HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dynamic Governance dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Malang

Bayu Karunia Putra, Semester 6/Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Lent...

Bayu Karunia Putra, Semester 6/Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

Lentera24.comSistem ketatanegaraan dituntut untuk merubah pola pelayanan diri birokratis eletis menjadi birokratis populis. Karena, kaitannya dengan sektor swasta yang dijadikan sebagai pengelola sumber daya dan birokrasi pemerintah harus memberikan konstribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya yang ada dengan sebaik mungkin. Maka, penerapan “dynamic governance” pada akhirnya memberi syarat terkait dengan perlunya keterlibatan organisasi masyarakat sebagai kekuatan penyeimbang dalam suatu negara. Dengan demikian bahwa, mengkonseptualisasikan tiga kemampuan suatu pemerintahan, yaitu think ahead, think again, dan think across menjadi hal yang harus diprioritaskan dengan sebaik mungkin. Adapun sarana dan prasarana yang dibangun dalam meningkatkan kenyamanan masyarakat, yaitu ruang terbuka hijau yang berupa pembangunan hutan kota yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan melaksanakan kegiatan berbentuk rekreasi aktif maupun pasif. 


Selain itu juga, ruang terbuka hijau sebenarnya menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan dan salah satu elemen kota dan kehadirannya dalam suatu kota didasarkan pada ketentuan dan standar-standar yang telah ditetapkan sejak awal. Maka, upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan menjadi kebutuhan dan akibat terbatasnya sumber daya lahan, dengan demikian hal itu akan terjadi konversi lahan hijau untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ditambah, dari adanya penelitian-penelitian yang serupa dengan membahas mengenai ruang terbuka hijau seperti, dibahas oleh Rijal (2008), Tahir & Nahrudin (2017), dan Amin & Amri (2011). Rijal (2008) menitikberatkan pada ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Malang yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekologis dengan berdasarkan pada kemampuan tanaman dalam menyerap CO2. 


Selanjutnya, Tahir & Nahrudin (2017) menitikberatkan pada kapabilitas “dynamic governance” dalam mengoptimalisasikan pengelolaan lahan terbuka hijau di Kota Malang dengan menunjukkan bahwa, pemanfaatan ruang-ruang yang terbangun dengan cara melakukan penanaman pada atap dan tembok bangunan dengan menerapkan strategi dari segi kebijakan dapat ditempuh dengan mendorong penyusunan dan penetapan Peraturan Daerah terkait dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 


Berbeda dengan Amin & Amri (2011) yang memusatkan perhatian pada setiap evaluasi ketersediaan ruang terbuka hijau di kompleks perumahan di Kota Malang yang menunjukkan bahwa, masih dibutuhkan berbagai upaya yang dilakukan secara sistematis dari pengembangan bersama dengan penghuni kompleks perumahan untuk menambah prosentase jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH), sehingga kebutuhan penghuni akan lingkungan yang ekologis dapat terpenuhi secara merata. Oleh karena itu, terkait peninjauan terhadap kebijakan harus dilakukan dengan memaksimalkan segala bentuk pendataan dan mengupdate kembali Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk membentuk desain kebijakan yang tidak akan terlepas dari strategi pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu, agar mekanisme “dynamic governance” dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat berjalan dengan maksimal.


Maka, dari ketiga komponen dalam kaitannya dengan konsep “dynamic governance” dalam proses optimalisasi pengelolaan lahan terbuka hijau di Kota Malang, yaitu  berfikir ke depan (thinking ahead), berpikir lagi (thinking again), dan berpikir lintas batas (thinking across) yang diperoleh secara langsung melalui gambaran akan kemampuan untuk mengantisipasinya, yaitu pertama berfikir ke depan (thinking ahead) yang terlihat dari kebijakan pemanfaatan lahan terbuka hijau wilayah kota yang mengharuskan setiap kota memiliki lahan terbuka hijau berupa, taman perkotaan dan hutan kota minimal 30 persen, namun hal ini belum dapat terpenuhi di Kota Malang. Karena, hal itu masih terbendung oleh arus urbanisasi terhadap perkembangan perkotaan seperti, pembangunan perumahan dan ruko-ruko. 


Selain itu juga, terdapat opsi strategi yang dapat dimunculkan dalam pemanfaatan ruang-ruang terbangun dengan melalui cara melakukan penanaman pada atap dan tembok bangunan. Oleh karena itu, strategi dari segi kebijakan dapat ditempuh dengan mendorong penyusunan dan penetapan Peraturan Daerah terkait dengan Ruang Terbuka Hijau dan Rencana Induk Ruang Terbuka Hijau, agar perencanaan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat memiliki kekuatan hukum yang optimal. 


