HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Konsekuensi Penetapan Status Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Menurut Hukum Pidana

Muhammad Sutrisno Mahasiswa semester 1 Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Prodi Ekonomi Syariah STAIN Bengkalis Lentera24.com - Pada Tangga...

Muhammad Sutrisno Mahasiswa semester 1 Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Prodi Ekonomi Syariah STAIN Bengkalis

Lentera24.com - Pada Tanggal 27 April 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud MD. dalam Siaran Pers No.72/ SP/ HM.01.02/ POLHUKAM/ 4/ 2021 menegaskan, bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan massif dikategorikan sebagai teroris (KemenkoPolhukam, 2021). Alasan ditetapkannya organisasi dan orang-orang di Papua yang awalnya sering disebut oleh pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)/Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) sebagai teroris karena dianggap telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana teroris sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Sebelum diberikan label sebagai teroris, aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang di Papua mendapatkan sebutan yang berbeda, tergantung siapa yang membuat pernyataan, pihak Kepolisian menyebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagaimana kejahatan mereka dianggap sebagai kriminal, sedangkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggunakan istilah Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), sebutan kata separatis yang berarti keinginan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia sehingga menjadi salah satu tanggung jawab TNI (Edon & Hidayat, 2021).

Asal mula KKB/ KSB melakukan aksinya di Papua tidak lepas dari sejarah bergabungnya Papua ke dalam bagian dari Republik Indonesia. Keberadaan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia sama panjangnya dengan perjuangan Indonesia memperoleh kemerdekaan. Pada Sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 10 dan 11 Juli 1945, status kepastian Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia menjadi perdebatan yang panjang. Soekarno dan Moh. Yamin berpendapat bahwa Papua harus menjadi bagian dari Republik Indonesia karena dari segi sejarash Papua merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Pendapat tersebut ditolak oleh Moh. Hatta, menurut pandangan Etnografis, bangsa Papua itu Melanesia, bukan Polinesia yang mendiami sebagaian besar wilayah Indonesia, sehingga keputusan Papua menjadi bagian wilayah Republik Indonesia atau tidak sebaiknya diserahkan kepada penduduk Papua sendiri (Mukhtadi, 2021).

Papua menjadi wilayah yang masih diincar oleh Belanda, bahkan pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia, akan tetapi tidak untuk wilayah Papua. Belanda bahkan mempersiapkan kebebasan bagi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri dengan mendorong persiapan-persiapan alat dan simbol kelengkapan Negara baru yang disebut Papua Barat. Pada tanggal 1 Desember 1961, Bintang Kejora sebagai bendera nasional Papua Barat dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua dinyanyikan dihadapan mahkota kerajaan Belanda (Mukhtadi, 2021). Upaya tersebut direspon oleh Republik Indonesia dengan operasi pembebasan Irian Barat yang berakhir dengan Perjanjian New York.

Kecemburuan sosial, pembangunan yang terabaikan, eksploitasi sumber kekayaan alam secara besar-besaran yang hasilnya tidak dinikmati sendiri oleh wilayah tersebut didukung dengan adannya dominasi dari pendatang dan menganggap penduduk asli sebagai penduduk kelas dua, menjadikan OPM semakin mendapat dukungan dan simpati dari yang semula menolaknya (Sefriani, 2003). Penduduk asli Papua berasumsi bahwa pemerintah Indonesia berbalik badan dalam pembangunan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi rakyat Papua. Ketidakmampuan Negara dalam penyeimbangan kebijakan politik terhadap kepentingan masyarakat Papua membentuk OPM sebagai suatu usaha untuk menuntut kesetaraan, kemerdekaan, hak asasi manusia di wilayah Papua (Mardiani et al., 2021). OPM menganggap bahwa mereka melakukan perjuangan, namun bagi pemerintah tindakan mereka diklasifikasikan merupakan gerakan separatis karena ingin memisahkan diri dari Indonesia dengan melakukan tindak pidana dan pemerintah memberikan label kepada kelompok tersebut sebagai KKB/ KSB.

