Fadhila Khusnul Na'imah Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Lentera...
Fadhila Khusnul Na'imah Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
Lentera24.com - Banyaknya berita yang berseliweran tentang penyerangan oleh sekelompok gangster di Surabaya membuat ramai jagad media massa dan media sosial. Berita tidak menyenangkan sedang menghantui kota besar ini. Maraknya kawanan gangster yang mewabah di wilayah Surabaya membuat sejumlah warga menjadi resah dan dipenuhi dengan rasa takut yang berlebihan. Mereka melancarkan aksinya di malam hari secara brutal dan berkelompok dengan membawa senjata-senjata tajam. Menengok kejadian kriminal yang serupa juga pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sebutan ‘Klitih’. Tidak jauh berbeda, Klitih ini melancarkan aksinya dengan cara berkeliling dalam gerombolan sambil mengendarai sepeda motor dengan membawa senjata tajam.
Seringkali, istilah gangster dikaitkan dengan sekelompok atau segerombolan yang menunjukkan aksi kriminalitas yang biasanya mayoritas berada di daerah perkotaan. Tingkat kriminalitas di perkotaan relatif tinggi apalagi di ibukota dan kota-kota besar lainnya. Perspektif masyarakat luas menilai bahwa gangster layaknya preman atau bandit yang anggotanya dari remaja dengan mengendarai sepeda motor lalu mencari mangsa di malam hari untuk kepuasan kelompok mereka. Kelompok gengster pada umumnya mempunyai anggota 5 - 30 orang, untuk kemudian melakukan tindakan anarkis dan menyerang siapapun yang mereka anggap sebagai musuh dan yang bukan musuh juga mendapatkan imbasnya. Ditinjau dari sisi pengorganisasian, mereka telah terbangun jiwa kepemimpinannya walaupun ilegalitas. Hal itu terbukti dari gangster yang mendapat anggota hingga puluhan orang untuk bersama-sama melakukan kriminalitas. Adanya visi yang sama terutama berkaitan dengan eksistensi kelompok yang membuat gangster lebih mudah untuk mengorganisir tujuannya.
Faktor utama yang mempengaruhi latar belakang seseorang sehingga dapat bergabung dengan kelompok gangster adalah berasal dari lingkungan tempat tinggalnya. Mayoritas dari anggota gangster mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari keluarga dan lingkungannya sehingga timbul rasa memberontak dan ingin kebebasan dalam hidupnya. Gangster terbentuk dari faktor keluarga dan juga lingkungan. Disisi lain, justru gangster diawali dari sebuah lingkaran pertemanan yang menurut mereka ingin mencari hal baru dan pengalaman yang menantang. Relasi baru ini yang kemudian menjadikan identitas nama atau suatu kelompok. Dengan tanpa disadari gangster ini telah menjamur di kalangan remaja sejak duduk di bangku sekolah terutama saat mengenyam pendidikan di tingkat SMP/SMA. Banyak dari siswa yang sudah mempunyai perkumpulan sendiri dengan beberapa temannya. Itu merupakan langkah awal terbentuknya sebuah geng atau circle dalam dunia pertemanan. Apabila perkumpulan itu dirasa memiliki konotasi yang positif maka dapat diteruskan karena akan saling berhubungan timbal balik. Namun, apabila perkumpulan itu mendapat asumsi yang negatif, maka akan lebih baik ditinggalkan karena dapat menjerumuskan pada pergaulan bebas dan berpotensi mengikuti gangster dalam skala yang lebih besar. Masa remaja ini tentunya akan merasakan hal yang bergejolak secara terus menerus seiring masa transisi menuju kedewasaan. Tak jarang masa remaja kerap diwarnai dengan berbagai pengalaman-pengalaman yang tak terduga.
