Foto : ILUSTRASI Sejak disahkan RKUHP pada 2019, pasal pidana mati kembali menuai ragam kontroversi. Sejumlah kalangan, khususnya seorang ak...
Foto : ILUSTRASI |
Sejak disahkan RKUHP pada 2019, pasal pidana mati kembali menuai ragam kontroversi. Sejumlah kalangan, khususnya seorang aktivis HAM, menolak adanya pasal hukuman mati sebab bisa mengancam hak asasi manusia. Karena pasal yang mengatur hukuman mati dalam RKUHP direformulasikan terhadap aturan masa percobaan. Hukuman mati juga bukan kategori pidana pokok dalam RKUHP. “Perkembangan sangat berarti bagi HAM yaitu pidana mati. Jadi, diberlakukan KUHP baru tersebut, pidana mati selalu dijatuhkan secara alternatif melalui percobaan.”kata Wamenkumham Eddy Hiariej di Istana Kepresidenan Jakarta, (28/11) tahun lalu.
Namun, seorang pengacara terkemuka di Indonesia Hotman Paris Hutapea mengkritik terhadap adanya aturan baru terkait penerapan hukuman mati yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. Menurutnya, aturan terkait hukuman mati yang diatur dalam Pasal 100 KUHP tidak masuk akal lantaran mengatur masa percobaan hukuman penjara 10 tahun bagi para pelaku yang terpidana. "Hal itu bisa menjadi celah dalam permainan oleh kepala lapas penjara." ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Utara.
Hotman menilai, ketentuan pidana hukuman mati dalam KUHP terbaru rentan disalahgunakan menjadi praktik suap antara narapidana dengan kepala lapas. Jika peraturan seperti ini, banyak orang termasuk dirinya bahkan berebut untuk menjadi kepala lapas penjara.“Seorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati tidak bisa langsung dihukum mati," ujar Hotman dalam video yang sempat diunggah di Instagram pribadinya @hotmanparisofficial akhir tahun lalu.
“Usai persidangan, sudah divonis sampai hukuman mati , tapi tidak boleh dihukum mati, harus menunggu 10 tahun untuk melihat mental orang ini berubah menjadi kelakuan baik. Ya, di penjara yang menentukan kelakuan baik kan kepala lapas. Surat kelakuan baik ini pasti jadi surat yang paling mahal di dunia,orang akan mempertaruhkan apapun agar mendapatkan surat keterangan kelakuan baik.”tutur Hotman kembali dikutip dari Instagram pribadinya @hotmanparisofficial.
Merespon terkait kritik Hotman, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengatakan pihaknya transparan dan melibatkan banyak pihak terkait hukuman mati ini. "Pertama itu kan putusan dari hakim, kita melaksanakan putusan hakim. Adapun penilaian berkelakuan baik, itu dilakukan dengan sistem namanya sistem penilaian pembinaan narapidana atau SKPN," kata Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas Rika Aprianti, dikutip dari detikcom. Menurutnya, penilaian 'berkelakuan baik' kepada terpidana mati itu dilakukan oleh sejumlah petugas yang melakukan pembinaan di lapas dan juga pihak luar.
Selain itu, anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari akrab disapa Tobas menanggapi kritik dari Hotman tersebut. Ia menerangkan, pidana mati tak lagi ditempatkan dalam pidana pokok, tapi pidana percobaan. Sebab, tolak ukur bukan sekedar dilihat dari berkelakuan baik melainkan seluruh tindakan narapidana selama di dalam penjara. Hal itu dilakukan untuk mengakodimir masukan yang berasal dari dua kelompok masyarakat, baik meminta hukuman mati dihilangkan dan mereka yang tetap merasa hukuman mati dibutuhkan. Tobas pun mengungkapkan, narapidana dikenai masa percobaan yang artinya tak boleh melakukan tindak pidana lagi. “Karena masa dalam percobaan itu adalah masa di mana terpidana menjalankan program-program yang ada di dalam lapas sebagai warga binaan, dan tidak melakukan tindak pidana lagi,”ujar Tobas di Hotel Bidakara, Tebet, Jakarta Selatan.
Dalam pasal 100 KUHP terbaru, dinyatakan bahwa eksekusi mati bisa dilakukan setelah melalui masa percobaan selama 10 tahun. Jika dalam waktu yang ditetapkan terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka hukuman mati diganti penjara seumur hidup. KUHP baru ini pun akan berlaku 3 tahun sejak disahkan.
