HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Di NTB Korban Begal Jadi Tersangka Ditinjau Dari Aspek Teoritis Hukum Pidana

Oleh Yogi Syahputra Al idrus Lentera24.com - Tepat pada minggu malam 10 April 2022 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadinya kasus pe...


Oleh Yogi Syahputra Al idrus

Lentera24.com - Tepat pada minggu malam 10 April 2022 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadinya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh korban yang berinisial S, Korban melakukan hal tersebut gegara membela dirinya terhadap dua orang pelaku yang pada waktu itu sedang ingin membegal si korban pada saat si korban melakukan pengantaran nasi kepada ibunya di lombok timur. Tidak lama kemudian dua orang pelaku datang lagi dengan perasaan kaget seketika si korban membela diri dengan melawan semua pelaku, Alhasil dua orang tewas dan dua orangnya lagi luka-luka. Yang menjadi sorotan publik ialah si korban terjerat tersangka oleh karena diduga menghilangkan nyawa orang lain meskipun korban saat kejadian itu terpaksa melakukan pembunuhan karena membela diri, oleh polisi S ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dalam pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan Juncto Pasal 351 ayat 3 tentang pengganiayan yang mengakibatkan orang lain mati. Lalu bagaiaman jika ditinjau dari aspek teoritis hukum pidana mengenai kasus tersebut?


Menurut akademisi hukum pidana dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Taufan Abadi, menilai bahwa kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban S mengarah pada alasan pemaaf, sehingga tidak dapat dikenakan pidana. Kalau pembelaan terpaksa digolongkan sebagai alasan pemaaf artinya elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan . Jika kita merujuk pada pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak pidana".


Secara teoritis ilustrasi kasus tersebut dalam pembelaan terpaksa yang melampui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan seperti contoh kasus diatas bahwa seorang berinisial S sedang mengantar nasi kepada ibunya tiba-tiba datanglah dua orang begal yang ingin mencopet si korban, Namun dengan sekuat tenaga si korban menghadapi dua begal itu dengan sendirinya, tidak berhenti sampai disitu, korban tersebut memukulnya dengan benda tajam di sekililing begal tersebut sehingga tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian secara teoritis si korban tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah Noodwer (Pembelaan terpaksa) dengan cara memukul begal tersebut, sedangkan pembelaan kedua adalah Noodwerexceses ketika korban tersebut memukul dengan benda yang tajam di sekililingnya kepada si begal itu.

Kedua dalam kasus tersebut si korban kaget dengan kedatangan kedua begal tersebut dan seketika ia membela diri nya kalau tidak ia akan dibegal dan jika ia mati siapa yang akan bertangung jawab? ucap si korban dalam hal penyampaian dia ke pihak penyidik, Artinya di peristiwa tersebut si korban pasti mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri.

Syarat-syarat pembelaan terpaksa dalam peristiwa tersebut. Berdasarkan kronologi kasus diatas, penulis mengutip pendapat sudarto bahwa ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampui batas. Pertama, Kelampuan batas yang diperlukan Kedua, Pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, artinya si korban kaget dan jantungnya berdetak seketika ia langsung membela dirinya, Hal ini bisa ditarik bahwa peristiwa yang dialami si korban dan begal tidak ada perjanjian apapun artinya gini ketika si begal ingin membunuh si korban dan pada waktu itu juga si begal chat di whatsapp nya si korban bahwa si begal ingin menghabisinya nanti di Desa Beleka NTB. Hal tersebut bukan merupakan pembelaan terpaksa melampui batas. Ketiga, Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan artinya ada hubungan kausilitas antara kegoncangan jiwa dengan seranganya.


Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap kasus diatas menurut saya karena si korban melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan karena tidak ada kesalahan, melainkan pembentuk undang-undang mengangap adil, jika si korban menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana. Hal ini berdasarkan adigium hukum pidana Non tam ira, quam causa irae excusal, artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan.

Adapun solusi atau gagasan yang saya tawarkan dalam kasus tersebut bahwa biarkanlah penyidik yang menilai bahwa hal tersebut bukanlah tindakan pidana melainkan bentuk alasan pemaaf hal ini juga didorong oleh masyarakat desa bahwa peristiwa tersebut harus dibebaskan. ***