Oleh Yogi Syahputra Al Idrus Beberapa menit yang lalu penulis dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang terjadi Desa Pulo Pineung Meunasah Du...
Oleh Yogi Syahputra Al Idrus
Beberapa menit yang lalu penulis dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang terjadi Desa Pulo Pineung Meunasah Dua Jangka, Bireuen, yang telah ditemukanya mayat dalam sumur dengan korban yang bernama Farhan (23), Sehingga hal tersebut muncul di benak penulis dalam peristiwa ini bagaimana bentuk keabsahan kausilitas dalam hukum pidana? Alasan penulis menganalisis peristiwa tersebut apakah pelaku dikenakan sanksi yang sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
Secara konsep hukum dilihat bukan hanya sebagai kata-kata tekstual tetapi dilihat berdasar instrumen keadilan yang bersubtansif yang memberikan solutif keadilan terhadap masyarakat di tatanan lingkungan. Dikutip dari sumber data vertikal kepolisian RI Daerah bahwa kasus pembunuhan di Indonesia pada tahun 2022 meningkat 500 Kasus setiap tahun, Ini artinya kasus pembunuhan merupakan kasus sangat masif yang terjadi di tatanan lingkungan.
Kasus pembunuhan yang terjadi di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua Jangka, Bireun ini secara kronologis dilihat sebagai suatu peristiwa yang disayangkan, Pasalnya korban dan pelaku memiliki persahabatan yang sudah lama dibangun tetapi lama kelamaan terjadi konflik antara keduanya yang mana dimulai dari si korban yang meminjam Hp Oppo kemudian si korban gadaikan ke kepada orang lain seharga Rp 1.000.000, tujuan digadaikan HP tersebut agar si korban memiliki ongkos untuk pulang ke Aceh. Si pelaku merasa kesal dan tidak tahan atas perlakuan si korban berikutnya si pelaku merencanakan untuk membunuh korban pada tanggal 30 April 2022 malam berikutnya dibuang ke sumur dan pada tanggal 05 Mau 2022 jasad korban ditemukan.
Untuk mengukur parameter peristiwa tersebut tidak diperlukan motif dikarenakan si pelaku mengakui pembunuhan yang terjadi, dan jika kita menelitik secara interpretasi historis terhadap pasal pembunuhan yakni pasal 340 KUHP itu tidak mencantumkan adanya motif, Hakim menilai esensi dari perencanaan dari perlakuan pelaku terhadap korban, sehingga berdasarkan konotasi inilah dibawah ini ada beberapa teori kausilitas (sebab akibat) yang berkaitan dengan peristiwa kasus pembunuhan serta penemuan mayat dalam sumur di Aceh yang hendak dipertimbangkan oleh hakim dalam pengadilan.
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori conditio sine qua non atau disebut juga teori mutlak adalah suatu musabab yang setiap syarat tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini ditemukan oleh seorang Ketua Mahkamah Agung Jerman yaitu Von Buri. Menurut Von Buri setiap syarat mempunyai nilai yang sama (equivalent) arti dari nilai yang sama itu seperti penulis beri contoh dalam peristiwa diatas si pelaku membunuh si korban karena adanya perjanjian yang tidak dikembalikan oleh si korban sehingga si pelaku membalas dendam terhadap si korban, atau si pelaku membunuh si korban dikarenakan si pelaku cemburu terhadap si korban dikarenakan si korban mengambil pacarnya atau juga si pelaku balas dendam dikarenakan si korban melecehkan keluarganya? Jadi di setiap peristiwa yang penulis berikan contoh diatas itu memiliki esensi (nilai) yang sama sehingga kalau seperti itu akan menimbulkan Inkosistensi terhadap kasus yang diputus, Semenjak teori ini lahir dalam hubungan kausilitas (sebab akibat) sudah dihapuskan atau tidak terpakai dikarenakan banyak perbedaan pendapat dari para ahli hukum pidana Belanda.
