HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pandangan Liberalisme Terkait Motivasi Invasi Irak 2003 oleh Amerika Serikat

Avrilia Permata Sari, Semester 1, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia Lentera24.com - Brutalnya invasi di Irak yang...

Avrilia Permata Sari, Semester 1, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia

Lentera24.com - Brutalnya invasi di Irak yang dilakukan Amerika Serikat sempat menggegerkan jagat raya. Adanya perang yang kita ketahui hanya akan mengakibatkan banyaknya nyawa melayang.

Berlangsungnya invasi Irak ini ternyata tanpa mendapat persetujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akan tetapi AS justru dibantu oleh sekutunya. AS semakin bersikeras menginvasi Irak tanpa peduli mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekalipun dengan beralaskan invasi tersebut karena Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dianggap dapat meneror sejagat.

Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang melawan bahaya yang meningkat dari teroris dan negara berisiko yang berusaha menggunakan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir, radiologis, kimia, biologi, atau senjata lain yang mematikan.

"Kami bekerja setiap hari untuk menghalangi teroris dan negara rawan lainnya yang menggunakan senjata ini untuk melukai orang-orang Amerika," kata Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat.

Ego Amerika Serikat berupaya menyapu bersih teroris dan melenyapkan persenjataan mereka untuk kepentingan. Hasilnya tak ayal banyak mayoritas rakyat Irak yang berjatuhan akibat ego Amerika Serikat tersebut.

Ambisi Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia dan negara adikuasa tidak ingin kepentingannya diganggu gugat. Oleh karena itu, hal yang berpotensi menimbulkan gangguan akan di habisi oleh Amerika Serikat, negara adidaya itu tidak terlepas dari persepsi ancaman dan keamanan nasionalnya.

Menurut Wolfera dalam Art dan Jervis, power of states dapat membantu mengurangi suatu ancaman atau ketakutan yang mengancam negara.

Upaya untuk mengurangi ancaman hingga tak tersisa yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah mempertahankan keamanan negaranya melalui strategi keamanan nasionalnya.

Ternyata ada alasan dan sebab dibalik invasi mengerikan ini di Irak, penyebabnya tak lain karena daya kepemilikan Irak yang menjadi 1 dari beberapa ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat di kawasan Teluk, 2 dari ancaman Irak yang anti-barat, 3 dari ancaman Irak yang anti zionis.

Terbukti dari sederet ancaman yang mengganggu Amerika Serikat, terdapat motivasi untuk menginvasi Irak dibaliknya. Lalu bagaimana pandangan liberalisme melihat motivasi Amerika Serikat atas invasi yang mengobrak-abrik Irak.

Pada dasarnya Amerika Serikat yang dicap negara superpower tetap memprioritaskan perundingan dan kesepakatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun, AS merasa mendapat banyak ancaman dari Irak membuat Amerika Serikat gegabah dan hilang kendali.

Terjadilah invasi yang dilihat liberalisme sebagai dukungan untuk perlindungan keamanan negara Amerika Serikat.

Invasi ini disebut-sebut memiliki tiga alasan yaitu untuk membebaskan rakyat Irak dari pemerintahan diktator presiden Irak, memusnahkan senjata pemusnah massal atau senjata rahasia Irak, dan memerangi ancaman-ancaman yang dimiliki Irak untuk kepentingan stabilitas keamanan Amerika Serikat dan dunia.

Invasi ini merupakan bagian dari kebijakan kepresidenan Amerika Serikat ke-43, George W. Bush. Kebijakan ini dikatakan menjadi prioritas utama Amerika Serikat untuk melancarkan agenda lainnya yang sengaja disembunyikan.

Presiden Bush dikenal pada konflik ini karena tindakannya yang paling kontroversial yakni berkeyakinan kuat dan tak goyah bahwa Presiden Irak Saddam Hussein merupakan 1 dari beberapa ancaman besar bagi Amerika Serikat.

Terdapat pula pernyataan bahwa Presiden Bush ingin menggulingkan presiden Irak karena berbagai hal yaitu kerja sama mereka diusik oleh sikap anti-barat Saddam Hussein, sikap anti zionis, dan terakhir Saddam Hussein sendiri.

Potret Saddam Hussein saat sedang berperang.
Penggulingan Presiden Irak ini juga direncanakan tanpa persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa saat Amerika Serikat putus asa mengenai kerja sama mereka.

