HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Degradasi Lahan Akibat Praktik Pengolahan Lahan Pertanian yang Tidak Tepat

Alfianti Fawzi Mahasiswa Semester 5 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Lentera24.com - Degradasi lahan merupakan proses ...

Alfianti Fawzi Mahasiswa Semester 5 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Lentera24.com - Degradasi lahan merupakan proses kerusakan tanah dan penurunan produktivitas karena tindakan manusia atau penyebab lain yang ditandai dengan menurunnya kadar C- organik dan unsur-unsur hara tanah, serta mendangkalnya bidang olah tanah. Salah satu pengeloaan lahan yang buruk yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan adalah praktik pengelolaan lahan pertanian yang tidak tepat. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida yang berlebihan), sistem budidaya termasuk pola tanam monokultur, serta pengelolaan tanah pertanian yang seringkali tidak memperhatikan kaidah-kaidah konvervasi tanah.


Sistem pertanian hortikultura secara monokultur dan intensif yang dapat berdampak pada penurunan kualitas tanah. Penurunan kualitas tanah salah satunya ditandai dengan penurunan bahan organik tanah. Bahan organik tanah sangat berperan dalam pembentukan struktur tanah yang baik. Pengolahan lahan yang semakin intensif akan menyebabkan bahan organik tanah juga semakin turun. Hal tersebut diiringi dengan rendahnya daya ikat air dan hara di dalam tanah sehingga memicu terjadinya degradasi lahan. 


Praktik pengolahan lahan pertanian yang tidak tepat juga dapat menyebabkan terjadiya salinitas tanah. Salinitas tanah merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas pertanian. Hal ini dapat dipengaruhi salah satunya oleh pengelolaan drainase pertanian yang tidak tepat. Dalam situasi ini, akar tanaman tidak memperoleh cukup udara untuk respirasi sehingga menyebabkan hasil panen rendah.


Berdasarkan data yang diperoleh, sumber daya lahan Indonesia terus menyusut dari tahun ke tahun akibat konversi dan degradasi yang disebabkan oleh sistem pengelolaan tidak baik. Berdasarkan hasil penelitian Anny, dkk. (2017) menunjukkan bahwa di tahun 2045 dengan mempertimbangkan laju konversi lahan akan mengalami penyusutan tambahan lahan sekitar 14,9 juta hektar, terdiri dari 4,9 juta hektar sawah, 8,7 juta hektar lahan kering, dan 1,2 juta hektar lahan rawa. 


Selain itu, terdapat sekitar 500 juta hektar lahan pertanian terlantar di dunia yang tidak memiliki tujuan produktif atau ekologis (UNCCD, 2013). Dengan memulihkan kesehatan tanah di lahan yang terdegradasi ini, dunia. Isu ini menjadi perhatian di kancah dunia. Degradasi lahan pertanian dapat menyebabkan ketahanan pangan dunia berkurang. Menurut UNCC, terdapat banyak praktik pertanian regeneratif yang dapat meningkatkan hasil panen dan kualitas nutrisi serta mengurangi emisi gas rumah kaca.


Pola usahatani tradisional yang buruk, seperti halnya persiapan lahan dengan cara membakar jerami atau mengangkut keluar sisa hasil panen juga berkontribusi besar terhadap degradasi lahan dalam sistem pertanian. Hal tersebut dilakukan petani dengan tujuan untuk mendapatkan pupuk gratis melalui abu hasil pembakaran dan juga guna menekan populasi gulma pada saat kegiatan proses budidaya. 


Menurut Dinas Pertanian (2020), abu bakaran jerami tidak dapat menyuburkan tanah melainkan menghilangkan hara dalam jumlah cukup banyak. Persiapan lahan tanam dengan cara pembakaran menyebabkan terjadinya penurunan 20-50% karbon organik dalam tanah, tekstur tanah menjadi padat, biota tanah punah, erosi tanah meningkat, dan mengakibatkan polusi udara. Petani seharusnya tidak membakar biomassa vegetasi atau jerami. Sebaiknya, jerami tanaman padi ditanam di dalam tanah sehingga menjadi makanan bagi mikroorganisme tanah karena keberadaan mikroorganisme tersebut sangat berperan penting dalam menyuburkan tanah.


Penyebab kurangnya keberhasilan pencegahan degradasi lahan dan pemulihan degradasi lahan sangatlah komplek. Hal tersebut diakibatkan oleh lemahnya komitmen pengambil dan pelaksana kebijakan, serta lemahnya komitmen masyarakat terhadap pencegahan dan pemulihan degradasi lahan. Di masa otonomi daerah, ada kecenderungan sumberdaya alam dikuras secara berlebihan untuk berbagai kegiatan, serta kebijakan yang sering tidak pro pada pelestarian daya dukung sumberdaya lahan dan lingkungan. Hingga saat ini belum ada teknologi yang bersifat universal untuk pemulihan lahan terdegradasi.


Upaya strategis dalam menghindari degradasi lahan antara lain dapat melaui: (1) Penerapan pola usaha tani konservasi seperti agroforestry, tumpang sari, dan pertanian terpadu; (2) Penerapan pola pertanian organik ramah lingkungan dalam menjaga kesuburan tanah; dan (3) Penerapan konsep pengendalian hama terpadu merupakan usaha-usaha yang harus kita lakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha pertanian. Tanpa adanya usaha-usaha pengendalian dan perlindungan yang permanen terhadap tanah-tanah pertanian yang produktif, maka kegiatan-kegiatan pertanian tidak dapat berlangsung secara permanen. ***