HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Keadilan Yang Tidak Berpihak (Kekerasan Kaum Perempuan Disabilitas)

Titan Hikal Aora Ale Pratama Mahasiswa Semester 1 Faklutas: Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Kekerasan dalam masyaraka...

Titan Hikal Aora Ale Pratama Mahasiswa Semester 1 Faklutas: Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, seperti yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP) dan seterusnya. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang dipakai masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.

Akhir-akhir ini, kekerasan terhadap perempuan menjadi isu hangat yang dibicarakan banyak orang. Banyak kasus-kasus yang tidak terungkap bahkan terkubur dalam-dalam dan menjadi rahasia individual. Padahal, masalah kekerasan terhadap perempuan bukan masalah individual melainkan permasalahan global. Keprihatinan terhadap korban kekerasan semakin meningkat karena banyaknya kasus yang tidak diselesaikan dengan tuntas. Sedangkan di sisi lain, korban mengalami trauma yang berkepanjangan.

Jika ditinjau kembali, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan memiliki dinamika dan bentuk seperti gunung es. Permasalahan yang muncul kepermukaan public hanyalah bagian kecil bila dibandingkan dengan yang terkubur didalamnya. Hal ini terjadi karena hal yang demikian dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak memiliki urgensi yang tinggi. Selain itu, tantangan dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan tidak terjangkau oleh hukum.

Isu fundamental yang saat ini sedang gencar-gencarnya dibahas mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) yaitu kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut telah menjadi salah satu modus operasi kejahatan. Latar belakang terjadinya kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh anggapan bahwa tidak sejajarnya kedudukan perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan telah ditempatkan pada posisi marginalisasi. Perempuan selalu didiskreditkan terhadap berbagai bentuk ancaman dan dijadikan sebagai sasaran kejahatan. Padahal secara ideal, perempuan mempunyai hak untuk setara dengan laki-laki, baik secara kultural, politik, kesehatan, ekonomi, pendidikan, maupun religiositas

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penyandang disabilitas yang cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa potensi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak kaum disabilitas akan banyak terjadi. Selain itu, stigma negatif terhadap disabilitas sudah beredar luas dalam pergaulan masyarakat. Disabilitas dianggap kaum rentan yang sering kali menjadi korban tindak pidana seperti perlakuan diskriminatif hingga pelecehan seksual bahkan perkosaan. Hal tersebut tidak hanya berhenti dalam ranah pergaulan sosial saja, namun juga dalam penanganan hukum yang tidak sesuai dengan prinsip equality before the law.

Perlakuan-perlakuan diskriminatif yang diterima oleh penyandang disabilitas terutama perempuan terlihat dalam berbagai ruang- ruang publik seperti fasilitas umum yang tidak representatif, pendidikan, kesehatan, dan juga lapangan pekerjaan yang tidak berpihak pada perempuan disabilitas, kondisi inilah yang menyebabkan perempuan penyandang disabilitas selalu dipandang sebagai warga kelas dua. Disabilitas bukanlah kehendak atau keinginan setiap orang. Menurut saya, disabilitas bukan berarti kekurangan yang berkumpul disatu titik, melainkan tentang keterbatasan yang menjadikannya lebih dibandingkan yang lainnya.

Menurut sumber yang saya baca, di Indonesia sendiri memiliki penyandang disabilitas diperkirakan mencapai dari 36 juta jiwa atau sekitar 15% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan menurut sumber lain, sebanyak 80% penyandang disabilitas tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mengalami kerentanan, keterbelakangan dan hidup di bawah garis kemiskinan sehingga termarjinalisasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya serta cenderung tidak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, politik, ketenagakerjaan dan informasi. Hal ini menurut saya sudah melenceng dari ranah hukum yang katanya tidak akan membeda-bedakan hak rakyat. Banyak sekali kekerasan yang menimpa kaum perempuan, terlebih lagi bagi perempuan penyandang disabilitas. Menurut teori kecacatan feminis, pada dasarnya perempuan difabel berpotensi memiliki beban ganda (double burden) yang disebabkan oleh kondisi disabilitas serta diskriminasi karena seorang perempuan.

Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas menemui fakta bahwa banyak sekali hambatan yang dialami oleh korban baik itu intimidasi dari masyarakat lingkungan sekitar, tidak adanya dukungan keluarga dan proses pelaporan yang berbelit-belit juga berangsur lama. Di samping itu, prosedur hukumpun masih menjadi hambatan. Proses hukum yang berlangsung (pelaporan, pemeriksaan maupun persidangan) tidak jarang justru memposisikan korban tidak diakui setara dihadapan hukum. Banyak sekali kasus yang justru kelemahkan kesaksian perempuan penyandang disabilitas. Seorang saksi dari kaum difabel tidak dapat diterima kesaksiannya karena dinilai tidak dapat membuktikan kesaksiannya, selain dinilai tidak memenuhi unsur sebagai seorang saksi, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 26 KUHP:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Dalam hal ini banyak para penegak hukum yang memberikan penafsiran saksi menjadi multi tafsir, sehingga mempersulit penanganan kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas. 

Berbagai konvensi atas hak difabel sudah diratifikasi pemerintah Indonesia seperti yang termaktub dalam UUD 1945 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak Sipil, dan Politik yakni Hak atas persamaan di hadapan hukum dan hak atas perlakuan yang tidak diskriminatif. Peraturan tersebut secara lebih rinci telah dijabarkan dalam Convention on The Right of Persons With Disabilities (CRPD) yang telah diratifikasikan Indonesia menjadi:
a. Hak atas Persamaan di Hadapan Hukum;
b. Hak Atas Perlakuan tidak diskriminatif atas dasar disabilitas;
c. Hak difabel untuk menikmati kapasitas legal atas dasar kesetaraan; dan
d. Hak akses terhadap dukungan yang dibutuhkan oleh difabel.

Dilihat melalui kacamata hukum, panyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain sesuai dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dimana difabel seharusnya memiliki akses yang setara dalam kehidupan sosial dan politik, pendidikan, kesejahteraan sosial, perawatan medis, pekerjaan, serta akses ke fasilitas-fasilitas termasuk layanan-layanan umum (Gutama, 2016: 44). Namun, UU No. 4 Tahun 1997 ini dicabut dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma terhadap Penyandang Disabilitas di mana pemerintah berupaya untuk menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Penyelesaian terhadap kasus kekerasan yang menimpa perempuan penyandang disabilitas banyak diselesaikan dengan upaya pendampingan (psikososial, psikologis) maupun pendampingan konseling terhadap para korban. Tidak sedikit pula penyelesaian kasus ini diselesaikan melalui jalur non-litigasi yang ditekankan pada musyawarah, mediasi dan tidak sampai pada proses hukum (pengadilan). Hanya sedikit saja kasus yang sampai pada proses pengadilan. Latar belakang dari berbagai pihak yang tidak paham terhadap hukum dan hak-hak difabel selalu mengarahkan kasus kekerasan (seksual) terhadap disabilitas kearah non-litigasi. Hal ini sungguh disayangkan karena tidak dapat menyelesaikan dan memberikan efek jera terhadap para pelaku.

Tidak dapat dipungkiri, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terus menerus terjadi. Padahal, melalui UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) secara eksplisit dijelaskan bahwa adanya kewajiban bagi negara dan masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pemahaman terhadap hak-hak difabel setidaknya penting untuk menuntun para penegak hukum untuk menjamin aksesibilitas atas keadilan dan peradilan yang tidak diskriminatif. ***