HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Perempuan dan Tabir yang Tak Diungkap oleh Negara

Ade Irma M. A., Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Lentera24.com - Tubuh perempuan selalu diserang dalam situasi konflik...

Ade Irma M. A., Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Lentera24.com - Tubuh perempuan selalu diserang dalam situasi konflik atau perang. Melalui metode paling "klasik" dalam sejarah, pemerkosaan, tubuh perempuan digunakan untuk menghancurkan komunitas asalnya. Hal ini karena perempuan dipandang sebagai simbol kehormatan bagi masyarakatnya. Dengan demikian, seksualitas perempuan tidak lagi dianggap miliknya sendiri dan menjadi otoritasnya, tetapi menjadi milik komunitasnya (dalam konteks yang paling sempit adalah ayahnya atau suaminya, jika ia menikah). Fakta ini menegaskan bahwa hak untuk memperkosa pertama-tama adalah hak milik. 

Dalam kasus pemerkosaan, bukan perempuan korban yang dianggap sebagai bentuk kejahatan dalam kasus ini, melainkan komunitasnya. Konsekuensi logisnya, "pemilik" perempuan ini menerima "ganti rugi" jika terjadi perkosaan, misalnya berupa pembayaran uang atau penyelenggaraan upacara adat khusus. Contohnya adalah suku di Papua di mana pemerkosa membayar denda berupa hewan sebagai hukuman standar. Selain itu, pemerkosaan seringkali hanya dilihat sebagai ekses dari konflik atau perang. Oleh karena itu, kerugian yang dialami korban perempuan dianggap sebanding dengan kerusakan/kerusakan material, seperti rusaknya bangunan atau ruang publik lainnya. 

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Tanpa sepengetahuan mereka, wanita diperbudak dan ditempatkan dalam situasi sulit. Perempuan telah lama diposisikan sebagai sasaran konflik bersenjata, perebutan kekuasaan atau agresi. Salah satu masa di mana keadaan perempuan menjadi sulit dan menjadi korban adalah pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 sampai dengan tahun 1945. Perempuan banyak digunakan sebagai budak dan juga sebagai pelacur bagi tentara. 

Perempuan direduksi menjadi tubuh laki-laki dan objek seksual. Mereka diperlakukan sebagai properti, perempuan sering mengalami kekerasan. Mereka hanya dipandang sebagai perempuan yang inferior dibandingkan laki-laki. Seperti pada masa pendudukan Jepang, Jepang membuat beberapa sistem untuk memobilisasi orang Indonesia, termasuk, "Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang", sebuah mekanisme yang memaksa perempuan untuk ditawarkan kepada tentara Jepang di seluruh Jepang sebagai sarana eksploitasi seksual. Negara-negara yang diduduki daerah di Indonesia. Kekaisaran Jepang menyebut wanita dalam sistem itu Jugun Ianfu. Pelaksanaan sistem Jugun Ianfu mengikuti kebijakan pengelolaan hiburan militer yang diatur oleh pusat komando militer yang juga dikenal dengan Kerajaan Jepang. Hiburan seksual juga diatur secara terpusat, terutama ketika tentara sudah berada di barak dan membutuhkan perempuan untuk hiburan. Ketika orang Jepang datang ke Jawa, mereka membutuhkan wanita yang bisa digunakan untuk hiburan.

Bahkan setelah berakhirnya masa kolonial dan kemerdekaan Indonesia, kekerasan dan pelecehan seksual belum juga berakhir. Saat ini, Indonesia masih harus melawan kekerasan dan pelecehan seksual yang paling sering dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan otoritas. Kekuasaan melibatkan kekuatan fisik dan kemampuan dari mereka yang memiliki kekuasaan untuk melakukan pekerjaannya, seperti laki-laki atau pejabat yang lebih kuat. Ambil contoh kasus seorang aktivis dan etnis Tionghoa di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. 

Marsinah dan rekan-rekannya di PT-CPS juga menuntut kebebasan hak-hak serikat pekerja. Jenazah Marsinah ditemukan pada 9 Mei 1993 di sebuah gubuk petani di dekat Hutan Wilangan di Nganjuk. Tubuhnya tergeletak miring dan memar karena terkena benda keras, luka lecet di kedua pergelangan tangan dan pinggul. dihancurkan oleh benturan berulang kali dengan benda keras. Noda darah, dikatakan berasal dari siksaan dengan benda tumpul, terkadang terlihat di sisi paha, dan kain putih berlumuran darah diikatkan ke tempat yang sama. Tak hanya kasus pemerkosaan Mei 1998 yang mendapat perhatian khusus, kebenaran kasus tersebut menjadi pembahasan tersendiri. Negara terus menyangkal bahwa pemerkosaan terjadi selama kerusuhan. Wanita beretnis Tionghoa lebih rentan karena identitas mereka tumpang tindih.

Saat ini, kekerasan seksual masih sering terjadi karena seperti yang telah dijelaskan di atas, pelakunya adalah orang yang memiliki kekuasaan yang dengan mudah menyangkal dan menyembunyikan perilakunya. Kasus yang terjadi di tahun 2020 sangat berbeda. Yang paling mengejutkan adalah pemimpin tani yang melakukan kekerasan seksual terhadap murid-muridnya. Seorang ustadz yang lahiriahnya tampak alim belum tentu memiliki pikiran dan perilaku yang suci. Pengalaman kekerasan laki-laki juga harus terus diperhitungkan, karena korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia gagal memberantas kekerasan seksual pada masa kemerdekaannya dan undang-undang yang mengatur kekerasan seksual harus dikaji lebih dalam karena dampaknya lebih kepada pihak yang berkuasa daripada korban. ***