Amira Ulayya Husna, Semester 1 Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com -- Dunia pendidikan Ind...
Amira Ulayya Husna, Semester 1 Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com -- Dunia pendidikan Indonesia tidak henti – hentinya ditimpa dengan berbagai problematika. Belum selesai dengan upaya bangkitnya pendidikan Indonesia di masa pandemi, Indonesia kembali dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai perguruan tinggi. Bersumber pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021, terdapat 14 kasus terlapor kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Indonesia. Mayoritas korbannya adalah seorang mahasiswi.
Kekerasan seksual dapat terjadi antar sesama mahasiswa,
mahasiswi dengan karyawan kampus, mahasiswi dengan dosen pengajar, bahkan
mahasiswi dengan dosen pembimbing skripsi. Baru – baru ini muncul pengakuan
dari seorang mahasiswi berinisial NA. Ia
merupakan mahasiswi dari salah satu Perguruan Tinggi di Jawa Timur. Ia mengaku
telah mengalami kekerasan seksual yang di lakukan oleh salah satu dosen pengajarnya.
Kejadian tersebut terjadi ketika NA melaksanakan Ujian
Akhir Semester (UAS), ujian ini dilakukan dengan cara satu persatu mahasiswa
memasuki ruang ujian secara bergantian untuk mengerjakan soal. Ketika NA
memasuki ruang ujian, ia disambut dengan senyuman serta tatapan aneh dari dosen
tersebut. Ketika mengerjakan ujian, tiba
– tiba tangan NA dipegang erat oleh pelaku dan diminta untuk menyatakan bahwa
NA mencintai pelaku tersebut, sebagai syarat agar tangan NA dilepaskan. Bahkan
sebelum NA meninggalkan ruang ujian, pelaku sempat menarik tangan NA lalu
menciumnya.
Hal ini memberikan trauma yang mendalam bagi NA. Ia
menjadi merasa takut dan was – was untuk datang ke kampus sendirian. Kampus
seharusnya menjadi tempat yang aman dan
nyaman bagi mahasiswanya untuk berkegiatan. Sampai pada akhirnya ketika NA akan
memasuki semester lima ia memutuskan untuk putus kuliah, karena pelaku
kekerasan seksual tersebut kembali menjadi dosen pengajarnya di salah satu mata
kuliah.
Pengakuan NA ini merupakan satu dari ribuan bahkan jutaan
kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Bersumber
dari survei yang diadakan oleh Ditjen
Diktristek (2020), 77% dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi
di lingkungan perguruan tinggi dan 63% tidak melaporkan kasus tersebut.
Kebanyakan korban kekerasan seksual ini
tidak memiliki keberanian untuk melaporkan perilaku menyimpang tersebut.
Banyak faktor yang menjadikan korban memilih untuk tidak mencari keadilan.
Seperti kurangnya bukti yang dimiliki oleh korban, kekuasaan yang dimiliki oleh
para pelaku, serta kebanyakan korban kekerasan seksual dianggap oleh masyarakat
sebagai suatu hal yang memalukan.
Bahkan ketika korban berani mengungkapkan kekerasan
seksual yang menimpanya, seringkali
kampus menghentikan bahkan
menghilangkan kasus tersebut demi
nama baik kampus. Padahal semestinya jika kampus ingin menjaga nama baiknya
justru mereka harus terbuka, mengakui, dan melakukan sesuatu untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Selama ini terjadi kekosongan hukum mengenai kekerasan
seksual di lingkungan kampus, karena memang tidak terdapat undang – undang yang secara khusus mengatur
mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi. Selama ini organisasi
kemahasiswaan yang mendampingi korban kekerasan seksual hanya mengandalkan SOP, kode etik, dan
peraturan rektor untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Namun baru – baru ini, Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud nomor 30 tahun 2021, yang berjudul “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.” Hal ini merupakan kabar baik bagi seluruh mahasiswa Indonesia dan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, karena dengan adanya Permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini, para korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memiliki kepastian hukum yang dapat mereka jadikan sebagai pegangan untuk mencari keadilan.***