HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Rangga Aprianto Saputra semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang  Lentera24.com -  Perilaku kekerasan adalah suatu tindaka...

Rangga Aprianto Saputra semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang 
Lentera24.comPerilaku kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang yang membahayakan diri sendiri dan orang lain baik secara fisik maupun mental. Perilaku kekerasan yang terjadi pada seseorang dapat berupa amuk dan gaduh yang tidak terkontrol. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga dalam rumah tangga, misalnya, kekerasan yang dilakukan seorang suami kepada istri yang dapat menyakiti secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, kekerasan ini juga dapat berupa ancaman perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu kekerasan yang dilakukan oleh suami juga dapat berupa penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, tidak adanya kesetiaan, dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan diri. Kasus KDRT merupakan kasus kekerasan yang paling banyak terjadi dengan menyumbang 6480 kasus atau 79%. KDRT dikategorikan kedalam ranah personal yang sejenis dengan hubungan pribadi atau pacaran. Dari jumlah 6480 kasus yang terkait dengan KDRT dan ranah personal, kekerasa terhadap istri mendominasinya yaitu dengan 3.221 atau 49,7 % kasus. 

Sedangkan kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran sebanyak 1.309 atau 20 % kasus dan kekeraan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus atau 14,7%. Kekerasan fisik dengan 31% atau 2.025 kasus menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan terbanyak, disusul oleh kekerasan seksual 30% atau 1.938 kasus, kekerasan psikis menempati urutan ketiga dengan 28% atau 1.792 kasus dan terakhir adalah kekerasan ekonomi yang mencapai 10% atau sama dengan 680 kasus. Menurut data CATAHU (Catatan Tahunan) tahun sebelumnya pada 2020 kekerasan sesksual konsisten menempati urutan kedua kekerasan terhadap perempuan. Adanya KDRT pasti memiliki beberapa faktor yang sangat kompleks, faktor tersebut terbagi menjadi beberapa bagian antara lain ; (1); Keadaan rumah tangga yang telah mencapai titik yang rentan sehingga kondusif untuk terjadinya KDRT, seperti ; suami istri yang bertengkar terusmenerus, perselingkuhan, sudah tidak adanya kepercayaan antara keduanya, dan salah satu pasangan merasa tidak aman. (2);Kondisi korban yang dapat memancing timbulnya KDRT, seperti ; istri yang tidak pengertian kepada suaminya, istri yang sengaja berperilaku tidak menyenangkan sehingga suaminya marah, suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. (3);Karakter pribadi pelaku KDRT yang memiliki moral yang rendah, seperti ; penjudi, narkoba, frustrasi, kelainan jiwa dan pemabuk. (4); Faktor luar yang juga mendukung dapat terjadinya KDRT, seperti ; budaya patriaki yang didukung strutur sosial di masyarakat, kebiajakn pemerintah.

Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, di mana laki-laki secara kultural telah dipersilakan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system sosial tadi yang kemudian melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan perempuan.

Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki – perempuan (relasi gender) di Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan, antara lain:
1. laki-laki secara fisik lebih kuat daripada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih menggunakan fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.
2. dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok, dan media pada umumnya.
3. realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa dia bergantung.
4. pada tingkat individual, factor psikologis berinteraksi dengan hal-hal yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan kekerasan tersaebut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi sasaran kekerasan.
5. pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan pengendalian terhadap satu sama lain.

Maka  ketika relasi kuasa tidak seimbang, kekerasan dan ketidakadilan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul. Tetapi dalam kasus tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik, dan laki-lakilah yang menjadi korban.
Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat. Contoh bentuk-bentuk kekerasan;
1. Kekerasan Fisik
Tanda kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik seperti  "main tangan" (melempar benda keras, menampar, memukul, menendang, bahkan hingga menyulut api ke tubuh).
2.  Kekerasan Psikis
Selain kekerasan fisik, KDRT juga dapat ditandai dengan penyerangan pada psikis korban. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri atau kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Selain cacian dan makian, tanda kekerasan dalam rumah tangga yang menyerang psikis juga bisa berupa pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial. Contoh dari bentuk kekerasan ini, yaitu pasangan pencemburu yang melarang pasangannya untuk bergaul dengan siapa pun selain dirinya.
3.  Kekerasan Seksual
Bentuk kekerasan dalam rumah tangga selanjutnya adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual umumnya adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual. Perlu diketahui, pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki juga termasuk dalam kekerasan seksual.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9). Bentuk kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan penelantaran rumah tangga berhubungan dengan memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan. Pelaku biasanya tidak memberikan nafkah, membatasi finansial korban dengan tidak wajar, atau bahkan menguasai penghasilan pasangan sepenuhnya. Meski yang mengalami KDRT umumnya adalah wanita, nyatanya banyak juga pria yang terkena KDRT. Misalnya, istri yang saat marah melempari suami dengan benda tertentu, atau istri yang sering memarahi suami sehingga menimbulkan ketakutan.***