HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan Di Era Revolusi 4.0

Fadhillah Dewi Kurnia Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Pendidikan mengajar ...

Fadhillah Dewi Kurnia Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Lentera24.com - Pendidikan mengajar memiliki sebuah tantangan di era milineal, kewarganegaraan menuntut upaya. Kesulitannya bukan pada isi atau kurikulum Pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Namun demikian, dari segi  kualitas instruktur sebagai sumber daya manusia yang kompeten. Selain mengajarkan siswa tentang kewarganegaraan, sekolah juga harus mengajarkan kepada mereka tentang multikulturalisme, lingkungan, hukum, dan cara memerangi korupsi. Tantangan yang kini muncul dari berbagai misi tersebut adalah, bagaimana guru-guru saat ini? Khususnya yang mengajar pendidikan kewarganegaraan, dapatkah berkolaborasi dan beradaptasi dengan globalisasi dan kemajuan teknologi?

Ditegaskan bahwa Pendidikan kewarganegaraan harus masuk dalam kurikulum pendidikan tinggi melalui Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki fungsi yang krusial dan strategis dalam pembangunan karakter dan nasionalisme siswa sebagai generasi penerus. Sebagai negara kesatuan, Indonesia memiliki budaya dan masyarakat yang harus mampu mempersiapkan diri untuk mencegah bahaya dan keributan yang dapat merusak persatuan dan kesatuan negara, termasuk melalui pendidikan kewarganegaraan, khususnya di perguruan tinggi. 

Pendidikan kewarganegaraan terdiri dari tiga bagian utama yaitu, pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), bakat kewarganegaraan (civic skill), dan pola piker kewarganegaraan. Tiga elemen dalam periode milenial ini dengan contoh nyata dan scenario realistis, akan lebih mudah bagi siswa untuk memahami dan menginternalisasi informasi. Bukan hanya kuliah yang membosankan yang menyebabkan kantuk. Tampaknya beralasan bahwa siswa pada generasi milenial akan mengembangkan kompetensi kewarganegaraan dan peningkatan pengetahuan tentang kewarganegaraan.

Warga negara yang memiliki pengetahuan dan kemampuan terkait kewarganegaraan kemudian akan menjadi warga negara yang mampu (civic competence). Kemudian, warga milenial dengan bakat dan sikap yang diperlukan akan mengambangkan komitmen sipil (civic commitment). Selain itu, warga milenial akan menjadi warga negara yang cerdas dan baik (smart and excellent citizen) jika mereka memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan. Jika pendidikan kewarganegaraan diajarkan pada masa milenial dan didukung oleh “guru-guru atau dosen yang cerdas dan baik”, maka itulah tujuan akhirnya.

Gagasan pendidikan kewarganegaraan saat ini terdiri dari:

Pertama, bagi kaum kosmopolitanisme, mereka akan memandang setiap orang sebagai warga negara dengan haknya masing-masing dan merasa berhak untuk menjamin kesejahteraan setiap orang tanpa terkecuali. Istilah “Osmopolitanisme” berasal dari kata “Kosmopolitan”, yang berarti warga negara universal. Ungkapan ini menyampaikan gagasan bahwa manusia adalah warga alam semesta dan bukan hanya satu bangsa, tetapi yang pertama dan terutama. Dia tidak berdiri di atas atau terpisah dari makhluk hidup lainnnya. Sebaliknya, itu bergantung pada keberadaan makhluk hidup lain untuk bertahan hidup. Dalam definisi kosmopolitanisme, kata “orang asing” tidak muncul. Sementara itu, bangsa yang mendukung komunisme hanya akan mementingkan penduduknya sendiri. Individu yang berada di luar batas wilayahnya biasa mereka sebut “alien”, dan akan beragumen bahwa tidak ada gunanya menghabiskan sumber daya nasional untuk memenuhi kepentingan mereka yang bukan warga negaranya. Mereka perlu dikendalikan oleh undang-undang untuk mencegah masalah apapun itu.

