HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Islam Dan Pembangunan Ekonomi Umat

Oleh  Ivahni,  Jurusan Syari'ah dan Ekonomi Islam  STAIN Bengkalis Lentera24.com - Islam memiliki sistem ekonomi yang mengungguli siste...

Oleh Ivahni, Jurusan Syari'ah dan Ekonomi Islam STAIN Bengkalis

Lentera24.com - Islam memiliki sistem ekonomi yang mengungguli sistem ekonomi lainnya yang hanya merupakan “buah tangan” manusia. Sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang berlandaskan ajaran Ilahi, yang kesesuaiannya dengan umat dapat dipastikan. Hanya ekonomi Islamlah yang dapat membantu masyarakat mencapai kesejahteraannya. Kesalahan sistem ekonomi Indonesia, yakni ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada sistem ekonomi kapitalis yang justru lebih memihak individu manusia, sehingga berdampak timbulnya rasa egoisme yang tinggi dari individu manusia itu sendiri tanpa memperhatikan mayoritas rakyat Indonesia yang kurang mampu.[1]


Kita sadar bahwa mayoritas umat Islam adalah rendah dalam bidang ekonomi. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat ekonomi umat Islam. Yang paling menonjol adalah kesalahan mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Kesalahan ini terutama sekali disebabkan oleh kesalahan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam. Ajaran dalam praktik, yang biasanya, diyakini oleh mayoritas umat Islam, terlebih lagi mereka yang taat beragama, tidak menyentuh tuntunan kemajuan ekonomi di dunia. Secara ideal, yakni sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, menghadapi masa krisis global saat ini, sebenarnya Islam mempunyai sistem ekonomi sendiri yakni ekonomi Islam yang ditandai dengan pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah dan lainnya.[2] Jadi pada prinsipnya Islam mengajak untuk kemajuan, berprestasi, berkompetisi sehat dan yang pada intinya adalah harus mampu memberi rahmat untuk alam semesta. Serta melepaskan umat dari dunia yang gelap dan sesat menuju dunia terang.


Islam mengajarkan umatnya untuk mengejar kesejahteraan di dunia dan akhirat. Kesejahtraan akhirat saya kira kita sudah jelas. Sedangkan kesejahteraan dunia adalah tidak bisa lepas dari terwujudnya kualitas hidup yang meliputi kesejahtraan harta. Dalam memperoleh harta harus dengan cara yang baik tidak boleh merugikan orang lain dan tidak boleh membuat kerusakan (harus menjaga lingkungan). Selain itu, harta yang diperoleh tersebut hanyalah berupa titipan yang di beri Allah kepada kita. Jadi dalam harta yang kita miliki, sebenarnya ada hak milik orang lain kita sebagai pemegang amanah dari harta tersebut. Maka, kita harus mengeluarkan hak orang lain tersebut dengan cara mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah. Aplikasi dari pengeluaran zakat tersebut dapat digunakan bagi yang membutuhkan dan memberdayakan ekonomi terutama umat Islam.


Di sini jelaslah bahwa semangat atau ruh ajaran Islam untuk kehidupan di dunia adalah untuk menjadi umat yang maju, termasuk maju bidang ekonomi, dan mencakup bidang yang lain yang mendorong ke arah kemajuan ekonomi dan intinya terwujud kesejahteraan umat. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, itulah sebenarnya yang harus dilakukan umat Islam. Tetapi bagaimana kenyataannya umat Islam saat ini ? Kita sering menyaksikan kekurangan, keterbelakangan, kemiskinan dan lainnya. Ini berarti bukan saja tidak mampu untuk hidup wajar di dunia serba bergolak dan penuh dengan tuntutan kompetisi, namun lebih lagi untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Kesenjangan antara realita umat Islam dengan ajaran idealnya merupakan masalah terbesar yang harus diselesaikan terlebih dulu oleh umat Islam.[3]


Beberapa istilah, seperti qana‟ah (menerima apa yang telah diberikan), sabar, tawakkal (sikap pasrah), taqdir/qadha‟, zuhud dan sejenisnya terjadi banyak salah paham dalam memberi makna dan telah terjadi salah pengamalan yang menghasilkan praktek negatif dalam gerak laju perkembangan ekonomi umat. Istilah-istilah ini dalam praktek sehari-hari umat Islam sering dijadikan landasan hidup, seolah memberi justifikasi terhadap apa yang dilakukan. Namun, sayangnya berkonotasi negatif, lamban, terbelakang, kemalasan, dan semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangannya.


