HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Koruptor Dibebaskan Dengan Asas Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan

Ananda dewangga Augustino Setyawan Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang  Lentera24.com - Masyarakat dihebohk...

Ananda dewangga Augustino Setyawan Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang 
Lentera24.com - Masyarakat dihebohkan berita terkait rapat bersama DPR komisi III dan Jaksa Agung pada tanggal 27 Januari 2022 yang menyinggung soal tindak pidana korupsi dibawah lima puluh juta rupiah, cukup mengembalikan ke kas negara, Asrul Sani dari PPP melontarkan pandangannya bahwa hal tersebut harus dikaji secara hati-hati, jika pengembalian uang negara tersebut yang berjumlah kecil tidak mengandung unsur mens rea (Nicolas Ryan Aditya, 2022). Penulis sendiri menilai pernyataan Asrul Sani masih perlu dibuktikan pada tingkat penyidikan dan penyelidikan secara teliti melalui Criminal Justice Process, ketika penyidik tidak dapat membuktikan mens rea pelaku, maka penyidik akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3).

Kejaksaan Agung menilai suap lima puluh juta atau kurang sudah cukup untuk mengembalikan kas negara, memberikan sanksi administratif dan pembinaan terhadap pelaku korupsi, asalkan tidak dilakukan secara terus menerus. Kejaksaan Agung berpendapat bahwa cost and benefit yang tidak proporsional, selain menerapkan prinsip-prinsip dalam sistem peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan murah, memperkuat pendiriannya sebagai Jaksa Agung (Novian Ardiansya, 2022).

Pendapat tersebut bukan tanpa alasan, pada tahun 2010 Jaksa Agung sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran Nomor : B-1113/F/Fd.1/05/2010 tertanggal 18 Mei 2010, perihal prioritas dan pencapaian dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sudah disebarkan kepada seluruh kepala kejaksaan tinggi di Indonesia, terdapat beberapa point tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian negara yang tidak besar. 

Pertama, prioritas dalam penanganan tindak pidana korupsi berfokus kepada tindak pidana korupsi yang bersifat big fish (bersekala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan negara) dan still going on (dilakukan secara terus menerus), mengacu kepada RAKER Jaksa Agung dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 5 Mei 2010 dan Arahan Presiden RI pada Pembukaan Rakor MAHKUMJAPOL di istana negara tanggal 4 Mei 2010 untuk mengedepankan keadilan dalam masyarakat, khususnya kesadaran masyarakat mengembalikan keuangan negara (Restorative Justice) terkait dengan tindak pidana korupsi bahwa kerugian negara yang relative kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindak lanjuti, kecuali yang bersifat still going on. 

Kedua, memperhatikan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-1452/F/Fd.1/08/2008 tanggal 05 Agustus 2008, perihal Pungutan Liar, pada pokoknya menjelaskan tentang dugaan adanya pungutan tidak jelas dasar hukumnya pada tempat-tempat pelayanan umum yang perlu ditangani. 

Selanjutnya Surat Jaksa Agung RI Nomor: B-0051A1Fd.1/011/2009 tanggal 22 Januari 2009, perihal Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se-Indonesia, pada pokoknya menjelaskan tentang program optimalisasi penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berorientasi secara maksimal penyelamatan kerugian negara, mengedepankan kualitas perkara yang ditangani serta penanganannya dilakukan secara profesional dan proporsional berlandaskan Trikrama Adhyaksa.

Berdasarkan hal tersebut, perlu disadari bahwa tindak tindak pidana korupsi sudah menjadi musuh bersama sebab dampak dari moral azard menimbulkan kerugian sosial secara berkepanjangan, baik pejabat pemerintah dari yang level terendah maupun yang paling tinggi dalam membuat kebijakan, tidak lain dan tidak bukan demi dan atas nama kesejahteraan rakyat, kendati demikian ketika koruptor melakukan aksi korupsinya dengan mencuri jatah rakyat maka tidak akan tercapai tujuan itu, sehingga akan melukai dan menciderai masyarakat secara eksponensial yang puncaknya merusak kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (distrust), ketika distrust muncul berpotensi adanya disobedience, ketika jaksa agung menyatakan pendapat tersebut, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat.  

Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi menjelaskan dengan tegas bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”, kemudian Pasal 3 menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”, kesimpulannya ada hilangnya penuntutan pidana jika dilakukan dibawah lima puluh juta, sedangkan secara lex certa, lex scripta dan lex stricta tertuang jelas dalam Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Intinya menghilangkan pidana dalam kasus tindak pidana korupsi sekitar lima puluh juta atau kurang dari besaran tersebut tidak bisa dibenarkan. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan bertujuan sebagai guidance bagi para Aparat Penegak Hukum (APAGUM) untuk bertindak dalam proses penegakan hukum yang harus dilakukan secara professional, tidak bertele-tele menggunakan tolak ukur yang pasti, namun tetap hati-hati dan cermat, sehingga akan terhindar dari proses yang berbelit-belit dengan mengoptimalkan sumber daya manusia dan APAGUM yang mumpuni agar tercapai tujuan dari asas cepat dan sederhana, biaya ringan mewujudkan keadilan bagi korban maupun pelaku. ***