HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Ekonomi Syari’ah Kontemporer: Literasi Kebijakan Fiskal Dalam Islam

Oleh Siti Murasih Ekonomi Syari’ah STAIN Bengkalis Lentera24.com - Agama Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Hart...

Oleh Siti Murasih Ekonomi Syari’ah STAIN Bengkalis

Lentera24.com - Agama Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Harta yang dimiliki manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya. Harta yang dimiliki sebagai amanah dari Allah adalah harta yang diperoleh, didistribusikan, dan dimanfatkan untuk tujuan-tujuan yang dibenarkan syariah. Untuk menjamin tujuan mulia itu, Allah dan RasulNya, memberikan prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan bagi umat manusia agar tidak terjatuh kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan syara’ yang pada gilirannya akan menyebabkan kerugian bagi manusia di dunia dan di akhirat.


Secara makro, aturan-aturan syariah dalam bidang ekonomi bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tetapi menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, kepentingan masyarakat tidak diabaikan. [1]


Penekanan Islam terhadap kepentingan individu, masyarakat, dan hubungan keduanya secara dinamis tersebut sangat paradok dengan sistem ekonomi dunia dewasa ini yang lebih menekankan kepada dogma individualis, yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis atau paradigma sosialis yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis. Kasus dalam hal aturanaturan ekonomi Islam dalam konteks makro, para pakar (ulama) hukum Islam telah menjelaskan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi secara komunal, baik dalam bentuk kelompok masyarakat, negara, bahkan dunia.


Meski ada sederet tantangan di depan mata, namun umat Islam tidak bisa menutup mata bahwa wacana ekonomi Islam menjadi bola salju yang menggelinding, walaupun dibendung oleh sistem kapitalisme Barat yang dominan. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem kapitalisme barat telah menunjukkan kelemahan serta bayangan kebobrokannya. Sistem ekonomi kapitalis mempunyai prinsip dasar mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Usaha kapitalis ini didukung oleh nilai-nilai kebebasan untuk memenuhi kebutuhan. Manusia mempunyai kebebasan yang luas untuk memiliki harta. Prinsip-prinsip tersebut mengakibatkan ketimpangan sosial yang secara tidak langsung telah membuat polarisasi yang cukup tajam antara kaya dan miskin. Selain itu kapitalisme juga menjerumuskan manusia pada kehidupan yang materialistis. Keadaan ini mempersempit ruang bagi manusia untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Akhirnya hal ini mengakibatkan manusia kehilangan unsur-unsur kemanusiaannya (dehumanisasi) dan terasing oleh dirinya sendiri (alienasi).


Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengakui kebebasan manusia atas nilai-nilai tauhid, hak memiliki harta atas dasar kemaslahatan, melarang penumpukan harta, serta distribusi kekayaan justru yang sesuai dengan sifat dasar dan kebutuhan manusia. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia, maka dalam Islam telah diatur mekanismenya dalam suatu negara. Peran Negara Islam sangat signifikan dalam menjamin kesejahteraan dan kebutuhan rakyatnya. Dalam rangka menjamin kesejahteraan rakyat, negara akan melakukan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut dinamakan kebijakan fiskal.


Menurut Wolfson sebagaimana dikutip Suparmoko, kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumberdaya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan. Sedangkan Samuelson dan Nordhaus menyatakan bahwa kebijakan fiskal adalah proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.


Sangat tidak beralasan mengatakan bahwa, fiskal zaman pra Islam yang berkembang sejak tahun 30-an tidak menghasilkan hasil apa-apa. Tidak bisa dipungkiri, integrasi pasar pemerintah dan pasar swasta dalam perekonomian moderen telah membuktikan klaim efisiensi pasar yang dilihat dari kemakmuran material tidak pernah bisa dilakukan oleh perekonomian sosialis, sebagai pengkritik sejati kapitaisme. Akan tetapi fiskal ekonomi modern atau masa pra Islam bisa dijadikan lebih baik dengan dimasukkannya etika, baik itu dalam tinjauan sistem maupun teorinya.