Untuk itu, umat Islam sendiri yang harus memperbaiki dirinya, di awali dari masing-masing individu umat Islam. Tanpa keseriusan dan kesungguhan untuk berubah saya kira sulit untuk dapat berubah. Dan mari kita intropeksi diri apakah udah siap untuk mengubah tantangan dijadikan kekuatan untuk berkiprah, mengubah kelemahan selama ini menjadi kekuatan yang dahsyat, yakni kekuatan agama, untuk mengarungi krisis global. Pada saat inilah kesempatan emas untuk mempraktekkan sistem syariah di muka bumi, termasuk ekonomi Islam. Kita lihat runtuhnya sistem kapitalis yang diterapkan oleh Amerika yang hanya mementingkan materialistis dan individualis. Andai saja Indonesia menerapkan sistem ekonomi Islam dalam kegiatan finansialnya maka negara kita tidak akan terimbas dengan krisis global yang terjadi di Amerika. Sudah barang tentu sistem syari‟ah ini bukan hanya untuk orang Islam, namun juga untuk siapa saja yang mau menggunakannya.[4]


B. Pembahasan

1. Problematika Ekonomi

Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam memandang apa problematika ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, problematika ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Dari pandangan tersebut di atas maka sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problematika ekonomi akan muncul karena adanya kelangkaan barang dan jasa.


Pada sistem ekonomi Kapitalis, pemecahan problematika ekonomi dititikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah barang dan jasa. Inilah dasar mengapa sistem ekonomi Kapitalis menitikberatkan pada peningkatkan produksi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini nampak berbagai kebijakan yang sangat berpihak pada para konglomerat dan “mengorbankan” rakyat kecil. Hal ini kerena pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.


Bahkan, karena sangat mengagungkan pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betulbetul mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor moneter). Dalam kenyataannya, di dalam sistem ekonomi kapitalis pertumbuhannya lebih dari 85 % di topang oleh sektor non-riil dan sisanya sektor riil. Akibatnya adalah ketika sektor non-ril ini ambruk, maka ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk.[5] Inilah fenomena yang menimpa negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis saat krisis ekonomi melanda dunia beberapa dekade terakhir.


Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problematika ekonomi terjadi jika tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan manusia ada yang merupakan kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) dan ada kebutuhan yang sifatnya pelengkap (al hajat al kamaliyat) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang makan makanan tertentu maka pada saat itu sebenarnya kebutuhannya telah terpenuhi


dan dia tidak menuntut untuk makan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu meskipun hanya beberapa potong saja, maka sebenarnya kebutuhan dia akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal meskipun hanya dengan jalan menyewa maka sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Dan jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.


Adapun kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) maka memang pada kenyataannya selalu berkembang terus bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun perlu ditekankan disini bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat sebab ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.[6]


Karenanya permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu barang dan jasa yang ada, kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan meskipun di negara-negara kaya orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak.


Atas dasar inilah maka persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dan untuk mengatasinya maka sistem ekonomi Islam menerapkan berbagai kebijakan politik ekonomi yang dapat mengatasi persoalan ekonomi, yakni bagaimana mekanisme distribusi kekayaan agar kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi? Oleh karena itu pada pembahasan ini, ingin menekankan pembahasan pada bagaimana pendistribusian kekayaan.


2. Distribusi Kekayaan Dan Solusinya

Adapun perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut sistem ekonomi sosialis, distribusi kekayaan di tengah masyarakat dilakukan oleh negara secara mutlak. Negara akan membagikan harta kekayaan kepada individu rakyat dengan sama rata, tanpa memperhatikan lagi kedudukan dan status sosial mereka. Akibatnya adalah meskipun seluruh anggota masyarakat memperoleh harta yang sama, namun penghargaan yang adil terhadap jerih payah setiap orang menjadi tidak ada. Sebab berapapun usaha dan produktivitas yang mereka hasilkan, tetap saja mereka memperoleh pembagian harta (distribusi) yang sama dengan orang lain, meskipun orang tersebut memberikan jerih payah yang kecil atau bahkan sama sekali tidak bekerja. Karena itulah sistem ekonomi sosialis menolak mekanisme pasar (harga) dalam distribusi kekayaan.[7]


Berbeda juga dengan sistem ekonomi kapitalis yang lebih mengandalkan pada mekanisme pasar (harga) dan menolak sejauh mungkin peranan negara secara langsung dalam mendistribusikan harta di tengah masyarakat. Menurut mereka mekanisme harga (pasar) dengan invisible hands-nya akan secara otomatis membuat distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Karena itulah maka sistem ekonomi kapitalis akan mengabaikan setiap orang yang tidak mampu mengikuti mekanisme pasar dengan baik. Seolah-olah menurut mereka hanya orang-orang yang mampu mengikuti makanisme pasar artinya mampu mengikuti persaingan pasarlah yang layak hidup. Sedangkan orang-orang lemah, jompo, cacat tidaklah layak untuk hidup, sebab hanya menjadi beban masyarakat.


