Syauqi Adrian Mahasiswa Semester 4 Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Lentera24.com - Desa Jamb...
Syauqi Adrian Mahasiswa Semester 4 Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Lentera24.com - Desa Jambo Keupok, itulah yang teringat di benak kita. ketika, sebuah desa yang tenang dan tentram, tiba-tiba menjadi bunyi tangisan di mana-mana pada tanggal 17 Mei 2003 silam. Pada hari itu sejumlah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan senjata lengkap memasuki kampung yang ada di Bakongan, Aceh Selatan Aceh.
Suara teriakan para tentara bergemuruh hingga kesuluruh kampung pendalaman itu. Mereka memerintahkan seluruh warga untuk keluar dari rumahnya dan berkumpul didepan sebuah rumah yang di miliki oleh Suma Dedi. Para tentara itu menanyakan keberadaan anggota gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena adanya informasi dari informan ke anggota TNI bahwa pada 2001-2002 desa itu jadi basis GAM. Tidak ada seorang pun yang menjawab selain tidak tahu para warga itu pun di pukul di tendang dan di tusuk dengan ujung senjata.
Peristiwa itu pun mengakibatkan 4 warga sipil mati ditempat akibat di siksa dan di tembak 12 warga sipil mati dengan cara disiksa ditembak dan dibakar hidup-hidup 3 rumah warga dibakar 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata, akibat peristiwa ini para warga mengungsi selama 44 hari kemasjid karena mereka takut anggota TNI akan kembali mendatangi kampung mereka.
16 orang yang tak berdosa pun menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, pembantaian dan penembakan. Tak hanya dari pihak laki-laki yang menjadi korban penyiksaan bahkan, perempuan dan anak-anak pun mengalaminya. Bahkan sejumlah tempat tinggl dan harta benda mereka pun di lenyapkan.
Tepatnya tanggal 17 Mei 2023 adalah 20 tahun tragedi tersebut yang mana tragedi itu telah merengut kebebasan, ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan dari warga desa Jambo Keupok. Akibat dari kekejaman mereka yang tak patas untuk dianggap manusia. Duka atas kejadian itu takkan pernah hilang dari inggatan dari keluarga dan warga desa.
Kekecewaan yang mereka rasakan takkan pernah pudar dan hal itu kini menjadi trauma yang sangat mendalam yang mereka tak pernah dilupakan. Kisah sedih dan pilu yang telah merenggut orang-orang yang mereka kasihi dan sayangi oleh manusia yang bisa kita anggap sampah yang tak berhati dan berpikiran.
Banyak dari kalangan anak-anak pada saat itu tidak bisa menjadi anak-anak pada umumnya yang bersekolah tapi tidak dengan mereka. Karena ketidak adanya biaya dan trauma yang besar yang diakibatkan oleh kejadian itu, lantas inikah yang disebut keadilan? mengapa mereka yang mengalami hal seperti ini tidak pernah di adili dengan seadil-adilnya? kenapa mereka yang harus mendapatkan sesuatu yang seperti itu! bagaimana yang terjadi bagi pelaku akankah mereka terlihat santai dan tenang setelah melakukan hal yang diluar batas tersebut?.
Hingga saat ini keadilan seolah-olah hanyalah waktu yang tidak berhenti ketika kita ingin seperti itu seolah-olah bagi mereka yang menjadi korban, hanyalah nasi yang menjadi bubur tidak begitu kawan mereka juga punya hak untuk keadilan, bukan dianggap sebagai pengkhianat mereka adalah pahlawan, mereka adalah syuhada, mereka mati karena kesalah pahaman yang dilakun oleh para orang biadab mereka juga butuh keadilan yang seadil adilnya terlebih lagi para pelaku tidak diadili sebagai penjahat malahan mereka dianggap sebagai pahlawan atas apa yang mereka telah lakukan. Mereka dibebaskan dari perbuatan biadab yang mereka lakukan. Seharusnya undang undang perlindungan hak asasi dan manusia (HAM) menjadikan itu sebagai landasan hukum yang kokoh dan mengesampingkan hal-hal yang berbau politik untuk menjadikan keadilan itu menjadi nyata dihadapan seluruh orang yang menjadi korban. Karena menginggat apa yang dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjadi pengaman bagi rakyat itu sudah di luar batas kemanusiaan.
Meskipun sekarang peristiwa tersebut telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia sebagai pelaggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah dilakukan oleh aparat keamanan. Bahkan untuk menyelesaikan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang terjadi dimasa lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres no 17 tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia non-yudisial (PPHAM).
Dengan keluarnya peraturan keppres tersebut kami harapkan semoga semua kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia bisa diadili seadil-adil mungkin agar para korban bisa menerimanya dengan lapang dada.***