HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Analisis Soal Big Data Tunda Pemilu Luhut Dilaporkan Ditinjau Dari Unsur Hukum Pidana

  Oleh Yogi Syahputra Al idrus Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Pada hari Senin 18 April 2022 kita ...

 

Oleh Yogi Syahputra Al idrus Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Lentera24.com - Pada hari Senin 18 April 2022 kita dikejutkan dengan sebuah perisitwa yang mana seorang pejabat yakni menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan hendak dilaporkan atas dugaan pembohongan publik terkait big data penundaan pemilu yang mana mengkonstruksikan bahwasanya masyarakat di tatanan lingkungan pada menyetujui isu regulasi tersebut khususnya mengenai big data survei penundaan pemilu. Klausul inilah Luhut dilaporkan oleh La Ode Tazrufin yang mana ia selaku Sektertaris Jenderal Barisan Orator Masyarakat Kepulauan Buton. 


Berbicara soal Big Data mengenai penundaan pemilu tidak terlepas dengan adanya prinsip Demokrasi yang mana dipandang sebagai pilihan sistem terbaik dari yang terburuk dalam penyelangaraan suatu negara, artinya kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hal yang mutlak dan secara pasti diakui oleh konstitusi sebagai grundnorm tertinggi negara tetapi yang perlu kita garis bawahi selain mengandung prinsip Demokrasi, Indonesia juga mengandung yang namanya prinsip Nomokrasi yang mana memaknakan suatu kebebasan berpendapat pun harus bertangungjawab terhadap apa yang ia lakukan. 


Menelitik peristiwa yang terjadi saat ini untuk mengukur parameter apakah Big Data Tunda Pemilu itu benar atau tidak? Kita harus melihat keabsahan dari Big Data tersebut, dan bagaimana korespondenya. Apalagi tulisan ini ditinjau dari segi aspek hukum pidana artinya ada dua unsur  yaitu unsur Subyektif  yaitu unsur yang ada dalam diri orang itu (mens rea) dan Unsur Obyektif yaitu unsur yang terdapat diluar orang itu yang mana ini menjadi pedoman dalam analisis soal big data tunda pemilu yang dikemukakan oleh Luhut apakah hal itu benar ataukah tidak?


Berdasarkan kronologis diatas dan sedikit subtansif yang menggelma dalam peristiwa tersebut, La Ode Tazrufin sebagai pelapor menilai bahwa alasan ia melaporkan pak Luhut dikarenakan geram dengan wacana terkait Big Data yang mana hal itu menimbulkan dampak keuntungan bagi masyarakat luas melainkan memberikan polemik di tatanan lingkungan masyarakat, Terkait dengan penundaan pemilu itu sendiri hampir seluruh daerah Indonesia demo besar-besaran terkait regulasi yang dibuat dan lebih parahnya lagi eksistensi dari Big Data tersebut adanya 110 juta warga masyarakat yang mendukung wacana itu dan tidak bertangungjawab. 


Berbicara konteks tangungjawab dalam hukum pidana sebagaimana termaktub dalam buku Prov Eddy O.S. Hiariej halaman 155 mengutip pendapat Van Hamel bahwasanya Pertangungjawaban adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu Mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri, Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, Mampu untuk menentukan kehendak berbuat. Dari pendapat Van Hamel diatas saya mengkonstruksi soal peristiwa Big Data bahwasanya


1. Mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan sendiri, artinya ketika Luhut tahu bahwa apa yang ia lakukan itu sungguh-sungguh adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum, Luhut mengungkap alasan wacana penundaan pemilu karena itu salah satu bagian dari prinsip Demokrasi karena usulan tersebut di proses oleh DPR hingga MPR. Sehingga korelasi dengan Big Data 110 Juta yang menyetujui penolakan pemilu kata Luhut memang ada tapi ia tidak menunjukan pembuktian tersebut, ia dengan lantang bicara dengan perkembangan zaman yang sudah canggih ini buat apa buka? Kalimat inilah menjadikan bahwa tolak ukur dari regulasi yang dibuat tidak ada pembuktian sama sekali apalagi kalau sudah masuk di ranah Hukum pasti berkaitan erat dengan Pembuktian jadi disini Kehendak bebas merupakan dasar keputusan kehendak bila tidak ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan hal inilah dinamakan Indetermenis.


2. Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, artinya Eksistensi Big Data menurut Luhut dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira 110 jutalah. Perbuatan inilah membuat mahasiswa demo besar-besaran dan terjadi konflik dimana-mana hal ini pasti berkaitan dengan unsur kedua diatas yaitu perbuatan tersebut sangatlah bertentangan ketertiban masyarakat.


3. Mampu untuk menentukan kehendak berbuat, Luhut selaku Pejabat yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi haruslah mempertangungjawabkan apa yang ia perbuat, Hal ini disampaikan langsung oleh Anggota Komisi XI DPRI dari fraksi PDIP Masinton Pasaribu bahwa yang dilakukan oleh Luhut ialah sebuah kehendak berbuat yang artinya ketika ia melakukan regulasi Big Data dan itu menimbulkan kesenjangan maka turunlah dari jabatan menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.


