HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Menjamurnya Pungli Di Masyarakat

Jihan Inaz Rassel Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Pemerasan atau pungutan liar adalah t...

Jihan Inaz Rassel Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Lentera24.com - Pemerasan atau pungutan liar adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang, pegawai, atau pejabat pemerintah ketika menuntut pembayaran sejumlah uang yang berlebihan atau berlebihan sesuai dengan syarat pembayaran yang ada. Tindakan pemerasan sering dikaitkan dengan pemerasan, penipuan, atau korupsi. komisi yang tidak dapat dipungut atau dipungut dianggap pungutan liar. Pemerasan sering dilakukan oleh agen atau pekerja pemerintah. Sejak dikeluarkannya Perpres 87 Tahun 2016 tentang Pasukan Bersih Sapu Satgas Retribusi Ilegal, ungkapan “pungutan liar” tiba-tiba kembali populer. Satuan Tugas Pundak Saber dibentuk di provinsi Bengkulu setelah Keputusan Presiden, bersama dengan pemerintah kabupaten atau kota. Pemerasan adalah singkatan dari pungutan liar, sebagaimana telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Pungutan liar adalah tindakan yang melibatkan pengumpulan atau pembebanan biaya di mana mereka tidak diizinkan.

Menurut etimologinya, pungutan liar—lebih dikenal dengan istilah pungli—berasal dari bahasa Tionghoa, yaitu dari kata Pung dan Li. Pemerasan didefinisikan sebagai tindakan menawarkan keuntungan dalam bahasa Cina. Pemerasan biasanya dilakukan oleh aparat pemerintah atau pejabat. Dalam hal ini, pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan kantor, yang ditandai dengan penyalahgunaan wewenang untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar uang atau menerima uang, atau melakukan tindakan yang menguntungkan pelaku. Pungutan liar terkadang juga berbentuk uang pelicin, yang sering disebut uang terima kasih, uang rokok, uang semir, atau uang kopi. Praktik uang pelicin biasanya terjadi di penyedia layanan pemerintah yang prosesnya tidak jelas, rumit, dan tanggal penyelesaiannya tidak pasti. Alih-alih dikoreksi, perilaku ini sering diterima sebagai hal yang normal dan berkembang menjadi standar industri untuk layanan yang cepat. Meskipun uang pelicin tidak secara langsung mengakibatkan kerugian negara, namun jika praktik tersebut berlangsung lama dapat merugikan moral dan pandangan karyawan.

Pada kenyataannya, ini bisa menandai awal dari korupsi birokrasi. Penyuapan terjadi ketika pelanggan secara sukarela memberikan penghargaan kepada agen layanan dalam upaya untuk memajukan tujuan mereka lebih cepat, bahkan ketika mereka bertentangan dengan kebijakan perusahaan. Pemerasan terjadi ketika penyedia layanan secara agresif meminta layanan dari klien atau meminta pembayaran dari mereka dengan gagasan untuk mempercepat pencapaian tujuan klien, meskipun hal itu bertentangan dengan protokol. Suap dan pungutan/pungutan melawan hukum berbeda dalam hal-hal sebagai berikut: Sekalipun pemeras telah memberikan uang kepada aparatur negara (pelayanan publik), ia tidak dapat dipidana; sebaliknya, ia bisa menjadi pelapor terhadap pemerasan yang terjadi padanya. Dalam konstruksi hukum suap, pemberi suap adalah pelaku utama atau pelaku yang ikut serta dalam tindak pidana korupsi/kolusi. Adanya transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak sebelum terjadinya kasus yang dapat mengakibatkan terjadinya kasus gratifikasi merupakan unsur penting dalam penuntutan suap dan pemerasan.

