faktor yang berasal dari cara seseorang menghadapi dirinya di masa sekarang, masa lalu, bahkan masa depan. 

Tentang seseorang yang belum mampu menerima masa lalunya, menjalani masa kininya, dan menghadapi masa depannya. Bicara soal masa depan, kita seringkali merangkai sebuah cerita indah untuk direalisasikan nanti. Imajinasi serta angan itulah yang disebut ekspektasi. Bukan sebuah hal buruk, ekspektasi justru menjadi salah satu motivasi seseorang untuk bertahan di masa sulitnya demi menjumpai masa depan yang lebih baik. Namun, perlu diketahui bahwa ekspektasi berbeda dengan mimpi. Mimpi adalah yang dicita-citakan sedang ekspektasi hanyalah angan berlapis harapan. 

Ekspektasi bersifat lebih kompleks di mana seseorang bahkan mengekspektasikan perasaannya dalam angan itu. Contoh sederhananya adalah seseorang yang berekspektasi kuliah di perguruan tinggi impian, dengan prodi demikian, memiliki teman menyenangkan, dan lingkungan yang memuaskan. Tentu ketika membayangkan demikian, seseorang turut melibatkan perasaan senang dan puas itu dalam angannya. Namun, kala ekspektasi itu tidak terpenuhi di masa depan, seseorang dapat mengalami kecewa, stress, bahkan berakhir depresi.

Kenyataannya ekspektasi bukanlah hal yang buruk. Namun bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang memiliki risiko serta turut andil dalam terjadinya quarter life crisis. Ekspektasi seharusnya muncul sewajarnya saja atau bisa dibilang jangan terlalu spesifik. Tidak terlalu spesifik di sini maksudnya untuk mulai mengekspektasikan sesuatu secara lebih luas. Artinya keindahan dengan jalur serta bentuk seperti apa pun kita akan bisa menerima dan mensyukuri. 

Tentu banyak orang yang mulai berekspektasi tentang masa depan yang cerah sejak remaja. Bayangan ini mungkin diciptakan dengan sangat spesifik seperti diterima perguruan tinggi demikian, lulus demikian, bekerja demikian, dan lainnya.

Hal ini sebenarnya secara tidak langsung menciptakan tekanan juga standar tentang kepuasan seseorang. Lain halnya dengan mimpi yang merupakan target untuk diusahakan, orang yang berekspektasi demikian cenderung membayangkan segalanya dengan spesifik sehingga dapat mengakibatkan kecewa besar saat tidak sesuai bayangan. Selain itu, seseorang seringkali membayangkan sesuatu di luar kemampuannya yang juga menjadi penyebab terjadinya quarter life crisis di kemudian hari.

Sekali lagi ekspektasi bukanlah hal buruk jika dilakukan secara wajar dan sadar. Juga bukan sesuatu yang harus dihindari sebab siapa pun pasti pernah berangan tentang masa depannya. Ekspektasi yang sehat dengan berpikiran luas dan tidak spesifik adalah kuncinya. Contohnya seperti berekspektasi mendapat hasil yang terbaik di tes masuk perguruan tinggi. Ekspektasi ini tidak memiliki risiko kecewa yang berat sebab ‘terbaik’ di sini bisa melalui jalur dan jawaban apa pun, menjadikan ekspektasi itu bukan sebuah tekanan atau standar yang bersifat menodong mental seseorang. Teman-teman harus berekspektasi dengan sehat sebab ialah asal mula tumbuhnya sebuah mimpi.***