Berbagai pendekatan dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi selama bertahun-tahun di Papua. Diantara cara-cara atau pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan cara pemekaran wilayah berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Irian Jaya menjadi Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat. Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diubah dua kali menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provonsi Papua Menjadi Undang-Undang dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Akan tetapi, pendekatan tersebut juga diiringi dengan berbagai macam operasi militer yang dilakukan untuk menumpas gerakan separatis OPM yang kemudian dikenal dengan KKB/ KSB yang tidak membuat keadaan lebih baik, justru kekerasan dan upaya untuk keluar dari Republik Indonesia semakin kuat.

Berbagai penyerangan yang dilakukan oleh KKB/ KSB terhadap aparat penegak hukum yang bertugas di Papua memaksa pemerintah untuk secara tegas menetapkan aksi tindakan maupun kelompok yang melakukan kekerasan di Papua sebagai tindak pidana teroris, dengan demikian sejarah panjang tentang gerakan separatis di Papua oleh OPM berubah status tidak lagi menjadi makar akan tetapi berubah menjadi terorisme.

Sejarah pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana teroris diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 pada saat setelah terjadi Bom Bali 1 tanggal 12 Oktober 2002. Ketentuan tersebut digunakan untuk menjerat para pelaku dimana ketentuan dalam KUHPidana tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku teroris dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang, dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pemberantasan Terorisme).

Menurut Pasal 1 butir butir 2 UU Pemberantasan Terorisme, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/ atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas public, atau fasilitas internasional dengan motif idiologi, politik atau gangguan keamanan”.

Perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dilihat langsung di dalam bunyi Pasal 1 butir 3 dan butir 4 yang berbunyi, “Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya”.

Ancaman kekerasan diterjemahkan sebagai, “setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol atau gerakan tubuh, baik denagn maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat”. Unsur ini tidak memerlukan penafsiran yang luas karena secara autentik telah diberikan pengertiannya dalam undang-undang.

Seluruh unsur telah diuraikan tinggal satu unsur terakhir yang sangat menentukan dari perbuatan terorisme, yaitu motif perbuatan secara limitative diatur untuk tiga hal, yaitu: motif idiologi, politik atau gangguan keamanan. Bahwa segala bentuk tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan terhadap objek vital strategis tersebut harus dilakukan berdasarkan motif idiologi, politik atau gangguan keamanan. Ketiga motif ini yang kemudian membuat menjadi rancu dengan tindak pidana politik, terlebih di dalam Pasal 5 UU Pemberantasan Terorisme disebutkan, “Tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Jika dikaitkan dengan sejarah KKB/ KSB/ OPM, organisasi tersebut sudah dinyatakan sebagai gerakan separatis sejak lama. Bahkan sebutan KSB merujuk pada kedudukan kelompok tersebut sebagai Kelompok Separatis Bersenjata. Separatisme merupakan gerakan ingin memisahkan diri dari negara tertentu. Gerakan separatis ini tidak selalu menggunakan kekerasan sebagai senjata namun tidak sedikit dari gerakan tersebut melakukan tindak pidana secara kejam. Sejenis gerakan separatis yang berhasil di Indonesia adalah kasus Timor Timur karena dapat mewujdukan the rights for self-determination (hak menentukan nasib sendiri).

Gerakan separatisme atau pemberontakan yang menuntut pemisahan dari wilayah Indonesia dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan Negara. Di dalam penelitiannya, Koes Dirgantara menyatakan, bahwa OPM adalah pelaku Pemberontakan (Mulia et al., 2020) sebagaimana diancam di dalam Pasal 108 KUHPidana yang berbunyi,
“(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun: 1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata; 2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata”.

Penetapan status teroris terhadap KKB/ KSP/ OPM dalam konflik bersenjata di Papua tentu tidak semata-mata beralih status saja, akan tetapi penetapan tersebut tentunya membawa konsekuensi jika ditinjau dari hukum pidana Indonesia, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Berdasarkan praktik yang dilakukan sejauh ini, tindakan criminal yang dilakukan oleh KKB/ KSP/ OPM mendapatkan respon baik preventif maupun represif dari pemerintah Indonesia. Beberapa upaya untuk mengatasi konflik di Papua telah dilakukan oleh pemerintah khususnya dengan model pendekatan pembangunan dengan terus meningkatkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat yang didukung dengan pembangunan pada seluruh aspek kehidupan. ***