Alya Syafira Usman, Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Pada dasarnya jual bel...
Alya Syafira Usman, Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Pada dasarnya jual beli merupakan bidang mu’amalah yang dihalalkan dalam islam. Ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah atau boleh kecuali terdapat hal yang dapat menggugurkan kebolehannya. Syariat perniagaan dalam islam telah di atur agar selalu di bangun di atas kejelasan. Jelas dalam harga, barang, dan akadnya. Salah satu sistem jual beli yang biasa berlaku di tengah-tengah masyarakat yaitu jual beli ijon. Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ijon merupakan pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan di ambil oleh pembeli sesudah masak. Sedangkan dalam pengertian Ekonomi Ijon adalah kredit yang di berikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil yang pembayarannya di lakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual yang besar.
Dalam istilah Islam, Ijon dibahasakan sebagai Mukhadarah. Mengenai diperbolehkannya jual beli dengan sistem ini atau tidak, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Diriwayatkan oleh Anas r.a:
“Rasulullah SAW melarang muhaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabazah, muzabanah” (H.R Bukhari).
Berdasarkan hadist tersebut, seluruh mahzab sepakat bahwa jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, yang belum terlihat baiknya dan belum dapat di konsumsi adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk di perjual belikan. Merujuk pula pada hadist lain, diriwayatkan oleh Umar r.a bahwa “Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya (matang). Beliau melarang si penjual dan pembeli” (H.R Bukhari).
Larangan ini dimaksudkan karena adanya kekhawatiran akan tertimpanya tanaman atau buah-buahan oleh bencana atau kerusakan yang terjadi sebelum tanaman tersebut dapat dipetik atau matang. Setelah pelarangan tersebut, Rasulullah SAW dari anas bin malik r.a meriwayatkan bahwa beliau bersabda “Bagaimana pendapatmu jika sekiranya Allah menghalang-halangi buah-buahan tersebut (menimpakan kerusakan padanya). Maka berdasarakan alasan apakah salah seorang diantaramu mengambil harta saudaranya?”
“Dari Abu Zubair bin Abdullah, ia mendengar Jabir bin Abdullah mengatakan: jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa musibah/wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikitpun. Karena engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri (H.R Muslim).
Maka dalam hal ini jumhur ulama mengartikan bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap dipohon hingga siap petik atau matang atau membolehkan menjualnya sebelum matang dengan syarat dipetik saat terjadi kesepakatan jual beli. Larangan-larangan ini didasarkan pada perinsip menjauhi ketidak pastian dengan segala dampak buruknya.
Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nampak baiknya karena ada hikmah yang ada dibalik larangan tersebut, antara lain: (a) mencengah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran; (b) melindungi pihak pembeli, jangan sampai mengalami kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang; (c) memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar; (d) menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang dijual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.
Transaksi ijon hukumnya boleh dengan syarat diambil ketika itu atau langsung diambil, tapi kalau diambilnya menunggu setelah dipanen maka ini Gharar. Begitu pula dengan menghindari adanya perniagaan yang bersifat spekulatif atau tidak jelas (Gharar), karena dalam islam Gharar sangat diperhatikan keadaannya. Hal ini karena unsur Gharar sangat berpeluang merugikan salah satu pihak atau keduanya sehingga berpotensi menimbulkan perselisihan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim berikut: “bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung unsur ketidak-jelasan (Gharar). (H.R Muslim).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari hadist ini adalah larangan mengadakan jual beli Gharar merupakan salah satu prinsip utama dalam syari’at perniagaan. Oleh karena itu Imam Muslim mendahulukan hadist ini di bandingkan hadist-hadist yang lain yang berkaitan dengan perniagaan. bentuk dari jual beli Gharar ini sangat beragam dari yang tradisional hingga modern. Di antara jual beli yang mengandung Gharar dan jelas di larang bersadarkan sebuah riwayat adalah Ijon.
Dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua. Para sahabat bertanya “Apa maksud telah menua?” beliau menjawab: “bila telah berwarna merah” kemudian beliau bersabda “Bila Allah menghalangi masa panen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu” (Muttafaqun ‘alaih).
Dengan demikian, terlepas dari adanya jual beli yang dijaminkan pada kredit, Ijon dalam kasus jual beli padi termasuk penjualan yang dilarang berdasarkan hadist tersebut karena adanya transaksi jual beli sebelum padi layak dipanen. Selain itu, kesepakatan harga yang merefleksiakan keseriusan baru di sepakati saat mendekati masa panen, biasanya dua minggu atau maksimal satu minggu sebelum hari panen ditentukan. Meskipun bulir padi sudah terlihat pada saat penentuan harga, namun terdapat unsur keraguan terkait kualitas dan kuantitas. Misalnya kondisi yang sering terjadi pada saat mendekati panen padi diserang hama burung ataupun padi yang terkena banjir yang secara langsung jelas mengurangi kuantitas hasil panen sedangkan harga telah disepakati. Tentu hal ini menimbulkan kerugian atau resiko yang dialami oleh atau salah satu atau kedua belah pihak.
Substansi dari larangan jual beli buah-buahan sebelum siap panen itu adalah karena adanya potensi “gagal” atau yang disebut dengan Gharar, larangan ini tentu tidak hilang hanya karena adanya asuransi. Apalagi sistem asuransi komersial syarat dengan praktik riba sehingga pada sistem ini jual beli pada pohon masih muda, ada dua unsur yang menyebabkannya haram. Yang pertama ada unsur Gharar karena pembeli bisa jadi gagal dalam mendapatkan barang yang ia beli yaitu pohon, yang kedua adanya Asuransi dengan syarat praktik riba karena anda akan diwajibkan membayar premi dengan nominal tertentu, sebagai imbalannya kalau gagal panen maka anda akan mendapatkan klaim ganti rugi dalam nominal tertentu, yang bisa jadi nilainya lebih besar ataupun lebih kecil dibandingkan dengan premi yang anda bayarkan. Wallahu ta’ala a’lam. ***