Bagaimanapun juga, luas dan banyaknya literatur fiskal moderen khususnya pada kajian teoritis rupanya tidak satupun yang membicarakan masaalah etika, terkecuali pada teori distribusi moderen, dan itupun hanya sebatas teori distribusi yang adil dianggap sebagai masalah kebijakan. Di sisi yang lain juga tidak benar mengatakan bahwa konsep ekonomi, khususnya kajian aplikatif fiskal Islam yang telah ada sejak pemerintahan Islam Madinah merupakan konsep ‘siap pakai’ yang tinggal dijadikan alternatif pengganti sistem fiskal moderen yang dituduh banyak meninggalkan lubang-lubang moral.


1. Pengertian Kebijakan Fiskal

Ditinjau secara etimologi, kebijakan fiskal berasal dari dua kata, yaitu kebijakan dan fiskal. Kebijakan (policy) memiliki arti yang bermacammacam, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Seorang ahli, James E. Anderson merumuskan kebijakan adalah sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.


Kebijakan fiskal atau yang disebut juga dengan kebijakan anggaran adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal seperti pengaturan pengeluaran negara maupun pendapatan negara yang ditujukan untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat di dalam perekonomian. Kebijakan fiskal dibedakan menjadi dua yakni kebijakan fiskal aktif dan kebijakan fiskal pasif.


Kebijakan fiskal aktif adalah kebijakan pemerintah dimana pemerintah melakukan perubahan tingkat pajak atau program-program pengeluarannya. Sementara itu, kebijakan fiskal pasif adalah segala sesuatu yang menurunkan marginal propensity to spend dari pendapatan nasional, sehingga mengurangi besarnya pengganda. Dengan kata lain, kebijakan ini adalah segala sesuatu yang cenderung meningkatkan defisit pemerintah (menurunkan surplus pemerintah) ataupun cenderung meningkatkan surplus pemerintah (menurunkan defisit pemerintah) tanpa harus ada tindakan eksplisit oleh para pembuat kebijakan.[2]


Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang menurut imam al-Ghazali termasuk peningkatan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. Pada dasarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh para ulama. Ibnu Khaldun (1404) mengajukan obat untuk resesi berupa mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah, pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya.


Apabila pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar apabila pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat (keseluruhan) yang lebih besar." Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffer's Curve, berterus terang bahwa ia mengambil ide Ibnu Khaldun. Selain itu, Abu Yusuf (798 H) adalah ekonom pertama yang menulis secara khusus tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya, alKharaj, yang menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Abu Yusuf sangat menentang adanya pajak atas tanah pertanian dan menyarankan diganti dengan zakat pertanian yang dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Abu Yusuf membuat rincian bagaimana membiayai pembangunan jembatan, 22 bendungan, dan irigasi.


2. Kebijakan Fiskal dalam Islam

Islam sebagai agama paripurna tidak hanya mengatur permasalahan ibadah dan muamalah, akan tetapi mencakup semua aspek termasuk masalah Negara dan pemerintahannya. Dalam sistem pemerintahan Islam, organisasi mendapat perhatian utama. Al-Mawardi -seorang pemikir terkemuka abad ke-5 berpendapat bahwa pelaksanaan imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan absolut dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, negara memiliki peran aktif demi tereralisasinya tujuan material dan spiritual. Dalam Islam, terpenuhinya pekerjaan dan kepentingan publik bagi rakyat merupakan kewajiban keagamaan dan moral penguasa.


Tegaknya suatu Negara bergantung pada kemampuan pemerintah mengumpulkan pendapatan dan mendistribusikannya pada kebutuhan kolektif masyarakat. Al-Qur’an tidak memberikan perincian kebijakan fiscal. Akan tetapi, ada beberapa ajaran ekonomi dan prinsip-prinsip pengarah yang terekam dalam sunnah sebagai pengarah dan penjelasnya. Dengan demikian, sunnah Nabi menjadi sumber penting kedua keuangan publik dalam Islam setelah al-Qur’an.


Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat saja, akan tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Karena hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi. Jadi uang publik dipandang sebagai amanah di tangan penguasa dan harus diarahkan pertama-tama pada lapisan masyarakat yang lemah dan orang-orang miskin, sehingga tercipta keamanan masyarakat dan kesejahteraan umum.[3]


Dari rekaman historis sejarah Islam awal, ditemukan bahwa para perancang keuangan dan pembuat kebijakan mencoba memahami masalah-masalah keuangan yang ada di wilayah taklukan dan menilainya berdasarkan al-Quran dan sunnah.