Namun, hal ini tidak disebutkan pada saat pemberian penghargaan. Gratifikasi sering dimaksudkan untuk menyentuh masyarakat atau petugas layanan khusus untuk memfasilitasi tujuan pengguna layanan di masa depan. Frasa ini sendiri dapat diartikan sebagai "mengolah" (atau menarik perhatian klien ke) penyedia layanan. Perbedaan antara penyuapan dan penilaian atau pemerasan yang melanggar hukum adalah bahwa, menurut definisi hukum, penyuapan melibatkan pelaku utama yang menerima suap atau pelaku yang mengambil bagian dalam tindakan korupsi atau kolusi yang melanggar hukum. Sebaliknya, karena pemeras hanya dianggap sebagai korban dalam gagasan pemerasan, bahkan jika ia telah menyumbangkan uang kepada pemerintah (untuk layanan publik), ia tidak dapat dituntut; sebaliknya, ia akan dianggap sebagai pelapor (misalnya, pelapor) dari pemerasan yang terjadi padanya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang sebelum frasa "pemerasan", kemudian menyebut perilaku melawan hukum ini dengan berbagai judul, termasuk "perbuatan melawan hukum" dan "penyalahgunaan wewenang" (Pasal 368, 418, dan 423). Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Kaskopkamtib yang kemudian menjabat Kabag Operasi Tertib (OPSTIB) secara gencar memulai Operasi Tertib (OPSTIB) pada tahun 1977 dengan tujuan utama pungli. Setelah perilaku ini, kata "pemerasan" menjadi terkenal. Mengendalikan Usil (uang siluman), yang mengacu pada mobilisasi dana yang kemudian diparkir untuk jangka waktu tertentu untuk keuangan taktis kantor, berjalan seiring dengan pengendalian pungli pada waktu itu. Uang pungli, yang pada saat itu digunakan oleh orang atau organisasi tertentu atau LSM, juga semakin populer. Bentuknya uang jaminan, uang cadangan, uang koordinasi, dll. Selain itu, nama yang berbeda seperti Air Susu Ibu (pembayaran sukarela biaya bulanan) dan susu tekan (sumbangan sukarela tanpa tekanan) juga ditemukan, yang menunjukkan bahwa pemerasan adalah kegiatan yang terorganisir dan dilembagakan. Dalam artikel Majalah Paraikatte Edisi Triwulan III Volume 26 Tahun 2016 berjudul Pembohong (Pungli) Dalam Perspektif Korupsi, dijelaskan berbagai penyebab pungli, antara lain: adanya ketidakpastian pelayanan yang diakibatkan oleh prosedur pelayanan yang berlarut-larut dan melelahkan, yang menyebabkan konsumen menyerah ketika mencoba menangani pungutan liar. pelayanan publik yang tercemar. penyalahgunaan posisi, wewenang, atau tanggung jawab seseorang. variabel ekonomi. Seseorang dipaksa melakukan pemerasan jika penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau tidak sesuai dengan tugas atau jabatan yang diembannya. Pemerasan dapat menjadi ilegal secara rutin karena unsur budaya dan budaya organisasi yang dikembangkan dan dipelihara di dalam lembaga pemerasan dan penyuapan. jumlah orang yang terbatas.

Seorang penduduk Indonesia yang selalu menunjukkan kesopanan dan keramahan. Sayangnya, banyak orang yang sering memanfaatkannya untuk melakukan berbagai pungutan pidana. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah federal atau lokal terkikis. Akibatnya, kecintaan seseorang terhadap bangsa lambat laun memudar. Keyakinan bahwa uang dapat menyelesaikan semua masalah mengikis rasa kasih sayang masyarakat. Budaya negatif yaitu budaya korupsi akan lahir sebagai akibat dari pungutan liar yang diterapkan secara konsisten, metodis, dan dalam jangka waktu yang lama. Pemerasan akan sangat sulit diberantas jika sudah menjadi budaya. Tetapi jika banyak individu mulai hidup dengan cita-cita ini setiap hari, budaya positif pasti akan muncul. Kasus pungutan liar harus segera ditindak tegas agar tidak meluas seperti kobaran api. Jangan abaikan, terutama untuk jangka waktu yang lama. Salah satu contoh pemerasan tersebut bahkan dianggap sebagai suap oleh seorang kandidat pemilu. Mereka kemudian menawarkan insentif keuangan kepada setiap orang yang memilih dia agar dia menang dan memegang posisi tertentu.