Sedangkan sistem ekonomi Islam, dalam hal distribusi kekayaan di tengah masyarakat, selain mengandalkan mekanisme ekonomi yang wajar juga mengandalkan mekanisme non ekonomi. Dalam persoalan distribusi kekayaan yang timpang di tengah masyarakat, Islam melalui sistem ekonomi Islam telah menetapkan berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi.


Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu (1) apa yang disebut mekanisme ekonomi dan (2) mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi adalah mekanisme utama yang ditempuh oleh Sistem Ekonomi Islam untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankan dengan jalan membuat berbagai ketentuan yang menyangkut kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan yang menyangkut berbagai kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung normal. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan, atau pun kondisikondisi khusus seperti karena bencana alam, kerusuhan dan lain sebagainya, maka Islam memiliki sejumlah mekanisme non-ekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan.


Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sistem Ekonomi Islam sangat berbeda dengan Sistem Ekonomi Kapitalis yang untuk terjadinya distribusi kekayaan mengandalkan (hanya) kepada mekanisme (harga) pasar. Mereka percaya bahwa dengan menggenjot produksi, tangan tak kelihatan (the invisible-hand) dalam mekanisme pasar akan mengatur distribusi kekayaan secara rasional. Bila kesejahteraan individu dicapai, yang dihasilkannya akan tercipta pula kesejahteraan bersama.[8]


Kenyataannya, tangan-tangan tak kelihatan itu tidaklah muncul dengan sendirinya dalam mekanisme pasar. Dengan pola seperti itu, yang terjadi justru yang kaya makin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Kesejahteraan bersama menjadi sekadar harapan. Fenomena perkampungan kumuh, yang merupakan kantong-kantong penduduk miskin di tengah gemerlapnya kota metropolitan di berbagai belahan dunia sebagai bentuk kesenjangan ekonomi yang sangat mencolok, merupakan bukti sangat nyata dari kegagalan sistem distribusi yang sekadar mengandalkan mekanisine pasar. Tangan tak kelihatan yang diharapkan itu temyata tidak dengan sendirinya muncul.


Tegasnya, distribusi kekayaan secara lebih baik tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itupun banyak kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, juga judi, yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap lancarnya distribusi kekayaan). Maka mestinya harus ada pula mekanisme non ekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.


Demikianlah beberapa perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Dengan mendalami secara lebih jauh, maka sistem ekonomi Islam yang dibangun dari pandangan yang khas tersebut setidaknya dibangun atas pandangan-pandangan tertentu.


Pengembangan Kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) adalah suatu mekanisme yang dipergunakan seseorang untuk menghasilkan tambahan kepemilikan tersebut. Karenanya Islam mengemukakan dan mengatur serta menjelaskan suatu mekanisme untuk mengembangkan kepemilikan. Dari sinilah maka pengembangan kepemilikan itu harus terikat dengan hukum-hukum tertentu yang telah di buat oleh As-Syari‟ dan tidak boleh melampau ketentuan-ketentuan syara‟ tersebut. Dalam masalah pengembangan kepemilikan, Syara‟ telah menjelaskan garis-garis besar tentang mekanisme yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan, disamping juga menyerahkan rincian hukumnya kepada para mujtahid agar mereka menggali hukum-hukumnya secara rinci berdasarkan pada nash-nash yang menjelaskan tentang mekanisme tersebut serta berdasarkan pemahaman terhadap fakta yang ada.


Dengan demikian syara‟ telah menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kepemilikan sekaligus juga menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang tidak boleh dilakukan dalam rangka mengembangkan kepemilikan. Dalam hal ini Islam memiliki hukum-hukum tentang pertanian, perdagangan, dan industri.


