HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Polisi Tembak Polisi” Dalam Perspektif Hukum Pidana

Muhammad Ryhan Aghani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Baru-baru ini tengah hangat kasus penembak...

Muhammad Ryhan Aghani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Lentera24.com - Baru-baru ini tengah hangat kasus penembakan anggota polri yang dilakukan oleh teman seprofesinya, kejadianyan berlokasi di rumah Kadiv Propam Irjen Pol.Ferdy Sambo.

kasus bermula dengan tewasnya brigadier J dikarenakan baku tembak dengan bharada E, dari baku tembak tersebut menewasankan Brigadier J namun banyak kejanggal didalam proses penyelidikan mulai dari rekaman CCTV yang rusak, hasil otopsi jenazah yang tidak relevan dengan kondisi fisik korban penembakan, dari kejanggal-kejanggalan tersebut lah kasus ini mendapat perhatian masyarakat secara intens, yang mana kita ketahui Bersama bahwasanya POLRI merupakan garda terdepan dalam melindungi masyarakat, malah justru kini seolah mejadikan tempat mencari keadilan sebagai panggung sandiwara para petinggi instansi.

Pada tanggal 9 Agustus 2022 melalui keterangan pengacara bharada E mengatakan bahwasannya kasus pada keterangan awal penyelidikan yang disampaikan oleh Kombes Pol. Budi Herdi Susianto, yaitu berupa tembak menembak tidak benar adanya, ia mengatakan bahwa kliennya merupakan korban kambing hitam atasanya, tapi benar adanya bahwa bharada E ikut serta dalam melakukan perbuatan yang mengakibatkan tewasnya brigadier J namun perlu di ingat bahawa bharada E melakukan hal tersebut dikarenakan daya paksa atasanya, dari konstruksi pristiwa diatas, bagaimanakah hukum pidana menyikapi persoalan tersebut yang mana kita ketahui bahwa dalam hukum pidana, perbuata dikarenakan daya paksa tidak dihukum pidana.

Dalam hukum pidana khususnya KUHP Indonesia, pasal terkait dengan daya paksa atau dalam Bahasa belanda disebut dengan overmacht diatur secara jelas dalam pasal 48 KUHP yang bunyinya “barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh suatu kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum”. R.Soesilo dalam bukunya memberikan penjelasan terkait kata “paksaan” harus diartikan sebagai paksaan bathin, maupun lahir, rohani maupun jasmani.

konsep dalam pasal ini juga di bedah oleh Mr.J.E.Jonkers seorang ahli hukum pidana, ia mengatakan adanya daya paksa absolut dan daya paksa relative, daya paksa absolut merupakandaya paksa yang mana pelaku tidak dapat melakukan hal lain, sedangkan daya paksa relatif kekuasan atau daya kekuatan yang memaksa tidaklah mutlak, terkait dengan daya paksa relatif, R.Soesilo memberikan gambaran jika A menodongkan pistol kepada B dan menyuruhnya untuk membakar sebuah rumah, jika B tidak melaksanakanya makam pistol tersebut akan ditembakan kepadanya, maka apabila B melakukan pembakaran terhadap rumah maka dalam hukum pidan B tidak dapat dihukum dikarenakan daya paksa.

Namun perlu digaris bawahi dalam daya paksa itu harus ditinjau dari banyak faktor, seperti misal apakah yang memaksa itu berpangkat lebih tinggi dari pelaku, apakah secara postur tubuh si pemaksa lebih besar dan kekar postur tubuhnya dari si pelaku, tidak bisa dikatakan misalkan jendral bintang dua mengatakan bahwa ia melakukan perbuatan karena paksaan dari orang yang memiliki pangkat dibawahnya. Maka hakim lah yang berwenag untuk menguji dapat tidaknya seseorang dikatakan overmach.

Dari penjabaran terkait konsep daya paksa dalam Hukum Pidana serta keterangan dari pengacara Bharada E yang mengatakan bahwasanya Bharada E melakukan tindak pidana tersebut dikarenakan daya paksa dari atasanya maka mungkim saja Bharada E tidak di kenakan hukuman pidana apabila daya paksanya sesuai dengan konstruksi dari pasal 48 KUHP sebagai alasan pemaaf, dalam hukum pidana alasan pemaaf dikategorikan juga sebagai alasan penghapus pidana, berbuatanya di maafkan karena alasan tertentu namun tindakan pidananya tetap dilarang.

Pesan penulis terkait kasus yang saat ini masih ditangani pihak kepolisian hendaknya dilaksanakan dengan jujur dan professional, selaras dengan adagium dalam Hukum “fiat justitia ruat caelum” yang bermakna “hendaknya keadilan ditegakan meskipun langit akan runtuh”

ketakutan akan tercorengnya nama instansi sebaiknya di hilangkan demi menegakan keadilan. ***