Ada beberapa karya fuqaha terdahulu yang membahas mengenai keuangan publik dan segenap kebijakannya. Satu di antaranya adalah kitab al-Kharaj. Karya monumental ini dinisbahkan kepada ahli fikih dan sarjana besar Qady Abu Yusuf. Dengan daya analisis yang tinggi, Abu Yusuf berusaha menganalisis masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diasopsi untuk kesejahteraan rakyat.


Karya lain yang terkenal adalah al-Amwal. Dari catatan sejarah sekurang-kurangnya ada enam buku dengan judul al-Amwal. Salah satunya adalah karya Abu ‘Ubaid, yang membahas masalah keuangan dan pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fikih.


3. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Islam

Perspektif ekonomi konvensional, Adiwarman Karim menjelaskan bahwa dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terdapat beberapa instrumen (alat) dan cara yang digunakan untuk menghimpun dana guna menjalankan pemerintahan, antara lain:


a. Melakukan bisnis pemerintah dapat melakukan bisnis seperti perusahaan lainnya, misalnya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti halnya perusahaan lain, dari perusahaan negara ini diharapkan memberikan keuntungan yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan negara.


b. Pajak penghimpunan dana yang umum dilakukan adalah dengan cara menarik pajak dari masyarakat. Pajak dikenakan dalam berbagai bentuk seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. Pajak yang dikenakan kepada masyarakat tidak dibedakan terhadap bentuk usahanya sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan.


c. Meminjam uang pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat atau sumber-sumber yang lainnya dengan syarat harus dikembalikan di kemudian harinya. Masyarakat harus mengetahui dan mendapat informasi yang jelas bahwa di kemudian hari mereka harus membayar pajak yang lebih besar untuk membayar utang yang dipinjam hari ini. Meminjam uang hanya bersifat sementara dan tidak boleh dilakukan secara terus-menerus.


4. Kebijakan Fiskal Sebagai Fungsi Alokasi, Distribusi, dan Stabilisasi Perekonomian

Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka digunakan untuk apa sajakah sumber-sumber keuangan negara, sedangkan distribusi menyangkut bagaimana kebijakan negara mengelola pengeluarannya untuk menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil di masyarakat, dan stabilisasi adalah bagaimana negara menciptakan perekonomian yang stabil. Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis hanyalah merupakan suatu kebutuhan untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk menggenjot perekonomian.


Negara menjamin pendidikan dengan menyediakan tenaga pengajar (guru/dosen), tempat pendidikan dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk penyelenggaraannya. Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan hidup yang layak bagi para guru. Pada masa Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab, seorang guru diberi gaji 15 dinar setiap bulannya.


Concern suatu Negara Islam harus lebih difokuskan kepada pendistribusian ekonomi secara merata. Dengan pendistribusian yang merata akan terjamin keadilan di tengah masyarakat, dan juga tidak akan ada jurang pemisah yang tajam antara si kaya dan miskin. Dengan prinsip keadilan tersebut, akan terjamin kebutuhan primer secara menyeluruh bagi tiap individu rakyat, di samping masing-masing individu akan mampu memenuhi kebutuhan sekundernya dan luksnya.[4]


Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran utama kebijakan fiskal dibandingkan anggaran yang lainnya, maka Negara tidak boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan merupakan hak setiap individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan. Juga hak seluruh rakyat untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayan kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi membiayai anggaran ini, padahal perkara ini merupakan kewajiban negara terlepas apakah ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak, maka kewajiban untuk membiayai anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum Muslimin. Artinya, ada kewenangan negara untuk memungut pajak (daribah) terhadap kaum Muslimin yang mempunyai kelebihan harta.


Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan primer di atas, maka negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan dengan itu terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga negara telah membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil, karena orang-orang yang kurang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh negara dengan penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Juga setiap orang mendapatkan hak yang sama dalam keamanan akan hartanya, akan usahanya (pertanian, industri dan perdagangan, jasa, dan lain-lain), jiwanya dan keluarganya. Hak yang sama akan pendidikan, sehingga semua orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh ilmu dan keahlian (skill). Dengan ilmu dan keahlian inilah modal dasar bagi seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, serta untuk meningkatkan kekayaannya.


