HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kontroversi Permendikbud Melegalkan Perzinaan?

Muhammad Djaler Arjra Zhakral Semester 1 Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com --- Di Indonesia khusus nya di ...

Muhammad Djaler Arjra Zhakral Semester 1 Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Lentera24.com --- Di Indonesia khusus nya di lingkungan pendidikan masih banyak sekali kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi. Bagaikan gunung es yang dilaporkan hanya sedikit dari apa yang sesungguhnya terjadi, tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang banyak terjadi tapi sedikit yang berani melaporkan . Dari sinilah muncul kebijakan pemerintah khususnya dari menteri pendidikan dan kebudayaan tentang pencegahan dan penanganan dari tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan .


Berikut adalah isi pasal yang menuai kontroversi di Permedikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021:


Pasal 5

(1) Kekerasan  Seksual  mencakup  tindakan  yang  dilakukan secara  verbal,  nonfisik,  fisik,  dan/atau  melalui  teknologi informasi dan komunikasi.


(2) Kekerasan  Seksual  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) meliputi: 

a. Menyampaikan  ujaran  yang  mendiskriminasi  atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;   

b. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

c. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan  yang  bernuansa seksual pada Korban; 

d. Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; 

e. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; 

f. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; 

g. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; 

h. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; 

i. Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; 

j. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; 

k. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; 

l. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; 

m. Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; 

n. Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; 

o. Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

p. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi; 

q. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; 

r. Memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi; 

s. Memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil; 

t. Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau 

u. Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.


Point yang menjadi kontroversi disini adalah‘Tanpa persetujuan korban’ , banyak pihak yang menuntut untuk menghilangkan 3 kata tersebut didalam undang-undang karena 3 kata tersebut menjadi multitafsir . Ada yang menafsirkan kata tersebut berarti melegalkan perzinaan di lembaga pendidikan dan terkhusus di lingkungan universitas . Bagaimana tidak , jika seorang mahasiswa atau dosen menyuruh mahasiswi untuk membuka baju dan mencium nya di lingkungan kampus dan mahasiswi tersebut menyetujui maka tidak ada pelanggaran jika mengacu pada undang-undang tersebut .


Maka Anggota Komite Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Mukti Ali Qusyairi, Lc. MA menjelaskan tentang keputusan yang diambil dalam forum Ijtima Ulama MUI yang meminta pemerintah untuk mencabut atau merevisi Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan lembaga pendidikan.

Menurut Mukti Ali yang tergabung dalam komite Quniniyah (kenegaraan) di Forum Itjima Ulama yang berlangsung dari tiga hari itu, hasilnya salah satunya adalah pembahasan terkait soal Permendikbud ini. 


“Para ulama berdebat, ada Kyai, Bu Nyai dan Para Ulama menimbang dengan banyak sisi terkait permendikbud ini. Ada yang keras sekali mengkritisi, namun ada juga yang moderat menilai peraturan ini. Kami semua menelaah isi dalam peraturan itu," papar Mukti Ali . 

Tapi poin di dalam undang-undang itu, menurutnya, beberapa terdapat kontradiksi. “Biar tidak salah sangka. Para ulama ini sepakat bahwa kekerasan atau kejahatan seksual itu tidak dibenarkan dalam Syariah,” tambahnya. 


“Ada banyak kontradiksi dalam pasal-pasal peraturan itu, makanya akhirnya para ulama di forum ini meminta pemerintah untuk mencabut atau merevisi. Ini sifatnya rekomendasi. Kontradiksi itu, misalnya soal lema ‘persetujuan korban’ yang bisa jadi multitafsir,” paparnya. Lantas ia memberi contoh, soal satu hal persetujan korban secara subtansi akan memberikan pemahaman kalau korban itu setuju, berarti tidak masuk kekerasan seksual yang bisa dipidana.

“Pemahaman orang awam pun begitu. Padahal suka atau tidak, sikap amoral tidak boleh dilakukan. Lalu ini bisa juga tumpang tindih dengan UU lain seperti pornografi,” tambahnya.  


Jadi, lanjut Mukti, poin pentingnya adalah soal revisi beberapa poin krusial yang bisa jadi menimbulkan masalah ke depannya dalam permendikbud itu. Para ulama pun juga sepakat, bahwa kejahatan atau kekerasan seksual itu harus diberantas, apalagi di lingkungan Pendidikan. ***