Lentera24.com -- Limbah medis menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu...
Kegiatan mendaur ulang limbah, bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi susbsititusi suatu bahan baku, atau menjadi bahan bakar yang aman bagi kesehatan manusia maupun lingkungannya.
Dampak dari limbah medis bahan berbahaya dan beracun terhadap potensi pencemaran lingkungan mengakibatkan banyak penyakit yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di sekitarnya dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Selain itu dari yang kontak langsung dengan limbah berbahaya dan beracun atau yang menghirup udara yang tercemar.
Dari jenis limbah berbahaya dan beracun seperti limbah infeksius, limbah bagian tubuh, limbah obat-obatan dan kimiawi, limbah radioaktif, yang mana dapat membawa resiko yang lebih besar terhadap kesehatan misalnya infeksi kulit, antraks, meninghitis, AIDS, demam berdarah, hepatitis A, B, C.
Pengelolaan limbah yang tidak maksimal merupakan faktor yang akan menghambat pelaksanaan tugas serta fungsi sebuah rumah sakit.Timbunan sampah medis ini berada di 3 pulau di NTT yakni Sumba, Flores dan juga Timor. DLHK akhirnya memutuskan untuk membentuk Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) persampahan dan limbah B3.
Dari data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi (DLHK) NTT, dari 50 rumah sakit dan 300 puskesmas di seluruh NTT, hanya satu rumah sakit RS St.Carolus Boromeus Belo Kupang yang memiliki incinerator. Dan dari hasil pembakaran limbah medis tersebut juga telah sesuai standar.
Gubernur NTT memberikan perhatian besar dan mengharapkan agar segera dilakukannya penanganan. DLHK NTT juga telah berdiskusi dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Limbah medis tersebut sementara di bakar di tempat pembakaran milik PT. Semen Kupang, Untuk proses pembakaran membutuhkan suhu udara yang sangat panas.
Dari Hasil yang di dapat DLHK NTT terdapat penumpukan limbah hampir semua rumah sakit dan puskesmas. Untuk pengelolaannya saja masih dilakukan secara manual dengan cara dibakar dan kemudian diangkut ke pulau jawa untuk dimusnahkan.
Upaya pengolahan B3 yang dilakukan secara mandiri oleh rumah sakit adalah Pembakaran manual, sebelum melakukan pembakaran manual harus dilakukannya pemisahan limbah medis dan non medis. Kemudian untuk Sampah non medis dibuang ke Tempat Pembuangan sampah (TPS) sedangkan sampah medis dibakar di incinerator.
Namun kendalanya adalah incinerator yang dimilik beberapa rumah sakit belum bisa membakar hingga suhu 1.200 derajat celcius, karena itu untuk pembakaran limbah dilakukan sedikit demi sedikit dan tentu bisa memakan waktu yang cukup lama untuk diolah. Setelah dilakukan pembakaran tersebut abu yang dihasilkan akan di simpan di bak penampungan yang kemudian diambil oleh DLHK NTT. Sistem pengolahan limbah cair menggunakan Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Agar tidak terjadinya penumpukan limbah medis maka diharapkan setiap puskesmas dan Rumah sakit setidaknya memiliki pengolahan baik secara manual dan modern, sehingga limbah juga tidak dibuang begitu saja namun diolah dulu sehingga tidak berdampak buruk bagi masyarakat dan juga linkungan.
Untuk mencegah agar pencemaran lingkungan hidup tidak terjadi secara terus menerus akibat pengelolaan limbah medis bahan berbahaya dan beracun, perlu diadakannya suatu tindakan pencegahan, diantaranya:
• Upaya dengan preventif (pencegahan), yaitu dengan melakukan pencegahan terhadap pengelolaan limbah medis yang kurang tepat oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
• Upaya bersifat represif (dengan tindakan), ini diambil tindakan terhadap orang atau pemberi pelayanan kesehatan yang tidak mau tertib mematuhi peraturan, serta yang melakukan tindakan pelanggaran terhadap lingkungan.***
Mahasiswi Universitas Kristen Duta Wacana Fakultas Bioteknologi
Email: cicilianaitboho@gmail.com