Kedua, bagi kaum konservatif, ketidaksejahteraan sosial merupakan masalah karena melanggar hukum kebutuhan alam, tidak dapat dihindari, dan telah berevolusi menjadi hukum sejarah atau ketetapan Ilahi. Memperjuangkan perubahan sosial tidak perlu, karena hanya akan memperburuk kehidupan masyarakat. Paradigma konservatif, dalam bentuk tradisionalnya, didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak mampu merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial karena hanya Tuhan yang dapat menentukan status masyarakat dan hanya Tuhan yang memahami pentingnya semua itu. Takdir Tuhan telah menentukan nasib manusia pada umumnya. Konservatif lama memegang keyakinan bahwa warga tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keadaan mereka. Dengan kata lain, orang-orang harus menerima nasibnya dengan pasrah dan bersiap untuk menerima Tuhan sebagai takdirnya. Konservatif berpendapat bahwa politik tidak memiliki tempat dalam pendidikan. Menurut kaum konservatif, mereka yang miskin, buta huruf, tidak berpendidikan, dan tertindas tidak memiliki kekuasaan atau melakukannya bukan karena alasan sendiri. Kaum konservatif menyarankan mereka yang kurang mampu untuk menunggu giliran mereka dengan sabar, karena pada akhirnya setiap orang akan menikmati kebebasan dan kebahagiaan. Karena itu manusia harus belajar dan bekerja keras untuk mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan.

Ketiga, Paradigma Pendidika Liberal adalah kelompok yang berpendapat bahwa sementara masyarakat mungkin memiliki masalah, pendidikan sama sekali tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas penyakit sosial, politik, dan ekonomi ini. Masalah politik dan ekonomi yang dihadapi masyarakat tidak terkait dengan pekerjaan untuk sekolah ini. Namun oleh karena itu, kaum liberal selalu berusaha memodifikasi pendidikan untuk mengatasi berbagai masalah dalam pendidikan melalui perubahan kosmetik. Membangun ruang kelas dan fasilitas baru, memperbarui infrastruktur pendidikan, dan menjaga rasio antara guru dan murid yang sehat adalah bagian dari agenda reformasi kosmetik ini. Selain itu, pelatihan disampaikan secara lebih efektif dan efisien untuk menciptakan pembelajaran berdasarkan peserta didik. Menurut salah satu aliran liberal, fungsionalisme structural, pendidikan dirancang khusus untuk mensosialisasikan dan memproduksi norma-norma moral, kepercayaan, dan nilai-nilai fundamental bagi masyarakat. Pendekatan ini bekerja dengan baik.

Keempat, Paradigma Pendidikan Kritis, manusia harus berjuang dalam hidupnya untuk melepaskan diri dari kendala masyarakat dalam terang pendidikan kritis. Paradigma kritis membutuhkan penyesuaian structural yang signifikan dalam sistem politik dan ekonomi yang mengatur pendidikan. Bagi para pendukung pendidikan kritis, sekolah adalah medan pertempuran konflik politik. Menurut paradigma kritis, ekonomi politik masyarakat tempat pendidikan dipraktikkan perlu mengalami perubahan structural yang besar. Jika konservatif dan liberal tidak setuju bahwa masalah ketidaksetaraan ekonomi, politik, dan gender terkait dengan pendidikan, maka komunitas pendidikan berpendapat bahwa diskriminasi kelas dan gender tercermin dalam pendidikan secara global.

Pada Revolusi Industri 4.0 ini, kita memang dituntut agar menjadi lebih kreatif, mandiri, serta lebih pintar. Sosial media merupakan salah satu contoh perkembangan teknologi di era ini. Perkembangan teknologi di Revolusi Industri 4.0 ini tidak hanya memberikan suatu hal positif namun juga memberikan sesuatu yang negatif. Dalam dunia pendidikan, kebanyakan orang melihat nilai pelajaran daripaa nilai moral seseorang. Pola piker masyarakat ini lah yang harus dirubah, masyarakat yang berpendidikan dan bermoral akan membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi.

Revolusi Industri 4.0 membutuhkan kolaborasi sosial dan pemerintah. Kolaborasi itu dapat membantu bangsa, khususnya generasi penerus bangsa. Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan pendidikan moral dan kewarganegaraan yang baik sejak dini. Hal ini akan memungkinkan generasi manusia yang bermoral untuk bersaing dalam skala global dan menjadikan Indonesia bangsa yang lebih besar.

Kemajuan pendidkan kewarganegaraan di era revolusi 4.0 menuntut adanya undang-undang yang lebih lentur dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu, konsep pendidikan kewarganegaraan mulai diperkenalkan pada era revolusi 4.0, akibatnya pendidikan kewarganegaraan kini wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. ***