Melisa Adelia Aisha Widyawati Semester 2 Fakultas ilmu budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Lentera24.com - Per...
Melisa Adelia Aisha Widyawati Semester 2 Fakultas ilmu budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
Lentera24.com - Perbedaan iklim dan sosial budaya tentu kerap kali dirasakan oleh mereka para mahasiswa perantauan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya setiap wilayah pasti memiliki ciri khas iklim tersendiri dan juga budaya yang berbeda . Sebagai contoh di daerah Solo Jawa Tengah yang dominan dengan iklim dingin karena di kawasan ini terdapat Gunung Lawu dan juga perbukitan, tentu masyarakat disana sudah terbiasa dengan cuaca dingin yang ekstrim. Beda halnya dengan cuaca yang ada di Surabaya, yang cenderung panas bahkan jika di siang hari terasa sangat menyengat seolah-olah kulit kita terbakar. Mungkin cuaca panas yang terasa menyengat ini disebabkan oleh kurangnya kawasan hijau di sekitar daerah Surabaya. Hal ini Wajar terjadi menurut saya jika cuaca di daerah Surabaya terasa sangat panas, mungkin karena banyak gedung-gedung besar, rumah kaca, adanya kemacetan lalu lintas dan kurangnya kawasan hijau karena sebenarnya yang mempengaruhi udara suatu kawasan sejuk atau panas berasal dari banyak atau sedikitnya kawasan hijau di daerah tersebut.
Nah, perbedaan iklim inilah yang kerap kali dikeluhkan oleh mahasiswa rantau yang berkuliah di Surabaya, yaitu cuacanya yang sangat panas yang membuat mereka para mahasiswa enggan melakukan kegiatan atau perjalanan jauh pada siang hari. Selain itu, dari segi sosial budaya juga terdapat beberapa perbedaan yang sangat mencolok diantaranya yakni logat yang berbeda.
Masyarakat Jawa Tengah cenderung memiliki logat bahasa dan tutur kata yang lembut dalam berbicara. Sebagai seorang mahasiswa perantauan tentu harus cerdas dalam mengatasi situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan yang sedang ditempati saat berkuliah agar kedepannya dalam menjadi aktifitas sehari-hari tidak terdapat kendala. Berbagai macam kendala mungkin sering dialami oleh para mahasiswa rantau dari mulai perbedaan bahasa,cita rasa makanan,adat istiadat dan lain-lain.
Lalu bagaimana cara kita untuk mengatasi masalah itu ? yaitu dengan mengamati kebiasaan orang-orang sekitar dalam berkegiatan sehari-hari dan bila perlu belajar tentang bahasa daerah beserta artinya kepada teman yang lahir dan tinggal di kota rantau yang kita tempati. Perlu adanya proses adaptasi yang bertahap agar kemudian seorang mahasiswa rantau dapat menempatkan diri dan ber-aktifitas dengan nyaman tanpa merasa kesulitan ketika berada di perantauan. Hal-hal yang berpotensi menyulitkan saat pertama kali merantau seperti bahasa daerah yang asing terdengar di telinga, makanan di daerah rantau yang sedikit berbeda variannya dengan di daerah asal, iklim yang sangat berbeda beberapa hal tersebut tentu menyulitkan kehidupan jika tidak diimbangi dengan proses adaptasi.
Menjadi mahasiswa rantau memang tidaklah mudah tetapi setidaknya berbagai rintangan yang ada dalam kehidupan perkuliahan kelak nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk proses pendewasaan agar kelak kedepannya setelah lulus dari perkuliahan mendapatkan pengalaman dan pembelajaran hidup yang baru dan tak terlupakan yang kelak menjadi cerita untuk anak dan cucu ketika di masa depan kelak. Sejatinya guru terbaik dalam kehidupan adalah pengalaman, karena dari berbagai pengalaman yang telah dilewati semasa hidup dapat membuat pribadi kita bertumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana dari sebelumnya dan melihat segala hal dengan sudut pandang yang luas. ***