Hukum yang merefleksikan kondisi masyarakat tidak dimaksudkan sebagai hukum yang hanya menjadi pembenar bagi realitas sosial. Namun sebaliknya, Hukum yang dibentuk dimaksudkan untuk menyelasaikan masalah-masalah sosial dengan kekuataan dan kondisi masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan tatanan nilai yang ideal. Melihat peristiwa diatas yang mana masyarakat mendalilkan bahwa Luhut selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang membuat isu penundaan pemilu pada tahun 2024 melalui sumber Big Data ialah Hoax semata sehingga perlu kita konstruksikan bagaimana keabsahan secara yuridis yang ada dalam Undang-undang. Jika kita meninjau Terdapat dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 15 UU No. 1 Th 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Esensi dari ketentuan Pasal 14 ayat (1) yaitu akibat dari penyebaran berita bohong menyebabkan terjadinya keresahan di kalangan rakyat, maka akan dihukum penjara paling lama sepuluh tahun penjara. Esensi dari Pasal 14 ayat (2) yaitu menyebarkan berita yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, dan pelaku tidak menyadari bahwa berita tersebut adalah bohong maka dihukum paling lama tiga tahun penjara. Esensi dari Pasal 15 yaitu menyiarkan berita yang tidak pasti, dan pelaku menyadari bahwa berita tersebut akan mudah menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, maka dihukum paling lama dua tahun penjara. Adapun beberapa korelasi dengan regulasi ini yaitu Terdapat dalam UU ITE, yaitu diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, yang esensinya adalah pelaku dengan sengaja melawan hukum menyebarkan berita bohong (hoax) yang mengakibatkan kerugian dalam transaksi elektronik. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali yang berarti aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax) di media online mengacu pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) jis. Dari pasal 28 ayat (1) kita akan melihat unsur-unsur yang mana saya jabarkan dalam konteks analisis pidana khususnya berkaitan dengan berita hoax yang dikemukakan oleh Luhut mengenai Big Data Penundaan Pemilu dibawah ini unsur-unsurnya.


A. Unsur Subyektif

1. Setiap orang, yaitu pelaku penyebar berita bohong (hoax), Definisi pervariabel dalam subtansif disini mengacu pada setiap orang artinya orang perseorangan yang mana lebih dari satu orang yang membuat suatu kesalahan, Berbicara soal kesalahan dalam penggolonganya terdapat kealpaan dan kesengajaan. Sehingga bisa dikatakan Setiap Orang disini mengacu pada Subyek yang melakukan perlakuan dalam peristiwa ini yakni Luhut sehingga unsur setiap orang telah terpenuhi.


B. Unsur Obyektif

2. Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, yaitu kesengajaan dan tanpa hak menyebarkan berita bohong (hoax), Definisi kesalahan menurut Remmelink yaitu sebagai pencelan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu sedangkan frase kesengajaan mengacu pada teori kehendakn dan pengetahuan yang artinya ia menghendaki perbuatan itu dan ia tahu bahwa perbuatan itu pastinya akan terjadi polarisasi dalam suatu kebijakan tapi ia tetap melakukanya.


3. Tanpa hak atau Melawan hukum, yaitu dalam penyebaran berita bohong (hoax) merupakan tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan hak seseorang, Melawan hukum disini diartikan secara formil yakni tertulis yang mana mewajibkan pembuat Undang-undang untuk merumuskan secara cermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum karena jika tidak tercantum dalam undang-undang maka peristiwa penyebar hoax tidak dihukum karena berlaku asas legalitas.


4. Perbuatan, yaitu seseorang telah menyebarkan berita tidak sesuai dengan fakta, Perbuatan menurut KBBI sesuatu tindakan yang diperbuat yang jika kita korelasikan bahwa penciptaan regulasi yang dibuat oleh pihak berwenang khususnya luhut yang mana regulasi tersebut bertentangan dengan UUD 1945 tetapi masih saja dipaksakan dengan memperkuat landasan melalui Big Data yang mana ada 110 juta yang mendukung penundaan pemilu pada tahun 2024.


 5. Objek, yaitu berita bohong (hoax), Menurut Robert, hoaks adalah kabar bohong Selain itu, Hoaks bertujuan untuk membuat bingung penerima informasi yakni bisa di pahami bahwa nilai yang berjumlah 110 juta belum tentu benar karena hal tersebut La Ode Tazrufin melapor regulasi yang dibuat oleh Luhut terkait Big Data.


6. Akibat konstitutif, yaitu mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, Unsur keenam termasuk dalam unsur obyektif karena ia bertentangan dengan perilaku yang ada diluar orang tersebut, Saya kira unsur ke enam tidak termasuk tetapi secara konsepsi bisa saja berkaitan dan bila ada perjanjian yang terjadi.


Dari unsur pasal diatas solusi yang saya tawarkan dalam peristiwa ini bahwasanya pembuktian merupakan salah satu keadaan yang sangat penting dalam mebuktikan keabsahan dari Big Data tersebut apakah hal itu benar atau tidak? Dan terkait pelaporan ini saya berharap polisi sebagai penyidik maupun penyelidik harus bekerja dengan proposional dan adil terhadap satu sama lain, Tidak ada pandang bulu terhadap satu sama lain karena itu akan menghianati prinisp-prinsip yang ada dalam konstitusi. Demikian tulisan ini saya jabarkan karena saya ingin menyumbang pemikiran saya bahwa soal Big Data Penundaan Pemilu pada Tahun 2024 merupakan regulasi yang buruk dan mempergulingkan konstitusi, Dalam konteks pidana pembuktian merupakan satu satunya hal yang harus dilakukan untuk mengukur sampai mana keabsahan dari Big Data tersebut apakah benar? Kalau salah hal ini bisa dipidana sesuai dengan UU No 11 Tahun 2008 (UU ITE) dan jika walapun benar janganlah lakukan penundaan pemilu karena itu sama halnya menghianati Konstitusi dan menimbulkan kebijakan yang represif sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Lord Action seorang aktivis inggris bahwa “Kekuasaan yang condong melimpah pasti regulasinya pasti lebih represif”.****