Kalau kita teliti segala macam bentuk harta kekayaan yang ada dalam kehidupan, maka dapat kita kelompokkan menjadi tiga macam, yaitu (1) harta berupa tanah; (2) harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang (jual beli); dan (3) harta yang diperoleh dengan cara merubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda (produksi). Dari sinilah kita ketahui teknik yang umumnya digunakan orang-orang mengembangkan untuk harta kekayaan adalah dengan jalan melaksanakan aktivitas pertanian, perdagangan dan industri. Yang kesemuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.[9]


Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa Islam menghalalkan kaum muslimin bergerak dalam bidang pertanian, perdagangan dan perindustrian dengan catatan-catatan tertentu. Dalam masalah pertanian, prinsip hukum Islam adalah pada hukum-hukum yang berhubungan dengan pertanahan. Seseorang yang menghidupkan tanah yang mati, bahkan baru membukanya saja, berhak memiliki tanah tersebut. Namun jika ia terlantarkan tanah itu lebih dari tiga tahun, maka lahan tersebut diambil alih oleh negara dan diberikan kepada siapa saja yang siap mengolahnya, alias memproduktifkannya.


Oleh karena itu, pengembangan kepemilikan tersebut terikat dengan hukumhukum yang telah ditetapkan syara‟, yaitu hukum-hukum seputar pertanahan, hukumhukum jual-beli, perseroan serta hukum-hukum yang terkait dengan ijaratul-ajiir dan produksi. Karenanya pengembangan kepemilikan dalam bidang pertanian, perdagangan, maupun industri bisa dilakukan secara perorangan maupun secara bersama dalam suatu syarikat. Bila suatu usaha berskala besar, maka lazimnya dilakukan dalam suatu syarikat. Jika seseorang memiliki modal tetapi tak punya waktu buat mengelolanya maka dianjurkan bagi untuk menyerahkan kepada orang lain yang bekerja sama dengannya, mengelola hartanya agar berkembang, dalam syarikah mudharabah.


Jika materi berjalan sendiri dan segala sesuatu hanya diukur dengan kebendaan semata, pasti hancurlah hubungan yang baik dan berubahlah sifat manusia dari moralitas yang mulia menjadi perilaku hewan yang sangat rendah. Demikian juga sebaliknya, moral yang berjalan sendiri akan hilanglah kebutuhan hidup manusia yang sangat dihajati didunia ini, oleh sebab itu kedua hal di atas tidak dapat dipisahkan dan mempunyai saling keterikatan Islam sangat menekankan kepada umatnya agar dapat menjalankan roda perekonomiannya secara baik dan sehat sehingga saling menguntungkan satu sama lainnya, serta mendorongnya untuk selalu inovatif dan kreatif dalam mengembangkan ekonomi.


Jadi konsep ekonomi Islam di samping berlandaskan pada aturan-aturan Allah juga tidak memiliki sifat keserakahan dan ketamakan, sehingga ia akan berperilaku saling menguntungkan dalam menjalankan sebuah usaha atau transaksi ekonomi, Islam berbeda dengan perilaku ekonomi kapitalis dan lainnya yang hanya melihat keuntungan pribadi dan kelompok tanpa sedikitpun bersandar pada aturan-aturan Allah, dan tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian orang lain yang disebabkan oleh perilaku ekonomi mereka, mereka hanya berfikir bagiamana memperoleh keuntungan sebanyak banyaknya walaupun tatanan ekonomi yang dibangun merusak moral dan merugikan orang lain.


3. Gambaran Perekonomian Umat Dewasa ini

Sebelum membahas lebih lanjut bagaimana mengembangkan ekonomi umat yang sedang mengalami keterbelakangan dan keterpurukan, terlebih dahulu pemakalah ingin menggambarkan kondisi ekonomi umat saat ini sehingga dapat menilai dan menjadikan tolok ukur dalam menilai kemunduran atau kemajuan, serta dapat menetapkan langkah-langkah apa yang dapat ditempuh guna mengembalikan ekonomi umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa kejayaan umat Islam di masa terdahulu. Suatu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa realitas ekonomi umat dewasa ini sedang mengalami ketepurukan, hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat-masyarakat miskin, masyarakat yang hanya menjadi masyarakat konsumtif, jadi buruhburuh kasar dan karyawan-karyawan perusahaan asing yang mayoritas pengusahanya atau sahamnya dikuasai oleh orang-orang asing, mereka memperoleh keuntungan yang berlimpah dari masyarakat muslim.


