Dipta Choir Robbani Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Dalam UU No 7 tahun 2017 tentang P...
Dipta Choir Robbani Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mendefinisikan secara expersif verbis bahwa pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga sudah sepatutnya Penggunaan e-vooting merupakan langkah yang responsif jika ditinjau secara praktik, Pasalnya hal tersebut dapat Meminimalisir Penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) karena hasil tersebut pilihan pemilih langsung tercatat di sistem pusat tanpa perlu adanya perhitungan manual secara satu persatu ataupun proses rekapitulasi yang sebelumnya dilakukan mulai dari kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya dikirim ke pusat. sehingga penggunaan e-voting merupakan sebuah inovasi dan pembaharuan dalam sistem pemilu yang mana menggabungkan antara perkembangan teknologi dan prinsip dasar demokrasi. Miriaam Budiarjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar politik pernah mengatakan bahwa Terminologi dari Negara demokrasi sebagai Democracy is government of the people, by the people, and for the people). Sistem inilah yang nantinya diharapkan mampu untuk menjadi representasi dari prinsip demokrasi yaitu Pemilihan Umum (General Election).
Sebelum melangkah lebih jauh, pertanyaan sederhana adalah Mengapa harus menggunakan konsep e-voting? Sebab secara prosedural, kelebihan e- voting disbanding sistem pemilu secara konvensional sekarang, yaitu:
a. Meminimalisir Penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM). Penerapan sistem e-voting dapat meminimalisir jumlah penggunaan SDM, karena hasil pilihan pemilih langsung tercatat di sistem pusat tanpa perlu adanya perhitungan manual secara satu persatu ataupun proses
rekapitulasi yang sebelumnya dilakukan mulai dari kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya dikirim ke pusat hal tersebut terlihat dari data pada proses Pemilu tahun 2019 jumlah masing-masing petugas dalam pemilihan umum yaitu, PPK total mencapai 36.005 orang, sedangkan jumlah PPS sebanyak 250.212 orang. Sementara jumlah anggota KPPS sebanyak 7.385.500 orang. Banyaknya SDM yang digunakan ternyata terbukti tidak menjadikan proses dalam Pemilu menjadi efektif. Berkaca dari Pemilu tahun 2019 lalu meninggalkan kesan paling buruk selama penyelenggaran Pemilu yang pernah ada. Hal tersebut disebabkan banyaknya petugas yang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Hal tersebut senada dengan data Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan tiap provinsi mencatat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai
11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa pada penyelenggaran pemilu tahun 2019 lalu.
b. Mudah dalam Penghitungan Suara. Dalam E-voting proses pemungutan suara dicatat, disimpan, dan diproses melalui teknologi berbentuk informasi digital. Dengan begitu proses dapat berjalan lebih cepat, tepat, dan akurat daripada sistem penghitungan manual dengan membuka kertas suara satu per satu dan melakukan pencatatan yang memakan cukup banyak waktu dan tenaga.
c. Legalitas Dokumen Elektronik. Undang- Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dimana dalam Pasal 5 disebutkan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah Ini berarti bahwa, dalam hal legalitas, dokumen elektronik dan semua hasil cetakan dalam Pemilu dengan mekanisme E-voting sudah diakui sebagai dokumen yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan memiliki legalitas yang sama dengan surat suara dalam pemilihan umum.
d. Mudah dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum. Dengan adanya e- voting dapat menghilangkan paradigma tentang golongan putih (golput) terutama oleh pemilih rentan (seperti pemilih buta huruf atau lansia), hal tersebut terlihat ketika Pemilu serentak 2019 dari pantauan KPU hasil Pemilu dibeberapa daerah seperti Provinsi Jawa Tengah memperlihatkan data surat suara tidak sah untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebesar 2,71%, sementara surat suara tidak sah untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai angka sebesar 26,52%, yang mana membuatnya menduduki peringkat pertama dengan jumlah surat suara tidak sah terbanyak yang disusul oleh surat suara DPR Provinsi, DPR RI, DPR Kota, dan terakhir Presiden- Wakil Presiden. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) soal pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Dari 1500 responden, 74% menyatakan bahwa pemilihan umum serentak tahun 2019 menyulitkan pemilih, hanya 24% yang menyatakan tidak kesulitan karena. Hal ini dikarenakan digabungnya proses Pilpres dan Pileg.
e. Mencegah Terjadinya Kecurangan. Sistem e-voting harus sudah terintegrasi dengan e-KTP, agar kecurangan dalam pemilihan dengan melakukan pencoblosan lebih dari satu kali akan lebih cepat terdeteksi. Pasalnya berkaca pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, dimana data yang dihimpun oleh BAWASLU bahwasanya terdapat 16.427 pelanggaran administrasi, 426 pelanggaran kode etik, 2.798pelanggaran pidana, dan 1.518 pelanngaran hukum lainnya.