2. Teori Generalisir
Teori generalisir melihat suatu peristiwa secara in abstracto artinya perhitungan yang layak akan menimbulkan akibat. Teori ini dikemukakan oleh Traeger yang mencari batasan antara syarat dan musabab, Teori Generalisir terbagi menjadi dua kategori yaitu
a. Teori Penentuan Subyektif
Dikemukakan oleh J Von Kries bahwa teori ini mensyaratkan keadaan yang harus diketahui oleh pelaku atau disebut juga subjective ursprungliche prognose, Penulis ilustrasikan terhadap teori J Von Kries dalam kasus yang menimpa Farhan diatas Si pelaku telah menusuk si korban. Menurut perhitungan yang layak bahwa penusukan yang dilakukan si pelaku diatas tidak menimbulkan kematian. Kemudian si pelaku langsung pergi meninggalkan si korban setelah menusuknya, tiba-tiba datanglah perampok yang mana melihat si korban tergeletak di dekat sumur dan seketika itu juga si perampok langsung menaruh si korban di dalam sumur tersebut sehingga si korban meninggal dunia karena tidak tertolong.
b. Teori Penentuan Obyektif
Selain teori Penentuan Subyektif yang penulis ilustrasikan diatas, adapun teori obyektif yang dikemukakan oleh Van Bemmelen yaitu dengan penjelasan bahwa keadaan - keadaan sesudah terjadinya akibat artinya terjadinya akibat tersebut karena keadaan yang telah diketahui oleh umum. Seperti penulis ilustrasikan bahwa si pelaku membunuh korban memakai pisau sebanyak 3 kali, penusukan tersebut menurut perhitungan yang layak tidak akan menimbulkan kematian, Namun ternyata si korban meninggal dunia. Berikutnya si korban dibawa ke rumah sakit seketika ada specialis dari dokter yang selalu melihat keadaan korban berobat setiap hari di dokter tersebut, Dokter mengatakan sebelum terjadinya pembunuhan ini si korban sudah mengalami yang namanya penyakit Malaria yang berbahaya yang menimbulkan kematian, sehingga jika ada pemukulan atau penusukan maka badan dari si korban akan mengalami pembengkakan sehingga menyebabkan kematian.
Dari dua teori diatas menurut konklusi yang penulis ambil ialah dalam teori penentuan subyektif si pelaku jika tidak mengetahui ada penyakit nya maka si pelaku tidak diminta pertangungjawabanya sebaliknya jika si pelaku tahu si korban mengalami malaria berat maka si pelaku dapat diminta pertangungjawabanya, Berdasarkan teoritis tersebut keduanya memiliki langkah yang hampir sama seperti teori diatas yaitu teori cine qua nont akan tetapi yang memiliki perbedaan diantara teori cine qua non dan teori generalisir yaitu kalau dalam teori cine qua non yaitu memiliki esensi peristiwa yang sama (equivalent) sedangkan di teori generalisir yaitu mencari batas dan musabab sehingga dikategorikan lagi dalam dua bentuk yakni teori penentuan subyektif dan teori penentuan obyektif.
3. Teori Individualisir
Didalam teori Individualisir melihat sebab secara in concreto atau post factum artinya menurut Bickmayer dari berbagai macam syarat atau perlakuan itu dicari syarat manakah yang paling utama untuk menentukan sebuah akibat seperti penulis contohkan dalam kasus diatas dengan berbagai perlakuan seperti penulis contohkan di teori cine qua non maka dipakai hanya satu perlakuan untuk menimbulkan akibat maka yang dipakai adalah si pelaku membunuh si korban karena si korban tidak mengembalikan Hp si pelaku dan seketika si pelaku memasukan si korban kedalam sumur.
Sehingga dari teori yang sudah penulis menegasikan diatas yang dipakai dalam peristiwa pembunuhan farhan yang ditemukan didalam sumur di desa Pulo Pineung Meunasah Dua Jangka, Bireuen yaitu teori Individualisir yang melihat satu syarat manakah yang paling utama untuk menentukan akibat. Tetapi dalam kasus diatas menurut Kapolres Bireuen si pelaku alias tersangka sudah mengakui perbuatanya bahwa ia bersalah, Apakah peristiwa tersebut langsung dihukum begitu saja? Patut kita sedari dalam konteks hukum acara pidana pengakuan bersalah dari terdakwa sama sekali tidak melenyapkan si pelaku, kewajiban penuntut umum harus membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Hal ini telah terjewentahkan dalam pasal 189 ayat (4) KUHAP yaitu “Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Adapun alat bukti sah yang dikenal dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Hal ini penting karena peristiwa atau kasus diatas disebut delik materil dan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri mempertahankan hukum materil dalam sebuah kasus yang di jalankan. Sehingga di akhir tulisan ini penulis mengutip sebuah adigium yaitu Culpue par poena esto Hukumlah seseorang setimpal dengan apa yang ia perbuat, Adigium itu memaknakan bahwa penegak hukum kita tidak boleh sewenang-wenang menentukan aturan begitu saja harus proposionalitas dalam mengambil kebijakan putusan di pengadilan. Sekian dari saya Hukum yang responsif ialah hukum yang mampu memberikan keadilan, kemanfaatan dan juga kepastian bagi masyarakat. ***