Di usia remaja juga diperlukan pengalaman berkumpul, berkelompok sehingga akan mendapatkan peran sosial yang ingin diakui keberadaannya dan itulah yang dinamakan eksistensialisme. Merujuk pada sistem eksistensialisme yang cenderung ingin diakui keberadaanya, para gangster berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kelompoknya yang paling kuat, tak terkalahkan dan banyak disegani oleh kelompok yang lain. Karena pada dasarnya angggota gangster itu akan tunduk kepada pemimpin otoritasnya, jika mereka tidak melakukan perintah justru mereka akan diancam dan reputasinya akan semakin memburuk. Ketika segerombolan gangster berkeliaran di area pemukiman penduduk, tentu akan membuat resah dan gelisah bagi masyarakat. Hal ini mempengaruhi kondisi mental psikis seseorang dengan perasaan takut dan cemas yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan berbagai penyakit kesehatan mental. Sebagian masyarakat telah mendiskreditkan gangster dengan stereo-stereo negatif yang cenderung bersifat merusak.
Penciptaan rasa takut oleh pemimpin geng yang otoritas membuat sejumlah anggota harus mau tidak mau menuruti perintah dari atasannya. Untuk dapat memberanikan diri melakukan tindak kriminal, biasanya para pemimpin kelompok memberikan secara gratis minuman beralkohol atau sejenis narkoba yang membuat sesorang bisa takluk dan terbuai dengan dunianya sendiri sehingga mudah mengalami kecanduan terhadap sesuatu.
Gangster berkembang pesat di daerah dengan stratifikasi masyarakat berstatus ekonomi sosial yang rendah. Ini umumnya terjadi di daerah pinggiran kota, terminal, stasiun, dan pinggiran kawasan industri yang mengalami permasalahan utama perihal status ekonomi. Banyak remaja-remaja tumbuh di lingkungan yang masih kental dengan stigma orang ekonomi menengah kebawah tidak bisa bergaul dengan tingkat ekonomi yang berkelas. Akhirnya menimbulkan perasaan minder, tidak percaya diri, dan selalu menganggap dirinya terbelakang dari yang lain. Namun, pasti ada salah seorang yang mempunyai jiwa pemberontak akan hal itu, dia merasa ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak serendah itu. Terkadang berangkat dari sebuah motivasi memang baik, justru sangat disayangkan jika semua itu ditempuh dengan cara yang salah. Seseorang itu biasa disebut sebagai ‘Pentolan’ atau ketua geng yang mempunyai motif sama ingin menguasai wilayah tertentu demi mendapatkan identitas sosial di masyarakat. Gambaran pentolan jika ditelusuri lebih dalam apabila mereka beraliansi, maka dapat memicu tumbuhnya kawanan gangster.
Tindakan kriminal yang dilakukan kawanan gangster merupakan wujud masalah sosial yang memprihatinkan bangsa dan termasuk kedalam dekadensi moral. Dekadensi moral merupakan suatu kemerosotan nilai moral yang terjadi pada individu yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Kemerosotan nilai moral dipengaruhi oleh akhlak, adab, dan budi pekerti dimana itu merupakan faktor utama yang seharusnya menjadi fondasi awal dalam hidup bermasyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Dampak yang ditimbulkan dari dekadensi moral sangat merugikan, baik diri sendiri maupun orang lain. Diantaranya mendapatkan pandangan yang buruk dari masyarakat, dikucilkan dari lingkungan, menanggung rasa malu karena telah dianggap sebagai orang jahat sehingga enggan untuk bersosialisasi, serta mendapat kecaman dari berbagai pihak karena tindakan yang diperbuat, seperti merusak fasilitas-fasilitas umum, mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Lemahnya kewenangan negara dan kurangnya kontrol sosial di masyarakat akan berdampak buruk bagi terciptanya ketertiban umum dalam hidup bernegara. Lemahnya pengawasan dari aparat keamanan setempat dan kurang tegasnya aparat penegak hukum di Indonesia, ini yang kemudian menjadi penting mengingat mereka yang mempunyai kewenangan dan hak untuk mengadili pelaku tindak kriminal. Disamping itu, adalah dari Sumber Daya Manusia (SDM) itu sendiri yang harus lebih dikuatkan tentang nilai-nilai moral yang kian merosot seiring perkembangan zaman. Perlunya dilakukan pendekatan dengan remaja di kalangan menengah kebawah agar tidak terjerumus pada hal - hal yang negatif yaitu kelompok gengster. Kita sebagai mahasiswa yang melek terhadap isu-isu sosial harus memberikan edukasi dan upaya-upaya preventif kepada para remaja untuk memerangi gangster sejak dini agar gangster tidak menjadi budaya yang mendarah daging di Indonesia.***