f. Mengurangi Biaya. Pelaksanaan pemilu pada tahun 2019 memerlukan biaya yang tinggi diantara nya digunakan untuk biaya pembentukan
Pengganti Antar Waktu (PAW), Honorarium Badan Penyelenggara Pemilu Adhoc, PPK, PPS dan KPPS biaya tersebut dianggarkan sekitar Rp 10.047.105.276.000. Penggunakan Evoting oleh KPU akan mengurangi pengeluaran biaya dari APBN sebab, KPU hanya perlu menyediakan mesin elektronik, perawatan dan bisa dipergunakan setiap pelaksanaan pemilu, terbukti yang dilakukan oleh Pierre Michel Chery tentang kelayakan penerapan e-voting di Haiti, menunjukkan bahwa pengeluaran pemilu dapat dihemat hingga 1,2 miliar gourdes atau setara dengan 250 miliar rupiah. Sebagai perbandingan penerapan e-voting di Desa Mendoyo Dangin Tukad, Kabupaten Jembrana. Biaya yang dihabiskan untuk melaksanakan pilkades adalah sebesar Rp. 8.700.000. Bila dibandingkan dengan cara konvensional, biaya yang dihabiskan dapat mencapai 4 kali lipatnya
Sehingga masuk dalam variabel konstruksi yang kedua, Yakni Urgenitas dan Dampak aktual dari Penggunaan E-Voting tahun 2024 yang merupakan bentuk kebijakan yang selaras dengan prinsip demokrasi dan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Secara teoritis Teori Hukum pembahruan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum sebagai sarana pembahruan masyarakat. Penggunaan e-voting pernah dilakukan di daerah desa di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali yang sukses dalam pemilihan umumnya yang dimana dapat Mencegah Terjadinya Kecurangan sehingga selaras dengan hal ini UUD NRI 1945 pasal 22E ayat 1 “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
untuk membuktikan lebih komprehensif dampak dari penggunaan E- Vooting dalam tataran yuridis konseptual yang akan dibagi bagi dalam 2 ranah politik yakni secara Ius Constitutum dan Ius Constituendum. Yang pertama, Secara ius constitutum secara Konseptual e-voting adalah sebuah proses pemilihan, mempercepat perhitungan hasil rekapitulasi suara, menghemat biaya
dengan tujuan untuk menghemat waktu, menghubungkan dan memperpendek jarak dalam pemilihan. Dalam Undang- Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dimana dalam Pasal 5 disebutkan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah Ini berarti bahwa, dalam hal legalitas, dokumen elektronik dan semua hasil cetakan dalam Pemilu dengan mekanisme E- voting sudah diakui sebagai dokumen yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan memiliki legalitas yang sama dengan surat suara dalam pemilihan umum. Hal mana ditopang lebih komprehensif oleh Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian Of Constitusion atau The Protect Of Constitutsion Dalam kedudukan putusanya “Nomor 147/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa “Dapat memberikan kesempatan untuk penggunaan teknologi dalam proses pemilihan umum baik itu proses awal yaitu pemungutan suara sampai rekapitulasi suara”.
Yang kedua secara Ius Constitutendum, ada beberapa pelaksana E-Voting dalam pemilu menurut Zulfikri dalam Jurnalnya “Penggunaan E-Voting sebagai Kebutuhan Dalam Pemilu 2024” yang nantinya diterapkan yakni.Pertama, pemilih menuju ke terminal verifikasi.Kedua, kemudian pemilih akan menuju ke bilik suara yang tertutup dan pemilih berhak memilih. Di dalam bilik suara akan muncul calon yang akan dipilih. ketika pemilih sudah selesai memilih maka bukti dari pemilih telah memilih adalah keluarnya print out berupa struk.
Dari tahap pemilu E-Voting tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa jika kita tetap mempertahankan Pemilu secara konvensional dapat mengakibatkan sulit dalam pelaksananya. Hal ini dikarenakan digabungnya proses Pilpres dan Pileg. data dari KPU menyatakan ada 4 % bahwa pemilihan umum serentak tahun 2019 menyulitkan pemilih. Oleh karena itu jika kita tetap mempertahankan kebijakan yang keliru maka hal ini bertentangan dengan nilai dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang salah satunya adalah
Kriteria hak memilih yang inklusif (universal suffrage). Menurutnya hasil yang dilaporkan oleh KPMG Consulting menemukan bahwa 57% warga yang menggunakan Internet berkeinginan melakukan pemungutan suara secara online (e-voting), pemungutan suara menjadi lebih terjangkau, dan menyenangkan. Sehingga pada tahun 2024 Penggunaan Pemilu e-voting 2024 merupakan kebijakan yang dilakukan karena sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Responsiva consilia prodesse possunt societatis, artinya Kebijakan yang responsif dapat memberikan keuntungan kepada masyarakat. ***