Secara alami, demokrasi yang telah dibangun dengan cermat dengan aturan yang tulus untuk menjaga kebebasan berbangsa dan bernegara akan dirugikan oleh tindakan tersebut. Tingginya jumlah pemerasan atau korupsi yang dilakukan oleh individu, terutama dalam bisnis, adalah akar dari situasi ekonomi yang buruk suatu negara. Tanpa perusahaan mampu tumbuh atau bertahan secara efektif, langkah ini akan mengurangi jumlah prospek kerja. Akibatnya, semakin banyak orang yang mencari pekerjaan, yang jelas mengurangi keamanan nasional. Jangan sampai sekelompok kecil individu yang terbiasa memberikan sumbangan haram pada korupsi merusak perekonomian bangsa ini.

Pemerasan memang diakui dan diakui secara luas oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk pelanggaran, namun sebagian masyarakat masih lalai karena masih menoleransinya. Sama halnya dengan masyarakat pada umumnya, pungli juga memiliki kecenderungan untuk menyebar dan meningkat ketika tidak ada protes dari masyarakat atau kemauan untuk melaporkannya ke polisi. Karena berbagai alasan dan keprihatinan, masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, misalnya, seringkali mengabaikan bahkan menoleransi pungli ini. Orang sering mengaku memahami pemerasan dengan dalih "kasihan" dan "tidak mau ribet". Lebih buruk lagi, beberapa orang dengan sengaja menyumbangkan uang kepada penyedia layanan sebagai bentuk imbalan untuk mempercepat dan memfasilitasi penyampaian layanan mereka. Tentu saja, ada alasan lain mengapa ini tidak dapat dibenarkan. Pemerasan tumbuh subur di layanan publik karena perilaku mereka yang "baik" dan "pemaaf," menurut sebuah penelitian.

    Meskipun KUHP tidak memberikan jaminan dalam kasus tindak pidana pungutan liar, namun masih mungkin untuk membandingkan tindak pidana tersebut dengan tindak pidana penipuan, pemerasan, dan korupsi sebagaimana dijelaskan dalam KUHP

Pasal 368 KUHP, Pasal ini berisi mengenai “Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain secara melawan hukum, yaitu memaksa orang lain dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya maupun sebagian milik orang lain atau untuk memberikan hutang serta menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara yang paling lama yaitu sembilan tahun.”

Pasal 415 KUHP, Pasal ini berisi mengenai “Pegawai negeri atau orang lain, yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat yang berharga, yang disimpannnya karena jabatannya, atau dengan sengaja membiarkan uang atau surat yang berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain atau menolong orang yang lain itu sebagai orang yang membantu dalam hal itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

Pasal 418 KUHP, Pasal ini berisi mengenai “Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang menghadiahkan atau berjanji itu ada berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.”

Asman Abnur, MenPAN-Menteri RB Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengakui pihaknya tidak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada anggota Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan pemerasan. Sesuai dengan Pasal 87 ayat (4) huruf b, yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah diberhentikan dengan tidak hormat jika mendapat hukuman penjara atau penahanan sebagai akibat putusan pengadilan yang mempunyai kedudukan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang menyangkut jabatannya atau perbuatan yang tidak berkaitan dengannya. pelanggaran umum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera membentuk satuan tugas (satgas) penghapusan pungutan liar di seluruh tanah air. Nama satgas yang diusulkan, Saber Pungli, dilontarkan Presiden. “Porsi Mandau namanya. 'Sapu bersih pungutan-pungutan liar' namanya Pungli,” kata Presiden Jokowi sempat memanggil Wiranto ke Kompleks Istana Kepresidenan di jantung kota Jakarta.

Tujuan dari pungli, menurut Wiranto, adalah untuk menghilangkan pungutan liar dari Sabang sampai Merauke. Sapu yang menghilangkan kotoran tanpa meninggalkan bekas. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun juga mengaku tidak puas dengan maraknya pungli di beberapa Samsat di Jawa Tengah sejak lama. Ganjar mencapai terobosan dalam upaya mengatur praktik dalam prosedur pengelolaan pajak mobil. Dia ingin melarang tengkulak berkeliaran di Samsat sambil tetap melegalkan pungli. “Jadi saya hanya punya satu pilihan untuk melegalkan pungli. Ya, pemerasan itu dimanfaatkan sebagai semacam biro jasa dalam sistem hukum. Karena itu, dia memenuhi syarat sebagai badan hukum untuk kepentingan perpajakan. Setelah kita menetapkan tarifnya, dibuatlah Perda.***