Perkara disahkan pasal 100 KUHP banyak menuai reaksi yang terjadi dalam kalangan masyarakat baik mereka yang pro dan kontra terhadap pidana mati. Ada yang mengira dengan berlakunya pasal 100 KUHP menjadi cara Indonesia untuk mencari win win solution antara paham ingin tetap ada pidana mati dengan paham tak ingin ada pidana mati. Terjadinya reintegrasi sosial bagi pelaku kejahatan yang pasti ada kesempatan kedua bagi dia yang ingin memperbaiki diri, sehingga diharapkan para pelaku tersebut ketika dijatuhi sanksi sembari muhasabah diri serta mendapatkan pembinaan dari teman-teman di permasyarakatan agar menjadi baik, bisa diterima masyarakat, tidak akan mengulanginya dan bisa bermanfaat bagi orang lain.
Lalu, bagaimana jika kita lihat dari sudut pandang sebagai korban?
Jika pasal 100 KUHP ini diberlakukan, pasti diperuntukkan hanya untuk pelaku tindak pidana dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia(HAM) melalui masa percobaan serta harapan adanya perubahan menjadi pribadi yang baik dengan dilonggarkannya hukuman para pelaku tervonis pidana mati tanpa adanya jaminan. Jika kita kaitkan dalam kasus pembunuhan, apakah HAM bagi korban tidak dilaksanakan?, bukankah hak hidup korban juga telah dilanggar, masihkah keadilan ditegakkan?
Melalui persoalan tersebut, seharusnya pihak korbanlah yang perlu diperhatikan meski telah tiada bahkan yang terkena post-traumatic stress disorder(PTSD), karena tentu keluarga tetap akan menuntut keadilan di negeri ini. Ketika kita tinjau kembali pasal 100 KUHP, hal itu tidak menguntungkan bagi pihak korban melainkan sepihak dari pelaku , sehingga membuat masyarakat bimbang karena harus kembali hidup bersama pelaku tervonis hukuman mati yang menjadi ancaman dalam lingkup ketentraman kehidupan bermasyarakat. Tentu masyarakat merasa cemas dan tidak nyaman.
Pasal 100 KUHP terbaru juga mengubah pandangan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia karena kurang tegasnya dalam menerapkan hukuman terhadap pelaku yang seharusnya terpidana mati. Selain itu, masyarakat menyatakan ketidakpuasan dalam penegakan hukum yang ada terutama keluarga dari pihak korban yang terus mencari keadilan di negeri ini.
Meskipun seperti yang kita tahu bahwa hak untuk hidup dan hukuman mati akan selalu mengundang pro dan kontra. Menurut Mahkamah Konstitusi, hak asasi dalam konstitusi tersebut mesti dipakai dengan menghargai serta menghormati adanya hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Di satu sisi, hak hidup memang benar dijamin dalam konstitusi Indonesia.
Di sisi lain hak tersebut juga dapat dibatasi melalui instrumen hukum yang ada seperti undang-undang, konvensi internasional, hak untuk hidup tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh hakim berdasarkan kasus kejahatan yang luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime) seperti tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, pembunuhan berencana, terorisme, hingga kejahatan terhadap keamanan negara. Sebagaimana yang kita tahu, hukuman mati ditujukan hanya pada kejahatan berat, sehingga adanya batasan mengenai pengaturan pidana mati di Indonesia. Pelaku yang tervonis pidana mati tidak perlu melakukan masa percobaan seperti yang dimuat dalam pasal 100 KUHP yang tidak memberikan efek jera sama sekali dan menjadikan penegakan hukum di Indonesia melemah dalam lensa masyarakat.
Berlakunya hukuman mati ialah untuk memberikan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan serupa sehingga berjalannya penegakan hukum Indonesia dengan baik, masyarakat tidak ragu untuk percaya akan keadilan yang sepatutnya ia dapat dan harapkan semestinya. Penghapusan hukuman mati dengan diberlakukannya masa percobaan hanya akan meningkatkan angka kejahatan yang makin masif.
Pidana mati masih dicantumkan di dalam KUHP maupun di luar KUHP dan ditegaskan kembali oleh MK melalui putusan NO 21/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati tidak ada melanggar konstitusi dan masih relevan dilaksanakan pada masa kini maupun masa mendatang. Yang pada intinya konsep KUHP yang mengalami pembaharuan dilakukan di segala bidang KUHP dimana bertujuan dalam menanggulangi kejahatan. Dalam putusan MK, pidana mati bisa dilaksanakan hingga terlepas dari kejahatan yang mengganggu ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat tanpa mengikis keadilan serta kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hukum tidak pandang bulu melainkan hukum dijalankan atas keadilan bersama bagi seluruh masyarakatnya.[]***
Pengirim :
Irawan Faizin, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : irawansmc5@gmail.com