Jalan diplomasi mengalami kegagalan hingga pada 17 Maret 2003, cara diplomatik Amerika Serikat kepada Irak beralih menjadi mengultimatum Presiden Irak dan keluarganya untuk keluar dari Irak dalam 2 hari, jika sampai tidak dipenuhi maka Amerika Serikat berakhir akan menginvasi Irak dan benar saja hal ultimatum itu ditolak oleh Saddam Hussein yang bersikeras tidak ingin meninggalkan negaranya.

Dengan itu, Saddam Hussein mulai mengkoordinasi para pasukannya dan berjanji untuk melangsungkan perang pada Amerika Serikat dan sekutunya. Amerika Serikat pun menyetujuinya.

Tentara Irak dengan potret Saddam Hussein di atas truk militer, kembali dari medan perang Ahwaz, dalam perjalanan menuju Basra. | Lokasi: Ahwaz, Irak.
Perserikatan Bangsa-bangsa telah memiliki kelompok inspeksi sendiri untuk menginvestigasi dan mendalami siapa dibalik pemilik senjata pemusnah massal ini.

Hasil yang diperoleh, Irak tidak memilikinya dan Amerika Serikat saat itu dicurigai, karena merasa malu dan berusaha menutupi rencananya yang telah kacau, Amerika Serikat memberikan alasan baru akan membebaskan dan memerdekakan rakyat Irak dari pemerintahan presidennya.

Tak lama kemudian masalah ini tetap berlanjut dan menjadi kontroversi karena putusan Amerika Serikat menginvasi Irak melompati persetujuan dari organisasi internasional antar pemerintah tersebut. Pemikir liberal menganalisis invasi ini dilancarkan karena tidak ada pilihan lain.

Pada tanggal 20 Maret 2003, invasi dimulai dari peluncuran senjata-senjata canggih Amerika Serikat dan sekutu sementara persenjataan pasukan Irak tidak secanggih mereka.

Dikarenakannya Irak mulai melemah dan tidak berdaya, hingga jatuh ke tangan lawan pada 9 April 2003.

Perlawanan tidak seimbang tersebut ditandai oleh hancurnya patung Saddam Hussein yang berada di Taman Firdaus.

Peristiwa penumbangan patung itu ternyata disaksikan banyak rakyat Irak yang bersorak senang atas berakhirnya pemerintahan Saddam Hussein.

Sejak itu, Irak memasuki lembar baru. Di bawah pasukan Amerika Serikat, Irak lahir kembali menjadi negara yang menakutkan, negara tanpa perantara hukum. Sehingga, tindakan kejahatan yang berhamburan meresahkan rakyat Irak.

Dari penjelasan diatas, Amerika Serikat sangat piawai dalam berperan sebagai pahlawan untuk rakyat Irak, pandangan liberalisme menganalisis bahwa apa yang dilakukan Amerika Serikat ialah baik untuk membantu dan memberi perlindungan kepada rakyat Irak.

Dan motivasi dibalik invasi ini tak lain karena bertaut dengan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah bahwa memerangi Irak untuk mengawal Israel, melawan terorisme, dan membantu Irak membentuk pemerintahan yang demokratis.

Motivasi lain, kepentingan minyak Amerika Serikat yang mempunyai cadangan minyak yang sangat kecil dan Irak mempunyai cadangan minyak terbesar kedua, hal tersebut memotivasi Amerika Serikat tersebut sampai menginvasi Irak.

Terakhir, ambisi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa membuat negara tersebut tidak suka diusik sekalipun dari hal-hal kecil yang mengganggu dan menghalangi setiap kepentingannya termasuk Irak.

Kebrutalan dan berbagai ledakan yang mengguncang Irak dari pemikir liberalisme merupakan sisi dari suatu realitas yang terjadi.

Kebencian presiden Amerika Serikat ialah salah satu keniscayaan dari sifat manusia yang cenderung berkonflik.

Irak di bawah pemerintahan sosok yang keras pun merupakan sisi lain dari sifat manusia sebagai perlawanan.

Kita dihadapi kenyataan bahwa dibalik invasi ini sebagian besar disebabkan oleh persepsi kepentingan dan prioritas masing-masing negara. Dengan dua asumsi yang kita ketahui, manusia itu baik dan suatu negara pasti membutuhkan negara lain.

Sesuatu yang dimiliki Irak membuat negara lain ingin memilikinya terlepas berbagai ancaman. Dan yang tidak terlupakan ialah Amerika Serikat telah berhasil menjaga kepentingannya dan memperoleh manfaat maksimal dari menginvasi Irak. ***