Dan kalau kita lihat lebih lebih jauh hampir semua negaranegara muslim berada di bawah pengaruh dan jajahan negara Barat, baik dari segi budaya, politik maupun ekonomi, yang mengakibatkan kondisi umat Islam dari hari ke hari semakin berada dalam kesulitan dan keterpurukan, Sehingga telah menggiring dan mempengaruhi semua aturan-aturan Islam kepada aturan mereka, mulai dari perilaku, peradaban sampai kepada sistem ekonomi, dan tanpa sadar umat Islam sendiri telah melakukan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan aturan-aturan dan sistem ekonomi Islam, kita lebih memilih ekonomi ala kapitalis, sosialis dan bahkan komunis daripada sistem Islam sendiri yang telah dijamin oleh Allah akan kesuksesannya, yang pada akhirnya umat Islam terus dijajah dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran dan norma-norma Islam. Pendapat senada juga disampaikan oleh M. Faruq Nababan.[10]


Padahal sistem paling sempurna dan paling baik dalam praktek transaksi ekonomi hanya ada dalam sistem ekonomi Islam, karena ia berdasarkan pada aturan-aturan Allah sebagai pencipta manusia, namun hal itu kurang disadarai oleh umat Islam sendiri sehingga kita lebih memilih gaya hidup, sistem pendidikan dan ekonomi kebaratbaratan dan sering mengabaikan aspek paling penting dalam kehidupan manusia yaitu pembangunan manusia yang hakiki yang berlandaskan ketauhidan dalam mencapai kemenangan, bukan semata-mata membangun manusia yang tandus dari iman, moral dan akhlak mulia.


Dari pembahasan di atas dapat kita lihat bahwa problem umat Islam hari ini tidak hanya datang dari pihak luar saja tetapi juga datangnya dari umat Islam itu sendiri yang enggan peduli dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan sistem Islam yang berkeadilan, padahal sistem Islam telah dicatat keberhasilannya pada masa-masa Islam terdahulu dengan kejayaan dan kegemilangannnya, seperti apa yang telah dipraktekkan pada masa Rasululllah SAW. Dimana Rasul sendiri menjadi pelaku utama, juga pada masa-sahabat dan tabi’ tabi’in. Pendapat senada juga dapat dilihat dalam buku.[11]


4. Membangun Ekonomi Umat

4. Ekonomi menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan umat, maju mundurnya sebuah bangsa di samping karena maju dan tingginya moral dan peradaban, juga sangat tergantung pada kemajuan segi ekonomi. Ada beberapa hal yang sangat penting diperhatikan dalam upaya pembangunan ekonomi umat di antaranya:


a. Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya system yang mampu mendongkrak dan mendorong umat dari keterbelakangan dan keterpurukan ekonomi menuju kejayaan dan kegemilangan ekonomi yang berlandaskan aqidah dan moral yang tinggi. Bahkan beberapa cendekiawan Eropa mengakui bahwa sstem ekonomi barat sejalan dengan kesadaran berfikir dunia Islam, sebagai contoh seperti apa yang telah dikemukakan oleh Jaequas Auestervi dalam bukunya Economic Development.


b. Membangun Semangat Wira Usaha

Untuk membangun ekonomi umat hal yang pertama yang harus dibangun adalah sifat kewira usahawan, yaitu ketekunan, kesungguhan dan kesabaran dalam menjalani sebuah usaha walau sekecil apapun usahanya, hal ini cukup penting untuk ditanamkan, karena sebanyak apapun modal yang diberikan tanpa semangat wirausaha yang baik, maka modal itu akan hilang dengan percuma dan tidak dapat dimanfaatkan.


Ini adalah contoh yang sangat kecil yang diajarkan Islam kepada kita tentang bagaimana menanamkan sifat kewirausahawan pada setiap individu, dan agar umat Islam tidak jadi pemalas, serta hanya mementingkan urusan akhirat dan jiwa semata tanpa memikirkan kebutuhan fisik dan duniawi, namun usaha yang dibangun juga tidak lepas dari nilai-nilai akhirat, tidak seperti apa yang terjadi dewasa ini dimana semangat yang berkembang adalah semangat kontraktor dan koruptor, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.