Kedua, beralih pada variabel berpikir lagi (thinking again) yang memberikan gambaran mengenai hasil tinjauan yang dilakukan langsung oleh pemerintah kota yang masih kesulitan dalam memenuhi target Ruang Terbuka Hijau (RTH), di mana Kota Malang masih dibawah 30% dari 50 % dalam Penataan Ruang. Karena, peninjuan yang dilakukan dengan memaksimalkan pendataan dan mengupdate kembali Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Kota Malang yang mengunakan teknologi informasi dan komunikasi. Maka, untuk mendapat klarifikasi langsung dari kelurahan mengenai area lingkungan terbuka hijau yang ada di Kota Malang harus menggunakan setiap indikator-indikator untuk mendesain ulang setiap bentuk kebijakan dan program dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dapat dilakukan oleh pemerintah secara sinergis dengan tidak terlepas dari adanya strategi pengelolaan lingkungan hidup terpadu lainnya yang difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu permasalahan sampah, Ruang Terbuka Hijau (RTH), kualitas air, dan fasilitas umum yang lainnya. Oleh karena itu, pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai ruang publik diharapkan dapat berfungsi secara ekologis, sosial atau budaya arsitektural ekonomi yang meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, menurunkan temperatur kota, dan menjadikan keteduhan pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai ruang publik. 


Ketiga, berpikir lintas batas (thinking across) yang diperoleh langsung melalui gambaran terhadap indikator-indikator yang diadopsi untuk dapat dilakukan dengan mengikuti pola yang digambarkan oleh berbagai negara, di mana Ruang Terbuka Hijau (RTH) dibangun melalui izin sebagai bagian dari karya pembangunan dalam setiap aturan pembatasan perencanaan kota melalui metode yang menyisihkan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan didasarkan pada kriteria-kriteria dengan skala dan tipe karya pembangunan tertentu yang sesuai dengan dikehendakinya. Karena, setiap struktur bangunan yang ada didalamnya memerlukan proyeksi sebuah area kosong dan terbuka yang dijadikan contoh untuk patut ditiru atau diadopsi dengan sebaik mungkin. Maka, setiap indikator-indikator harus dievaluasi untuk diperkuat melalui komitmen secara seksama dalam menambah luas lahan, agar dapat mencapai luas lahan terbuka hijau kota yang optimal. 


Selain itu juga, perlunya peningkatan terhadap peranan pemerintah, swasta, dan masyarakat yang sinergis untuk mengoptimalkan lahan terbuka hijau di Kota Malang. Oleh karena itu, dengan adanya konsep “dynamic governance” dapat menekankan pada serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat secara dinamis dan terbuka dalam berbagai bidang yang berkaitan secara langsung dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah.


Penulis menemukan bahwa, teori “dynamic governance” dapat merefleksikan terkait sistem pemerintahan yang bukan hanya sekedar menjelaskan mengenai demokratik dan tanpa kurang secara ekonomi, finansial, politik konstitusional, organisasi, administratif, manajerial, dan etika, namun jelas secara internasional ataupun global dalam interaksinya dengan berbagai negara maupun bangsa yang lainnya dan dengan bagian pemerintahannya melalui cara yang independen dan mandiri. Karena, praktek “dynamic governance” lebih merefleksikan fungsi pemerintahan yang dinamis dengan menggunakan berbagai macam kinerja organisasi dan manajerial yang jelas, kompeten, antisipatif, responsif, akuntabel, transparan, kolektif, dan berorientasi langsung terhadap strategis, baik itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Maka, opsi startegi yang dapat dimunculkan dalam keterkaitannya dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), yaitu pemanfaatan ruang-ruang terbangun dengan cara melakukan penanaman-penanaman terhadap pohon kembali, selain itu juga strategi dari segi kebijakan dapat ditempuh dengan mendorong penyusunan dan penetapan terhadap Peraturan Daerah terkait dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 


Berkaitan dengan “dynamic governance” dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Malang yang menitikberatkan bahwa, dengan  adanya penerapan dari konsep “dynamic governance”, maka antisipasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui kebijakan, dengan demikian pemahaman pencapaian tujuan belum dapat dikatakan dapat dipahami secara menyeluruh. Oleh karena itu, upaya untuk dapat mengoptimalkan dalam proses implementasi terhadap peninjauan kebijakan dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan segala bentuk pendataan dan mengupdate kembali Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Kota Malang dengan membentuk desain kebijakan yang tidak hanya terlepas dari strategi pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu, namun harus didukung dengan adanya “vertical system” yang perlu adanya partisipasi aktif dari masyarakat dan sinergitas antara pemerintah, agar pelaksanaan implementasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat berjalan dengan maksimal.***