Pengeluaran dalam negara Islam harus diupayakan untuk mendukung ekonomi masyarakat muslim. Jadi pengeluaran pemerintah akan diarahkan pada kegiatankegiatan pemahaman terhadap Islam dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan pendapatan pemerintah harus secara merata terdistribusikan kepada rakyat.


Terkait sistem anggaran yang islami, dalam sejarah perjuangan Rasulullah saw hanya tercatat sekali saja anggaran mengalami defisit, yaitu ketika jatuhnya kota Mekah. Utang pemerintah ini dibayar sebelum satu tahun, yaitu setelah usainya perang Hunain. Porsi alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur cukup besar. Misalnya khalifah ‘Umar pada zamannya pernah memerintah ‘Amr ibn ‘As yang menjabat sebagai gubernur Mesir untuk membelanjakan minimal sepertiga dana Baitul Mal untuk pembangunan infrastruktur. Dia juga membangun kanal antara Kairo dan pelabuhan Suez untuk memfasilitasi pelayaran antara Hijaz dan Mesir, selain juga membangun dua kota bisnis Kufah dan Basrah.


Seperti ekonomi agraria lainnya, di Inggris pada abad pertengahan, pajak atas tanah merupakan sumber utama pendapatan, di samping pendapatan dari sumber lain seperti biaya pasar, bea cukai dan denda dari beragam sumber feodal lainnya. Pajak perorangan juga diterapkan di Inggris. Pajak perorangan ditetapkan berdasarkan kekayaan, kelas, kepemilikan atau jumlah pajak lainnya. Di samping itu, terdapat beberapa pajak lain yang secara sewenang-wenang dibebankan kepada masyarakat. Pajak atas tungku, jendela, kereta kuda juga diterapkan. Pajak tungku dibebankan atas anggota keluarga, dan pajak jendela didasarkan atas jumlah jendela dalam rumah.


Sebagaimana di Inggris, tidak ada sistem fiskal tertentu di Perancis hingga abad ke-14 M. Masyarakat Perancis harus mendukung raja dan gereja sekaligus. Gereja mengumpulkan amal sepersepuluh dari penghasilan. Pajak lain yang terkenal adalah taille, yaitu pajak atas produksi yang diharapkan dan diukur melalui nilai kebun. Ada pajak penggunaan atas tembakau, anggur, garam dan komoditas lainnya. Tingkatan pajaknya berbeda-beda di berbagai wilayah.[5]


Dari gambaran diatas jelaslah bahwa pajak dibebankan secara sewenang-wenang dan tidak ada prinsip yang sistematis yang harus diikuti. Pajak dan pungutan merupakan sesuatu yang berat. Beban semua pajak dan hak-hak feodal bisa mencapai 80% dari pendapatan rata-rata para petani. Ini menunjukkan bahwa bagian terbesar dari pendapatan orang miskin dikenai pungutan dan pajak.


C. Kesimpulan

Kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah termasuk peningkatan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. kebijakan fiskal telah sejak lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh para ulama. Ibnu Khaldun (1404) mengajukan obat untuk resesi berupa mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah, pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar bila pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat (keseluruhan) yang lebih besar.


Fungsi dari pemerintah Islam yang modern tidak lagi terbatas pada fungsi seperti yang dijalankan oleh pemerintah Islam terdahulu yang bertumpu pada pertanian. Corak perekonomian sekarang telah berubah dan sumber pendapatan yang relatif lebih layak dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah modern. Perbedaan konteks ini menyebabkan banyak sumber-sumber pendapatan yang dulu sangat berarti seperti fai’, ghanimah, jizyah sudah tidak relevan lagi. Namun demikian, pemerintahan Islam yang modern semestinya menggali dari sumber-sumber lain serta melakukan kebijakankebijakan strategis yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam dan dalam operasionalnya tetap patuh pada syariah. Dengan melakukan terobosan-terobosan yang progresif serta taat syariah diharapkan pendapatan negara akan optimal serta kesejahteraan rakyat akan terjamin.***