c. Persatuan umat

Persatuan dan kesatuan tidak hanya dibutuhkan dalam mempertahankan nilai-nilai aqidah, dalam berbisnispun sangat dibutuhkan jiwa kebersamaan, yang dalam bisnis sering disebut dengan jaringan/Net Work, membangun jaringan juga menjadi hal yang penting dalam mengembangkan usaha dan binis, kalu jaringan tidak terbangun maka usaha apapun akan mengalami stagnasi. Hal itu dapat kita lihat pada bisnis elektronik di Indonesia yang dikuasai oleh orang China, yang sering dikeluhkan oleh orang-orang pribumi karena sulit bersaing dengan mereka, karena mereka memiliki jaringan yang kuat, hal senada tentang pentingnya membangun jaringan dalam membangun usaha dan perekonomian umat juga dapat di baca dalam buku


d. Kebijakan Penguasa/Pemerintah

Untuk memperlancar proses perbaikan ekonomi umat, secara mutlak dibutuhkan kebijakan pemerintah, karena hanya pemerintahlah yang mempunyai kemampuan dan kekuatan dari segi politis dan ekonomis untuk mendorong dan membuat kebijakan dan aturan-aturan yang sesuai dengan syari’at Allah, Demikianlah apa yang telah tercatat dalam sejarah dimasa kejayaan Islam terdahulu, hal lain juga sebagaimana dikatakan oleh Adi Sasono dalam bukunya.


e. Penyadaran Zakat dan Pengelolaannya

Salah satu unsur penting juga dalam hal pembangunan ekonomi umat adalah adanya kesadaran bersama tentang kewajiban mengeluarkan zakat, kewajiban mengeluarkan zakat tidak hanya terbatas pada binatang ternak, emas dan perak, barang perniagaan, barang tambang dan rikaz, serta hasil pertanian. Seperti apa yang telah ditetapkan oleh imam-al-mazahib dalam kitab Fiqh al-mazahib alArba’ah yang secara defakto hari ini penghassilan sangat terbatas, tapi juga dibidang profesi, industri dan tekhnologi, yang penghasilannya jauh berlipat-lipat dari penghsilan pertanian dan perternakan. Hal ini penulis sependapat dengan apa yang di sebutkan oleh Yusuf Qardhawi dalam kitab Fiqih al-Zakat, beliau menjelaskan bahwa barang-barang yang wajib dikeluarkan zakat menjadi sembilan kategori diantaranya: binatang ternak, emas dan perak, perdagangan, hasil pertanian, madu dan produksi hewani, hasil lawut dan tambang, zakat investasi, gedung dan lain-lain, zakat jasa dan profesi, dan zakat saham dan obligasi.


Dalam mengaktualisasikan pemahaman zakat di era modern ini seperti apa yang dikemukan oleh Yusuf Qardhawi, para ulama menyikapi dengan beragam, menurut Abdurrahma al-Jaziri, dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada zakat pada barang-barang selain dari lima kategori di atas. Tapi menurut hemat pemulis, terlepas dari perselisihan pemahaman yang terjadi diantara para ulama tentang kewajiban mengeluarkan zakat terhadap jenis-jenis yang beragam di era modern ini, yang jelas pembangunan ekonomi umat akan sangat tergantung dan didukung oleh sumbangsih zakat, semakin banyak zakat yang terkumpul dan dikelola oleh umat Islam, maka semakin banyak pulalah umat yang dapat diberdayakan secara ekonomi, yang pada akhirnya mengangkat kembali martabat dan kemunduran seperti yang dialami umat dewasa ini.[12]


Namun dalam hal pengumpulan dan pendayagunaan zakat, juga sangat dibutuhkan lembaga-lembaga pendukung yang bersih dan professional, baik itu dibentuk oleh pemerintah atau oleh organisasiorganisasi Islam lainnya, agar pengumpulan dan penyaluran zakat dapat maksimal dan seperti apa yang diharapkan, jadi pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunan zakat perlu ditempatkan sebagai bagian yang integral dari usaha-usaha pengembangan ekonomi umat, ini berarti managemen pengelolaan zakat harus disempurnakan, supaya gerak pengelolaannya bisa dirasakan manfatnya secara baik dan benar oleh yang berhak menerimanya.


C. Penutup

Pengembangan ekonomi umat memang merupakan persoalan besar yang dihadapi umat dewasa ini, dan sesungguhnya pemecahannya itu hanya dapat dilakukan oleh umat Islam itu sendiri dengan cara kembali kepada aturan-aturan Allah yang telah diatur demi kesuksesan semua umat manusiaa. Menanamkan sifat wirausaha bagi setiap individu umat. b. Membangun kemitraan/ jejering yang kuat dengan berbagai pihak terutama dengan sesama muslim. c. Membuat kebijakan-kebijakan yang lebih memihak kepada pertumbuhan ekonomi umat, dengan cara mensupport secara moril maupun materil yang bersumber dari dana zakat. d. Menjalankan transaksi dan perilaku ekonomi sesuai dengan aturan-aturan dalan ajaran Islam. ***