HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Perubahan Undang-undang Perkawinan Beda Agama

Adhi Pramana Admaja Markcum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan kasu...

Adhi Pramana Admaja Markcum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan kasus perkawinan beda agama di Semarang. Dalam salah satu foto, seorang wanita bercadar melengkapi gaun pengantinnya dan berdiri di samping seorang pendeta dan seorang pengantin pria.

Foto itu menjadi viral dengan cepat dan mendapat banyak komentar dari pengguna internet. Konselor pernikahan Nurkoris, yang menyaksikan pernikahan itu, juga angkat bicara. Nurcholis mengatakan kesepakatan itu dilakukan di dua lokasi berbeda. Pertama, ijab di sebuah hotel di Semarang, dilanjutkan dengan pemberkatan di Gereja St. Ignatius Krapyak pada Sabtu, 4 Maret.
        
Menurut Nurcholis, pasangan tersebut bukan yang pertama menikah beda agama, namun menurut data yang ada, tepat ada 1.424 pasangan. Pasangan yang menikah beda agama.
        
Perkawinan beda agama atau perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua pasangan yang berbeda agama. Misalnya, pernikahan antara pria dan wanita non-Muslim. Menurut para ahli Rusli, perkawinan beda agama adalah hubungan lahiriah dan batiniah antara seorang laki-laki dan perempuan, dan karena perbedaan agama, dua peraturan tentang syarat dan tata cara mengadakan perkawinan menurut hukumnya masing-masing saling bertautan. Agama yang bertujuan untuk menciptakan keluarga Tuhan Yang Maha Esa yang bahagia dan kekal.
       
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama termasuk perkawinan beda agama. Tentang perkawinan beda agama, Pasal 1 GHR menyebutkan bahwa perkawinan beda agama di Indonesia harus diatur dengan undang-undang yang ada. Kedua undang-undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk perkawinan beda agama.
        
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum setiap agama dan kepercayaan. Hal yang sama dijelaskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 4 : 
“ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Pasal 40 : 
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
Seorang wanita yang masih berada dalam masa indah dengan pria lain;
Seorang wanita tidak beragama islam.
Pasal 44 : 
“ Seorang wanita islam dilarang melngsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam”
Pasal 61 : 
“ Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”
        
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan satu agama artinya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan atau disahkan dan melanggar Undang-Undang .
        
Islam mengajarkan bahwa jika seorang musyrik telah beriman maka orang muslim diperkenankan menikah dengannya. Karena hakikatnya perkawinan adalah salah satu media ibadah seumur hidup dan dakwah menyurukan oang menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Melalui jalan perkawingan dengan proses emosional diharapkan orang yang beriman tersebut mendapattuntutan dan ajaran dari pasangannya yang memeluk islam terlebh dahulu , sehingga kedepannya diharapkan dapat menjalani islam dengan utuh. 
        
Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik;
Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan seorang wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Ayat lain tentang pelarangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah (60) ayat 10:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka diberikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan - perempuan kafir dan hendaklah minta kembali mahar yang telah kamu berikan dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan isterinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana).’

Berdasarkan tafsir dari Ath-Thabari, ayat ini mengandung larangan bagi orang muslim untuk menikahi wanita musyrik (Wanita kafir penyembah berhala). Dan apabila telah terjadi pernikahan, Allah memerintahkan untuk menceraikan mereka.[5] Begitu pula seorang pria muslim, dilarang mempertahankan pernikahannya dengan wanita musyrik yang tidak ikut hijrah dengan suaminya. Sesungguhnya ikatan pernikahannya telah putus disebabkan kekufuran, karena Islam tidak membolehkan menikahi wanita musyrik.

Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab;
Berdasarkan literatur klasik ditemui bahwa para ulama memiliki pendapat yang berbeda mengenai masalah ini, sebagian ulama cenderung membolehkan perkawinan tersebut dan kebanyakan dari mereka menghukum makruh bahkan haram, Bagi yang memperbolehkan mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5) ayat 5 :

“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan - perempuan yang beriman dan perempuan - perempuan yang menjaga kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

Kebanyakan ulama yang menghukum haram pernikahan tersebut mendasarkan keputusannya dari pertimbangan, yaitu :

a.    Berdasarkan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab terbesar yang dianut oleh bangsa Indonesia, berpendapat bahwa kategori ahli kitab yang boleh dinikahi haruslah “min qablikum”, yaitu nenek moyang ahli kitab sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kriteria ini, maka Nasrani dan Yahudi yang saat ini masih ada tidak dapat dikatakan ahli kitab secara murni karena telah melewati masa kerasulan dan telah menjumpai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu kini sudah tidak ada Ahli Kitab murni (yang kitab asli mereka sama sekali tidak mengalami perubahan) dan benar-benar berpegang teguh dengan agama samawi serta wanita Ahli Kitab yang Muhsonat.

b.    Berdasarkan kajian Majelis Ulama Indonesia dan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menimbulkan mafsadat yang jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Diantaranya, tidak terlaksananya tugas dan tujuan  untuk memelihara agama dan keturunannya; misi dakwah dan pembelajaran melalui perkawinan tidak berjalan dengan efektif; dan ironisnya malah semakin banyak pasangan yang pindah agama utamanya anak-anak hasil perkawinan tersebut.

c.    Berdasarkan pendapat bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) di masa kini dapat dikategorikan sebagai golongan musyrik. Karena dalam doktrin dan praktik ibadah Yahudi maupun Nasrani jelas mengandung unsur syirik (trinitas), dimana Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman, sedangkan Nasrani menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah dan mengkultuskan ibunya Maryam.

Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (baik musyrik maupun ahli kitab)[6]

Para ulama sepakat menghukum perkawinan tersebut haram oleh Islam, baik calon suami dari golongan ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk lain. Hal ini juga didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221

Lebih lanjut, Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi masyarakat yang selama ini selalu menjadi rujukan solusi bagi setiap problematika umat muslim, dalam Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta memutuskan dan menetapkan bahwa:
        
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan satu agama artinya perkawinan beda agama tidak diperbolehkan atau disahkan dan melanggar Undang-Undang .
        
Islam mengajarkan bahwa jika seorang musyrik telah beriman maka orang muslim diperkenankan menikah dengannya. Karena hakikatnya perkawinan adalah salah satu media ibadah seumur hidup dan dakwah menyurukan oang menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist. Melalui jalan perkawingan dengan proses emosional diharapkan orang yang beriman tersebut mendapattuntutan dan ajaran dari pasangannya yang memeluk islam terlebh dahulu , sehingga kedepannya diharapkan dapt menjalani islam dengan utuh
"Janganlah kamu menikah dengan wanita musyrik sampai dia beriman. Sesungguhnya hamba-Ku percaya bahwa dia lebih baik."
        
Agama berperan penting dalam kehidupan manusia dan dapat mengarahkan ke jalan yang baik. Agama dan beragama merupakan satu kesatuan yang memiliki makna berbeda. Agama merupakan ajaran kebaikan yang menuntun manusia kembali ke hakekat yang benar. Agama dapat mengontrol masyarakat dengan penanaman kebaikan kepada setiap rakyat dalam satu negara guna menciptakan keselarasan berjalannya sistem yang dijalankan negara dengan tepat.
        
Perubahan Undang – Undang perkawinan tentunya mendapat respon positif dari masyarakat. Karena adanya Undang –Undang yang mengatur tentang perkawinan beda agama akan membawa dampak positif kepada masyarakat karena mereka tetap bisa melakukan perkawinan yang sah secara hukun juga agama dengan tetap berjalan sesuai aturan dan kodrat dari agama masing-masing. 
“ Saya setuju, karena memang lebih baik menikah dengan pasangan yang seagama juga yang sudah tertulis di kitab masing-masing agama” ujar masyaraka
        
Solusi untuk permasalahan ini bisa dilakukan pertama dari pihak keluarga kedua pasangan, jikalu memang merak tetap memaksa ingin tetap menikah, salah satu dari mereka harus merelakan untuk pindah agama agar tetap sah menikah dalam ranah agama. Pihak pengadilan juga bisa mempertegas kedua pasangan tersebut agar terlalu cepat mengabil keputusan juga diberi waktu untuk keduanaya berfikir matang karena bisa saja jika tetp dilanjutkan pasangan tersebut juga tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. ***